Begin New Life: 3

50 2 0
                                    

Aku mengerang menahan sakit di tanganku sambil berusaha membuka mata.

 “buka mata lo, gue tau lo udah bangun” ucap sesorang.

Dengan susah payah aku membuka mata. Kejadian dimana wajah lelaki tadi menegang dan ia yang menggigit pipiku masih terngiang. aku menoleh ke samping kanan dan terlihat Dylan sedang duduk di sofa pojok kamarku

“dylan?” tanyaku dengan suara parau.

aku menengok sedikit dan mendapati diriku terbaring di kasur.

“berapa jumlah jari gue?” tanya Dylan dengan antusias sambil mengangkat telunjuk,jari tengah,dan jempolnya dari jauh.

“3..” jawabku masih dengan suara parau.

benar deh aku masih malas untuk berbicara.

“baguslah, kalo gitu lo gapapa dan gue gaperlu bawa lo ke dokter” katanya lega.

aku yakin Dylan bukan lega karna aku sehat sehat aja. Sebenarnya bayangan wajah laki laki tadi masih terus menghantuiku. Aku merasa dia seperti Edward cullen yang wajahnya dingin, kulitnya pucat dan siap memangsa kapan aja. aku? ya tentu sebagai jacob. namun aku memang lebih ganteng dari jacob.

“tadi gue denger teriakan lo dari ruang keluarga. sori ya theo emang suka gitu kalo berhubungan sama mainnya”

terang Dylan yg masih duduk di sofa pojok ruangan. oh benarkan namanya Theo. aneh ya? kayak nama temannya Alvin and The chipmunks. aku jadi ingat tadi aku menduduki mobilannya, tapi ngapain dia menggigitku cuma karna mainannya yang kududuki. ga sengaja pula. aku bangkit dan duduk sila dipinggiran ranjang berhadapan dengan Dylan yang duduk santai dipojokan.

 “sumpah lebay banget ade lo. udah gede masih main mobilan. jangan jangan tuh anak juga masih ngedot lagi” ucapku tanpa berpikir dengan senyuman miring.

 “jangan sembarang ngomong tentang ade gue!” Dylan menatapku tajam. tapi itu tidak menciutkan nyaliku sama sekali.

aku berdecak. baru aku akan berbicara Dylan sudah duluan mengeluarkan suara.

“dia ngidap autis”

Tunggu, autis? peyakit yang muka pengidapnya kayak orang bego kan? tiba tiba aku lupa pelajaran Biologi tentang penyakit ini.

“lo harus minta maaf sama Theo nanti”

tunggu.. minta maaf? bukannya harusnya dia yang minta maaf?

“lah kok gue, ngaco lo. udah tau dia yang salah kenapa gue yang minta maaf”

aku tahu dia autis tapi tetep aja dia yang bersalah. oke aku mungkin terlihat seperti anak kecil sekarang.

“peraturan itu ga berlaku buat dia. dia ngelakuin itu cuma buat ngelindungin dirinya, lo harus ngerti “

“gue cuma dudukin mobilan yang panjangnya ga lebih dr 10 senti, bukan mukul atau minumin dia baygon” ucapku tak mau kalah.

baiklah aku memang sudah sangat sangat kekanakan tapi ayolah ia juga harus belajar untuk bersikap dewasa bukan?  

“itu mainan berharga banget buat dia..”

“kenapa?” ucapku memotong perkataan Dylan.

“itu hadiah terakhir dari bokap sebelum dia meninggal”

aku terdiam. hening tercipta beberapa menit. aku tidak tahu apa yang harus aku katakan.

_____________________________________________________________________

Hening. Kami berempat makan dalam keadaan hening. Di meja panjang ini aku duduk di bagian kanan tepatnya di samping Fira, di depanku ada Dylan. Dylan telah memperkenalkanku pada seluruh penghuni rumah selain kami berempat yaitu para pelayan dan satpam. di sini Tidak satupun dari kami yang berhasil mencairkan suasana. aku sungguh tidak terbiasa dengan suasana seperti ini karena kami –aku dan teman teman di panti- makan diiringi gelak tawa karena aku selalu mengeluarkan candaan yang bisa membuat seisi panti heboh.

 “raf, besok lo mulai sekolah di sekolah gue sama Fira”

ucap Dylan tiba-tiba mencoba mencairkan suasana yang benar benar canggung ini. aku mengangguk. tunggu..

 “Theo?” tanyaku.

Dylan menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti. berbeda dengan Fira yang tersenyum manis padaku. Sungguh aku tidak tahan dengan senyumannya

“oh iya gimana pipi lo?” tanya Fira yang sepertinya mengerti keadaan kami.

“sakit si engga, paling merahnya aja masih bekas”

jawabku dengan senyuman terbaik yang aku miliki sambil mengusap pipi indahku yang kini terbalut plester.

“plester dari gue ampuh dong ya haha”

wah aku benar-benar gila! ‘pas ngomong lelucon garing aja cantik banget...’ batinku. tiba tiba Fira berdiri dan bangkit dari kursi.

“gue nganter makanan dulu buat Theo”

setelah tersenyum entah untuk yang keberapa kalinya, Ia menghilang di balik dinding menyisakan aku dan Dylan. haaah benar benar makan malam yang sangat sangat membosankan dan garing.

Begin New LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang