Suatu sore

10 0 0
                                    

When life goes against your own expectations.

And if, giving up is the only way remain.

What you gonna do?



***



Sore itu angin berhembus cukup kencang, menggetarkan pagar besi tua pembatas yang dipasang pada seluruh sisi atap gedung fakultas ekonomi.

Reji berulang kali melongokkan kepalanya kebawah. Mesti hatinya sudah siap entah mengapa ia merasa pusing melihat pemandangan orang-orang yang nampak kecil dari atas sana. Yah, maklum, ia memang phobia ketinggian sih.

Gadis itu menelan ludahnya sekali lagi. Tak terhitung betapa gugupnya ia. Namun, ketika ia sudah bersiap melepaskan pegangannya. Terdengar suara seseorang.

"Gak jadi lompat, mbak?" Tanya orang itu dengan intonasi santai.

Reji menatap tajam kearah sosok laki-laki tersebut. "Jangan mendekat!" Pekiknya.

Laki-laki itu justru balik menatap Reji dengan heran.

"Yah padahal udah gue tungguin dari tadi" ucapnya seraya memasukan tangannya kedalam saku jaket hitam miliknya.

"Mau gue bantuin ga? Gue dorong gitu" laki-laki itu malah nyengir dan bikin Reji kesal.

"Gila ya lo?! Orang mau bunuh diri malah dibencandain!"

"Loh, kok jadi gue yang gila? Elo tuh. Emangnya lo pikir dengan lo loncat dari atas sini trus mendarat kebawah sana semua permasalahan hidup lo auto hilang gitu?"

Reji terdiam sejenak, entah kenapa kepalanya kini memanas. "Lo tuh gak tau rasanya jadi gue! Gak usah sok tau!".

"Ya, emang"

"Hah??!"

Laki-laki tersebut mengacak-acak rambutnya sembari menghela napas, ia lalu mengeluarkan sepuntung rokok dan korek.

"Emang ya, anak jaman sekarang ada masalah dikit entah cutting lah, bunuh diri lah, lompat lah, mereka gak pernah mikir bahwa semua itu cuma sensasi sesaat yang mungkin akan bawa lo pergi dari dunia kampret ini abis itu masukin lo ke neraka"

Laki-laki itu kini menyesap rokoknya dalam-dalam sebelum mengeluarkan asapnya.

"Sok alim, sok tau!" Umpat Reji.

"Eh, lo, si mbak. Coba pernah gak sih lo mikir ketika lo lagi di posisi terpuruk lo dan mau mengakhiri hidup lo. Kebayang gak, ketika lo dengan serta merta menyakiti tubuhlu dengan upaya apapun itu. Ada banyak orang diluar sana yang mungkin gak punya fisik sempurna seperti lo, menghadapi banyak tekanan, cemoohan dari orang-orang tapi masih semangat menjalani hidupnya?" Laki-laki itu lalu menatap kearah Reji dengan pandangan serius.

"Coba deh apresiasi. Coba sayang sama diri lo sendiri. Mungkin emang gak keliatan, tapi banyak orang yang sayang dan akan sangat kehilangan lo nantinya"

Mendengar perkataan laki-laki itu entah mengapa mengurungkan niat awal Reji. Seperti tertampar, gadis itu merasa malu atas apa yang akan ia lakukan. Bunuh diri, sejatinya bukanlah opsi terakhir dalam hidupnya. Itu adalah sebuah cara instant agar ia bisa lepas dari semua hal yang membebani hatinya, fisiknya bahkan jiwanya.

Yang gadis itu inginkan hanyalah kebahagiaan, namun, caranya yang salah.

Reji tertawa sejenak, "hah, direcokin sih. Nanti reschedule deh"

"Berasa janjian kali ya" celetuk laki-laki tersebut ketika melihat Reji perlahan mulai melangkah masuk kembali kedalam pagar.

Selangkah lagi sebelum posisinya aman, tiba-tiba kaki Reji tersandung dan membuat keseimbangannya goyah.

"WAAAAAA" teriaknya.

Laki-laki tadi langsung berlari kearah Reji dan langsung mencoba menarik kedua lengan gadis itu.

"TOLONGGGG GUE GAK MAU MATII"

"Tadi sih bilang reschedule segala, sekarang aja deh biar gak nyusahin gue" ucap laki-laki tersebut dengan wajah mulai memerah sembari menarik lengan Reji.

"SIALAN, LO MAU GUE GENTAYANGIN!! AMPE GUE JATOH GUE GENTAYANGIN LO 7 TURUNAN!!! AAAAAAAAA"

"UGHHHH" dengan sekuat tenaga dan motivasi agak tidak jadi dihantui selama 7 turunan, laki-laki tersebut pun berhasil menyelamatkan Reji dari percobaan bunuh diri konyol tersebut.

Mereka berdua kini dengan terengah-engah bersandar pada pagar pembatas.

"Hah.. hah.., nih ya, hah, gue kasi tau besok-besok kalo mau lompat jangan disini.. hah.. angker soalnya" ucap laki-laki tersebut sembari mengatur napasnya.

"Angker gimana??"

"Wah, lu kuliah disini udah berapa lama sih, masa gak tau rumornya?"

"Tck, apasih, cepet kasih tau"

"Pokoknya jangan ngomong atau ngelakuin hal kotor di gedung FEB, bisa sial" laki-laki itu lalu membenarkan posisinya dan bersiap untuk berdiri.

"Kalo mau aman di selasar FISIP aja, lantai 1"

"Ya, gak bisa mati dong"

"Itu dia. Makanya aman" laki-laki itu sedikit tertawa.

"Gue pergi ya" laki-laki tersebut kemudian berjalan menjauhi Reji yang masih mencoba mengumpulkan nyawanya.

"Eh, tung- lah kemana tuh orang, cepet bener ilangnya" gumam Reji.

Gadis itu lalu kembali bersandar pada pagar pembatas. Pandangannya mengadah ke arah langit yang sudah mulai berwarna jingga keunguan.

Thanks.

When we were 20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang