[Satu Hari, Lagi]

1.1K 107 20
                                    

STRAWBERRIES & CIGARETTES

.

.

.

[Satu Hari, Lagi]

.

.

.

Taehyung, bocah itu terkadang nyaris seperti bukan manusia.

.

"Hyung tahu, aku selalu ingin tahu kenapa Ibu tidak ingin mengajakku ikut mati saja dengannya." Yoongi melihat bocah itu tampak merenung begitu jauh dengan senyum nyaris tanpa emosi. Sesaat dia bertanya-tanya apa bocah itu sebenarnya bukan manusia, namun jika dia berkaca pada dirinya sendiri. Dia bahkan tidak bisa mengatakan dirinya sebagai manusia.

.

"Temui saja ibumu jika kau ingin tahu jawabannya." Putung rokok ditangan Yoongi telah tandas, "Aku pergi."

.

Sebab Yoongi paling buruk dalam hal memanusiakan manusia.

.

Namun, tidak benar seperti itu kenyataannya.

.

Nyatanya tiap waktu telah melaju menuju tiga ribu enam ratus detik Yoongi akan selalu mengamati sosok Taehyung yang bersandar pada teralis besi, diam tak bersuara diiringi derik serangga malam dan tanpa sadar tertidur lelap. Lalu, detik-detik lain tersisa untuk Yoongi. Ia akan datang dengan langkah ringan beserta selimut di tangan. Menyematkan hangat selimut pada tubuh tergelung Taehyung dan note kecil yang ia tempel tepat di dahi sang bocah.

.

Ada kehangatan yang lebih hangat, lebih memanusiakan manusia yang katanya nyaris bukan manusia. Kepedulian kecil yang membuat seseorang merasa ia masih ingin bernapas satu hari lagi.

.

Selimut, note kecil, juga Min Yoongi.

.

Taehyung rasa alasan itu jauh lebih cukup untuk kembali membuatnya mencoba bernapas satu hari lagi.

.

'Lain kali cobalah tidur di dalam lemari selama tujuh hari penuh. Kuncinya telan saja jika kau benar-benar ingin mati.'―Y

.

.

.

.

.

Setiap manusia memiliki satu keinginan terbesar selama hidup di dunia, baik itu uang, ketenaran, seks, ataupun hubungan yang baik dengan orang-orang yang ia kasihi. Namun, dalam kasus-kasus tertentu orang semacam Taehyung hanya memiliki satu keinginan paling megah.

.

Mati...

.

Tidak jauh lebih buruk dari apapun yang orang lain inginkan dalam hidup mereka.

.

Sebab Taehyung toh tidak punya alasan kuat untuk hidup, baginya mati sekarang atau besok sama saja. Ia hanya berhenti bernapas dan menghilang dari dunia layaknya anjing-anjing terlantar yang mati mengenaskan tiap hari di jalanan Ibukota. Semudah itu.

.

"Hyung, hyung... kau tahu lemari di flatku itu kecil. Ukurannya hanya tigapuluh centi meter persegi dan bentuknya seperti laci yang disusun tinggi. Mana bisa aku mengunci diriku sendiri dalam lemari. Tidak mungkin juga aku meletakkan bagian tubuhku yang sudah terpotong dulu lalu mati. Itu tidak logis."

.

Sial! Yang tidak logis itu otakmu!

.

"Pergilah sekolah!" mendorong tubuh Taehyung kasar hingga Taehyung terhempas pada tembok lusuh berjamur.

.

Taehyung mencibir, menepuk acak baju kusutnya tanpa hati lalu menjulurkan lidah pada Yoongi yang sibuk memilah sampah. "Kalau aku mati di sekolah, Hyung harus menyiapkan pemakaman yang layak untukku! Selamat tinggal!"

.

.

.

.

.

Langkah Taehyung melambat, dalam pandangannya ada gedung megah yang paling berisik berisi orang-orang tidak punya otak macam dirinya. Berbelok ke barat meuju loker dan membersit hidung kasar. Lokernya berdebu, tampak begitu menyebalkan seperti hidupnya. Apa Taehyung tidak punya teman?

.

Ahahah, Omong kosong macam apa itu?

.

"Woy Kim!" sekumpulan pejantan tak masuk akal dari berbagai strata sosial itu adalah temannya.

.

"Kau tau Eunha dari kelas sebelah, dia hot sekali!" kekeh mesum pemuda tampan dengan tinggi paling rata-rata diantara tiga orang lain membuat Taehyung memutar mata. "Kau juga mengatakan hal itu kemarin tuan Park Jimin, siapa nama gadis yang dia katakan hot? Jungah?"

.

"Hyerim namanya." Pemuda berkacamata dengan tampang paling rupawan hampir-hampir mengalahkan visual seorang pangeran dari kerajaan menyahut.

.

"Ey... Seokjin-ah, aku berkata benar bukan?" rangkulan erat tangan berotot Jimin membuat Seokjin mengerang kesal. "Benar, kau memang benar-benar mata keranjang Park!" lalu tawa konyol seseorang membuat semua jadi riuh. Hoseok berteriak kesal saat lehernya tiba-tiba menjadi sasaran Jimin. Tiga pemuda aneh itu selalu berisik, selalu tertawa konyol, selalu berdebat banyak hal. Selalu membuat Taehyung ikut tertawa meski tanpa hatinya.

.

.

.

.

.

Tidak mudah bertahan hidup di dunia, memang. Namun Yoongi masih tahu jika mati juga tidaklah lebih mudah dari hidup. Ah, tapi sepertinya dia harus meralat semua pemikirannya saat bocah bernama lengkah Kim Taehyung itu masih saja suka datang dan mengintip dengan mata besarnya di samping jendela toko.

.

"Kembaliannya tiga sen. Terimakasih." Yoongi melirik jam dinding, menghela napas malas tanpa menghiraukan sosok Taehyung yang kini malah nyaman menyandarkan wajahnya pada kaca. Bocah itu punya masalah di otaknya, ya. Semua orang juga tahu.

.

"Pulanglah, penggemarmu sudah menjemput tuh." Teman Yoongi menggoda, "Tutup mulutmu, cepat selesaikan dan tutup toko."

.

Yoongi tak pernah memprioritaskan apapun dalam hidupnya, hanya melakukan apa yang bisa dia lakukan sekarang dan tidak perlu berpikir apakah esok ia masih dihadapkan pada rutinitas yang sama. Dia sama sekali tidak peduli. Namun, semenjak ada bocah penghuni flat sebelah rumahnya satu tahun lalu semua mulai berbeda.

.

"Kau tidak jadi mati?" Taehyung tertawa konyol lalu menggeret tubuhnya berjalan lebih dulu. Taehyung memimpin jalan, bahunya tampak kesepian di mata Yoongi seperti biasa. Tak ada satupun berbicara, kedunya hanya memupuk hening hingga sampai tepat di pintu masing-masing. Taehyung menatap pintu flatnya sendiri, tampak begitu larut dalam pikirannya hingga terpotong ucapan Yoongi.

.

"Kau mau menginap di flatku?"

.

.

.

.

.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STRAWBERRIES & CIGARETTESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang