"Terkadang lebih menyenangkan berbicara dengan hujan dari pada berbicara dengan api yang membuat kebakaran dimana mana."
"Akhirnya lo datang juga Nay."
"Memang kenapa sih? Kok lo tiba-tiba mendadak nyuruh gue buat datang ke kampus pagi ini? Padahal hari ini gue ada kelas siang."
"Ih ini itu penting Nay, lo pasti bakal kaget pas denger berita dari gue."
"Berita apaan sih? Awas sampe gak penting, lo harus bayar ganti rugi karena udah buang buang jam tidur gue!"
"Elah, iya iya nanti kalo menurut lo berita ini gak peting, gue bakal traktir lo matcha deh!"
"Janji?"
"Iya janji, sekarang ikut gue ke café biasa!"Akhirnya Ravi menarik paksa tangan Naya untuk mengajak dia pergi ke café seberang kampus mereka. Ravi memang sengaja menarik tangan Naya, karna jika ia tidak melakukan itu, ia yakin pasti Naya akan berceloteh panjang lebar tak berhenti.
Mereka berdua masuk ke dalam café dengan bergandengan tangan layaknya seorang pasangan kekasih, padahal mereka berdua hanya sepasang sahabat dari kecil yang kemana mana selalu bersama. Naya tidak pernah mau berpisah dengan Ravi, begitupun Ravi, ia tidak mau berpisah dengan Naya. Mereka berdua sudah seperti gula dan kopi, saling melengkapi dan tidak bsa dipisahkan. Mereka berdua duduk dimeja nomor 15 yang letaknya dekat dengan jendela sehingga mereka dapat melihat pemandangan luar café ketika mereka mengobrol nanti.
"So, lo mau ngomong apaan bapak Ravi yang terhormat?" Tanya Naya
"Bentar njir, gue belum mesen minuman juga. Sabar ya tante Naya yang buluk cem anakan sapi" Ravi membalas ucapan Naya dengan nada mengejek.
"Sialan lo tapir, ya udah buru sana mesen! Sekalian pesenin gue juga ya!"
"Yaelah, iya udah tunggu bentar, gue pesen dulu."
Naya hanya menanggapi ucapan Ravi dengan mengacungkan jempol tangannya saja. Dan Ravi berjalan pergi untuk memesan minuman sedangkan Naya, ia asyik memainkan ponselnya sambil senyum senyum sendiri.
"Hei, boleh saya duduk disini?" Tanya seseorang yang membuat Naya menghentikan aktivitasnya. Naya sempat terdiam dan melihat sekeliling café.
"Mohon maaf ya mas, bukannya saya tidak memperbolehkan Anda duduk disini, tetapi kursi di sepan saya ini sudah ada pemiliknya. Jadi, Anda bisa mencari tempat duduk lain yang masih kosong, contohnya di sana." Ucap Naya sambil menunjuk tempat kosong di tengah ruamgan.
"Maaf ya mbak, tapi saya mau duduk bersama mbak. Jika kursi ini sudah ada pemiliknya, Anda kan bisa menyuruhnya pindah ke tempat yang lain." Ucap cowok itu dengan senyum miringnya.
"Baiklah, jika Anda menginginkan meja ini, kalau begitu biar saya saja yang pindah."
Naya berjalan gontai menuju meja nomor 22 yang ada di tengah tengah ruangan. Sebnernya ia tidak mau memberikan mejanya pada cowok misterius itu. Namun hari ini ia tidak mau berdebat dengan siapapun yang tidak ia kenal. Prinsip hidupnya adalah, sebacot bacotnya gue, mending gue cari aman dari pada harus berurusan sama orang yang tidak jelas.
Ravi yang sudah membawa minuman bingung dengan apa yang dilakukan Naya yang tiba tiba pindah tempat duduk.
"Loh Nay, kok lo pindah? Kenapa?" Tanya Ravi saat ia sudah mendaratkan bokongmya di kursi.
"Tadi ada orang aneh yang ngambil tempat duduk kita." Jawab Naya sambil menyeruput minumannya.
"Harusnya elo jagain tempat duduk kita, bukan malah pindah!"
"Elah, gue gak mau debat sama orang yang gak gue kenal."
