Wound

42 8 0
                                    


“Kau! Dasar anak tidak tahu diri, sudah berani jadi berandalan kau ha?” Bentakan dari lelaki paru baya yang penuh amarah begitu mendengung ditelinga pemuda yang menjadi objek bentakan itu. Setiap perkataan yang meluncur begitu menyayat hatinya yang memang sudah rimbun dengan luka yang tak kunjung mengering dan tertutup. Dan hal ini memang sudah biasa terjadi, membuat dirinya semakin jengah akan setiap perkataan dan luapan emosi yang ia terima dari ayahnya itu. Ia hanya memandang datar ayahnya dan berlalu begitu saja, “Taeyong! Kau benar-benar!” ia pun terus berjalan menuju kamarnya dengan bentakan ayahnya yang mulai tak terdengar ketika ia memasuki kamarnya.

            Tas sekolahnya ia simpan begitu saja di meja belajarnya. Taeyong pun mulai mengganti seragam putih abunya dengan training hitam dan kaus putih polos yang tampak cocok melekat ditubuhnya. Ia menghempaskan tubuhnya begitu saja  keatas kasur king sizenya. Helaan nafas lelah terdengar dari bibirnya, dan perlahan manik indah itu tertutup dan mengantarkan jiwa yang terluka itu menuju buaian mimpi yang indah dan tak peduli akan kenyamanan tidurnya. Ia lelah, semua terasa menyiksa dan begitu menyakitkan, tapi ia pun tak bisa pergi. Ada sosok yang terus menahannya untuk memberontak dan meninggalkan segala sumber luka yang terus ia dapatkan.

            Senandung burung mulai terdengar, pekikan ayam mulai membangunkan pemuda tampan itu seolah menyuruhnya untuk lekas memulai segala kehidupan yang begitu monoton. Helaan nafas berat kembali terdengar dari sosok tampan itu. Taeyong, pemuda yang dari lima tahun yang lalu sudah menetap diujung kota Seoul itu. Pemuda tampan yang tidak sempat bertemu ibunya ketika ibunya meninggal di usianya yang pertama. Sebelumnya ia tinggal di ibu kota Busan sebelum ayahnya pindah untuk memulai dan mengawasi pembangunan mall besar-besaran di daerah tempat tinggalnya kini. Ayahnya adalah pegusaha besar yang sudah sukses sedari muda karena kegigihannya dalam bekerja. Ayah Taeyong bergelut dibidang properti dan konstruksi, cabang perusahaannya sudah menyebar diberbagai daerah di korea selatan hingga negeri tetangga seperti Jepang.

***

Klek.. Suara pintu yang terbuka mengalihkan atensi Taeyong. Terlihat seorang wanita yang tampak mulai memasuki usia lanjut memasuki kamar Taeyong dan tersenyum.

“Den, ayok cepetan bangun Bibi teh udah masak ayam sayur kesukaannya den Taeyong.”  

“Apa dia sudah berangkat?” Tanya Taeyong yang dijawab kekehan kecil dari wanita tua itu.

“Tuan besar sudah berangkat dari subuh, den Yuta tuh udah nungguin dari tadi. Cepat mandi aden .Nanti Bi Sulji yang siapin tas nya.”

Dengan wajah yang sama datarnya seperti semalam, Taeyong pun beranjak menuju kamar mandi. Bi Sulji hanya tersenyum melihat kelakuan tuan mudanya. Ia merasa miris ketika mengingat tuan mudanya yang satu ini. Tapi apa boleh buat, ia hanya pembantu di rumah ini, tapi ia sering mencoba menjadi sosok pengganti peran ibu untuk Taeyong, meskipun ia sadar bahwa hal itu tak membuat banyak perubahan untuk sosok tuan muda kecilnya itu.

            Tubuh tegap berjiwa rapuh itu sudah berbalut seragam putih abu, dan tampak berjalan menuju ruang makan. Ia melihat kakaknya yang sudah duduk dan tersenyum kearahnya dengan pakaian kasual rapih yang melekat ditubuh kakaknya itu. Terlihat begitu siap untuk pergi kuliah seperti biasanya. Beberapa hidangan terlihat sudah mengisi meja makan dengan baunya yang mengguar memenuhi ruang makan. Ketika salah satu kursi sudah Taeyong duduki, Yuta, kakak Taeyong mulai mengambil nasi ke piring dan menyiramnya dengan beberapa lauk pauk yang tersedia, lalu ia simpan dihadapan Taeyong. “Habiskan sarapan mu. Kau jarang sekali sarapan di rumah.” Ucap Yuta perhatian. Taeyong tak menggubrisnya, ia mulai melahap makanan itu dengan tenang.

            Dentingan sendok yang berbenturan dengan piring sudah tidak terdengar. Taeyong dan Yuta sudah menyelesaikan sarapannya. Keduanya beranjak keluar rumah untuk mengenakan sepatu mereka masing-masing. Bi Sulji juga ikut mengantar kedepan rumah dan memperhatikan kedua tuan mudanya itu. Mereka memiliki visual yang sama indahnya, hanya raut muka yang membedakan. Teringat ketika ulang tahun tuan muda kecilnya kala itu yang menginjak usia 8 tahun. Kala itu ia merengek meminta ayahnya merayakan ulang tahunnya seperti temannya yang lain. Tapi ayahnya hanya menatap datar wajah anak bungsunya itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang