ⒷⒶⒽⒶⓈⒶ
Sebuah meja bundar dengan tiga pria duduk mengitarinya. Salah satu di antara mereka bernama Ten, baru saja kembali dari bar dan membawa tiga gelas bir, satu gelas untuknya, satu untuk si detektif yang baru saja datang, dan yang terakhir untuk Johnny.
Si detektif memanggil dirinya sendiri TY, baru saja menyatakan penjelasannya tentang situasi paling jelas kepada dua orang yang duduk bersamanya sekarang. Ia merasa sedikit lega karena kilennya memang sepatuh ini. Dilihat dari tampangnya saja, tergambar seorang ayah yang kehilangan anaknya, membuat TY semakin merasa kasihan.
"Seperti yang kukatakan tadi, kalau kau masih ingin ke Jalan 127, maka pelarianmu dari polisi selesai malam ini juga. Tapi, kalau kau menjalankan rencanaku dengan baik, kita bisa cari cara membuatmu bebas berkeliaran tanpa diketahui orang-orang," ucap detektif dengan percaya diri dan penuh kontrol. "Kau tak perlu membayarku tentu saja... aku orang kaya," tambah TY.
"Tapi hei, aku butuh uang. Aku sudah membantu pekerjaan kalian sampai detik ini, setelah kupikir-pikir, mengetahui kalau kau cuma maniak sherlockian," Ten menunjuk kepada TY, "dan kau cuma pencuri miskin," Ten memandang sekilas ke si klien, "mungkin kau TY, kau tak perlu dibayar, tapi aku sangat butuh itu. Kalian berdua harus membayarku."
"Hei aku sudah memberimu cincinku 'kan?! Seberapa banyak yang kau butuhkan?! Kalau kau membantu hanya karena uang, lebih baik kau kubunuh saja... kau sudah terlibat terlalu banyak." Johnny tak tahu bayaran apalagi yang Ten minta. Dan Ten yang mendengar itu terkejut tak percaya.
TY, si detektif, memukul ringan pundak Johnny dan memberikan tatapan tajamnya untuk Ten, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Whoa whoa... kalian tenanglah, kalau kita melakukan rencana ini lalu kita berhasil, aku janji aku akan membayarmu Ten, dan kau Johnny, kau harus terus tetap bersamaku agar tak tertangkap."
"Baiklah, aku setuju! Kawan-kawan, bagaimana jika aku membeli wine? Kita harus berdoa sebelum menjalankan rencana TY-ssi. Kita akan..."
Drrt drrt
Sebelum Ten menyelesaikan kalimatnya, ponsel curian Johnny bergetar. Kali ini nomor yang menghubunginya bukan nomor yang tidak terdaftar, melainkan dari ibu si pemilik ponsel yang asli.
"Harus kudiamkan, atau kuangkat?" tanya Johnny.
Ten heran. Jika panggilan yang masuk dari nomor tidak terdaftar saja Johnny mengangkatnya tanpa ragu. Tetapi mengapa ketika nomor terdaftar yang masuk ia malah menanyakan kalau harus diangkat atau tidak. Dasar pria aneh, batin Ten.
"Aku rasa kau harus mencari ponsel baru," TY menanggapi pertanyaan Johnny.
"Tapi itu akan menjadi pekerjaanku! Tidak! Johnny, simpan saja ponsel sialan itu," Ten tahu karena TY berkata demikian, Johnny akan memintanya untuk mencuri ponsel lagi.
"Apa? Bukan itu maksudnya! Aku hanya bertanya haruskah aku angkat atau tidak?!"
Deringan telepon tersebut tidak berlangsung lama, kemudian ada panggilan masuk lagi.
Kali ini dari nomor tidak terdaftar.
"Dan terjadi lagi," gerutu TY dan ia mengeluarkan ponselnya dari saku jeans-nya. "Ini menyebalkan sekali..." lanjutnya dengan malas ketika layar ponsel menampilkan sesuatu yang jarang sekali muncul dari tampilan ponsel biasa. Ponsel itu menunjukkan warna hijau lumut dan banyak garis putih membentuk koordinat kartesius, dengan enam titik semua berkumpul di kuadran dua.
Lalu ada titik yang lebih besar dari keenam titik itu. Titik besar itu memiliki pin yang bertuliskan nama jalan di mana bar dari ketiga pria ini berada. Tampilan layar tersebut tergambar seperti peta.

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Home | Johnny ✔
Fanfiction[Twoshot] / [Crime Project 0.1] / [English] / [Bahasa] / [Completed] Johnny really miss his brother, Mark, and he will meet Mark soon. Ironically, Johnny's condition isn't support him to meet Mark. But this man still firmly want to meet his brother...