"Tumben. Kan lo jago ngebacot. Apalagi pas lagi sama gue, bacot mulu. Pengang kuping gue."
"Itu kan sama elo, kalau tadi kan bukan. Kalau sama elo, gue wajib ngebacot."
"elah iya, serah elo."
Keadaan menjadi hening beberapa menit, mereka berdua focus pada ponselnya masing masing.
"Heh Rav, lo tadi mau ngapain ngajak gue kesini? Pertanyaan Naya berhasil menghentikan aktivitas Ravi.
"Lah iya, samapai lupa, lagian elo sih Nay."
"Lah kok jadi gue?"
"Jadi gini, minggu depan kan libur semester, gue mau pergi liburan."
Naya cengo mendengar perkataan Ravi. Ia kesal setengah mati, karna waktu tidurnya terbuang sia sia hanya karna mendengarkan perkataan Ravi yang katanya penting, namun nyatanta tidak penting sama sekali.
"Jadi lo Cuma mau bilang itu doang? Lo tau gak Rav? Kalau lo itu udah ganggu waktu tidur gue!"
"Maaf maaf Nay, jangan ngmbek dong, nanti cantiknya ilang."
"Apaan sih lo, udah ah gue mau pulang sana pergi. Lo bayarin kopi gue, ntr gue ganti di rumah."
Ucap Naya sambil mebereskan barang baragnya, dan hendak pergi. Ia sudah kesal dengan perilaku sahabatnya Ravi yang hanya ingin mengatakan bahwa ia akan pergi berlibur nanti. Padahal menurut Naya ini bisa dibicarakan di rumah, karna rumah mereka yang berdekatan.
"Eh eh Nay tunggu, bercanda dong yang tadi. Hehe" Ucap Ravi dengan cengiran khasnya.
"Bercanda gimana?"
Naya kembali duduk di tempatnya semula. Ravi menghela nafas kasar. Kemudian ia menceritakan tujuan sebenarnya kepada Naya. Naya mendengarkan penjelasan Ravi dengan muka serius. Air mata Naya perlahan lahan turun, namun segera Naya usap dengan tangannya.
"Nay.."
Naya tersenyum mendengar semua penjelasan Ravi kemudian tangannya menggenggam tangan Ravi yang lemas.
"Rav, dengerin gue ya! Gue gak mau ngungkit-ngungkit masalah itu lagi oke. Gue gak mau hubungan kita renggang hanya karna masalah itu lagi."
"Tapi Nay, gue nggerasa hati gue gak enak, benci dan khawatir jadi satu."
"Tenang Rav, gue yakin, itu Cuma gertakan. Gue gak bakal kenapa napa kok. Gue bias jaga diri. Tapi lo juga harus janji sama gue, jangan pernah pergi ninggalin gue oke. Gue gak mau pisah sama lo Rav."
"Berarti pas gue mandi, lo ikut?"Ucap Ravi sambil mengangkat satu alisnya, dan langsung dihadiahi teriakan dari Naya, "ANJIR ENGGAK LAH RAV!!"
"Santai atuh mbak, haha."
"Lagian elo sih mesum banget jadi cowo."
"Bercanda doang Naya sayang. Lo bentar lagi ngampus kan? Nanti gue anter sekalian."
"Sayang sayang pala lo peyang. Iya gue mau ngampus, tapi nanti kok. Udah ah gue mau pulang, pengen tidur. "
"Kebo lo dasar. Ya udah lo pulang bareng gue, sekalian main di rumah lo. Gue bayar dulu ya minumannya. Tunngu Nay, jangan kabur."
Ravi lari menuju kasir, Naya yang melihat tingkah laku sahabatnya itu hanya menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat beruntung bisa memiliki sahabat seperti Ravi yang sangat care padanya.
Maap maap ni ya, kalau misal ada typo hehe.
YOU ARE READING
Matcha Boy
FanfictionSeperti sebuah rasa, hati tidak bisa terus manis ataupun pahit. Selalu ada rasa yang dapat mengubahnya menjadi sebuah rasa yang berbeda. Seperti Matcha dan Coklat. Dua rasa yang berbeda menjadi satu. Meskipun rasa yang dihasilkan tidak sesempurna Ma...