Netranya dibiarkan tertutup sementara kedua tangan disatukan sembari mulutnya terus berkomat-kamit, mengucapkan sebuah pengharapan.
Empat Desember telah datang lagi. Aku tak meminta harta, ketenaran atau apa pun itu. Yang aku inginkan ...
Satu tepukan keras mengenai bahunya, membuat dirinya terperanjat. " ... pangeran berkuda putih menjemputku sekarang!"
Kata itu refleks terucapkan secara jelas—salahkan pada tepukan bahu yang menyerangnya tiba-tiba!
Jeon Jungkook, pemuda yang menepuk bahu Seokjin, mengernyitkan dahinya. Sedetik kemudian, ia tertawa sembari menepuk-nepuk paha keras—kebiasaannya tiap kali tertawa, orang di sekitarannya menjadi sasaran pemukulan. "Oh ya, benar, aku menjemputmu sekarang, Yang Mulia." Tawa Jungkook tidak berhenti sampai situ—durasinya lebih dari tigapuluh lima detik!
Seokjin sendiri membulatkan matanya, mulut—sedikit—terbuka membentuk sebuah lingkaran, kemudian mengerucutkan bibirnya perlahan setelah pita suaranya memberi vocal. "Hah ...?"
Satu alis Jungkook terangkat, "Kenapa? Pangeranmu sudah datang, Seokjin."
Seokjin yakin, Jungkook sudah positif terkena penyakit jiwa. Bagaimana bisa dia mengatakan kalau dirinya adalah pangeran berkuda putih milik Seokjin? Dalam bayangannya, pangerannya itu tampan sekali—walau Jungkook memang tampan sih—, mempunyai suara teramat merdu yang menuntunnya untuk terlelap—tapi, suara Jungkook pun mampu membuat dirinya terlena—, lalu romantis!—Ha! Seokjin tahu, Jungkook jauh dari kata romantis. Lagipula, mana ada pangeran mesum?
Jadi, sudah pasti Jungkook bukan pangeran berkuda putihnya.
"Ish, kau pangeran berkuda putihku? Jangan bermimpi!" Seokjin meninggikan sedikit intonasinya
"Bukankah tadi kau sendiri yang bilang? Waktu aku datang, kau berkata, 'pangeran berkuda putih datang menjemputku!'. Kau sendiri yang bilang." Jungkook menarik ujung-ujung bibirnya membuat deret gigi kelincinya terlihat.
Oh!
"Tadi itu—"
"Kau mau menyangkal lagi?" Alis Jungkook terangkat lagi. "Tidak bosan? Kita ini sudah terikat takdir, Sayang."
Kejadian ini memang bukan sekali atau dua kali. Semenjak umur Seokjin menginjak angka delapanbelas, hal ini terus terjadi—seperti siklus permanen yang tak akan pernah putus. Selalu begitu—tiap kali, Seokjin meminta pengharapannya akan pangeran impiannya, Jungkook pasti berada di daerah teritorial Seokjin. Persahabatan yang terjalin semenjak mereka kecil adalah satu dari sekian alasan Seokjin tidak menerima pangeran-berkuda-putih-bernama-Jeon-Jungkook. Tidak akan pernah.
"Kau itu sahabatku, Jungkook." Seokjin agak berdesis ketika mengatakannya.
Seharusnya Seokjin sudah mengerti bahwa Jeon Jungkook itu keras kepala. Seringai di wajahnya sudah tertampil sempurna. "Lantas kenapa? Apakah dosa jika orang yang bersahabat melakukan hal ini?—
Jungkook mendekatkan wajahnya, semakin dekat hingga hidung mereka bersentuhan. Netra Seokjin tak bisa teralihkan barang satu detik saja, terkunci. Napas Jungkook bisa Seokjin rasakan, hangat dan membuat oksigen di sekitaran terkikis. Mereka terdiam selama puluhan detik, sementara satu kaki Jungkook menahan, agar kursi taman yang mereka duduki tidak terjatuh.
—dan saling mencintai? Dosakah itu, Seokjin? Kalau itu dosa, biarkan aku terjebak dalam kubangan para pendosa."
Seokjin tidak mengerti—jantungnya tak bisa diajak kerja sama, paru-parunya juga seperti lelah untuk mengais kebutuhan oksigen. "Tapi ...," dirinya menjeda perkataannya sembari menunduk dan memainkan ujung baju Jungkook, bibirnya tertekuk ke bawah. "Kau belum mengucapkan kata itu?"
Kernyitan di dahi Jungkook muncul lagi, "Kata apa?"
Seokjin menghela napas panjang, bersiap mengeluarkan kalimat secepat percepatan cahaya, "Kata-aku-cinta-padamu-atau-apalah-itu."
Butuh waktu tiga detik untuk mencerna omongan tadi. Dan butuh waktu tiga detik juga, untuk Jungkook menyatukan kedua bibir mereka dalam sebuah pertautan.
Seokjin seperti dibawa ke awang-awang bertemu dengan tujuh warna di sudut langit. Sementara kupu-kupu berterbangan di setiap sisi perut dan membuat dirinya larut, menutup kedua netra tanpa ragu.
Mereka hanyut oleh aliran sungai milik mereka sendiri. Yang ia tahu di dunianya, hanya ada; Jungkook, Jungkook dan Jungkook
Sampai limapuluh enam detik, Jungkook memutuskan pertalian bibir mereka.
Jungkook tanpa aba-aba menempatkan kepalanya di paha Seokjin. Kemudian dikerucutkan bibirnya ke bawah. "Kim Seokjin, tahu tidak? Skripsiku ditolak lagi. Dosen itu memang gila! Jeon Jungkook, kenapa kau menuliskan ini? Jeon Jungkook, kau mau membunuhku dengan menyediakan tulisan sampah seperti ini? Jeon Jungkook ini! Jeon Jungkook, itu! Aku lelah, Seokjin." Jungkook mengeluarkan segala kefrustrasiannya. "Jadi, malam ini aku tidur di kamarmu, ya? Aku butuh pelukan hangat, Seokjin. Ya, kecuali...," Jungkook menjeda perkataan, kemudian bangkit dari paha dan mendekatkan diri ke telinga lawan bicaranya. "Kalau kau ingin yang lebih panas."
Tangan Seokjin sudah siap melakukan penyiksaan. Namun, Jungkook sudah bergerak lebih dulu, melangkahkan kaki, menjauhkan diri dari siksaan.
Seokjin hanya bisa berdecak kesal, menginjak-injak tanah dengan seluruh kekuatan. Sampai ia ingat satu hal penting. "Kau belum mengucapkan kata itu, Jeon Jungkook!"
"Kata apa?!" Ia berteriak karena jarak mereka sudah semakin merenggang.
"Ish, kata itu!" Seokjin balas berteriak sembari mengerakkan kakinya kesal.
Jungkook tertawa, "Oh! Happy Birthday, Jeon Seokjin!"
Amarah Seokjin sudah meledak, kakinya bersiap mengejar ke mana pun, meski ke ujung dunia sekalipun! "Awas kau, Jeon Jungkook!"
Dan, aksi kejar mengejar pun terjadi sampai napas mereka terengah, hingga keduanya terjatuh bersisian di hamparan rumput hijau yang menjadi saksi di mana bibir mereka bertaut untuk kedua kalinya.
***
Repost tulisan zaman baheula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oksidasi [KookJin]
Fanfictiontempat penampung penat. sebuah kompilasi Kookjin fanfiction.