PROLOGUE - The Ball

42 1 1
                                    

Dalam sekejap, aku dapat merasakan hadirnya di sekitarku.

Aku tahu ini bukan sebuah pilihan. Tuhan punya caranya tersendiri untuk dapat membuatku bahagia. Walau rasanya janggal, tapi inilah jalan takdirku.

Dan aku, tidak dapat dengan mudah mengelak dari kenyataan yang telah Tuhan berikan padaku.

.

.

.

.

begin.

Ah, dapat!

Mataku terus mengawasi gerak-gerik sosok di seberang jalan itu. Makhluk mungil berjubah hitam keemasan yang tengah mencoba menggapai tiang tinggi di hadapannya berkali-kali namun tak kunjung berhasil. Aku meringis pelan, nyaris melupakan kepanikanku saat berusaha mencarinya tadi pagi. Aku bahkan belum sempat mengunci pagar rumah.

Baru akan memanggil namanya, sebuah bola basket berukuran sedang tahu-tahu melayang tepat menuju ke arahku. Sebelum sempat menghindar, bola itu sudah lebih dulu menubrukku. Sedetik setelahnya, dapat kurasakan sakit luar biasa pada kepalaku yang malang ini.

Sebelum jatuh dan mataku buram, kulihat sosok berjubah itu berjalan menghampiriku. Uluran tangan dengan jari jemari mungil nan lentik itu membuat jantungku berdegup tak beraturan.

"Maaf, Ai."

Sebersit kalimat manis keluar dari mulutnya yang mengerucut. Aku mendongak, berusaha melihat wajahnya lebih jelas sambil mengelus dahiku yang berdenyut-denyut. Tidak. Aku tidak sedang memberikannya tatapan jengkel atau apa kok. Ini bukan salahnya. Perkenalan pertama dengan basket telah menjadikannya bocah paling antusias sejagat raya. —Seharusnya aku tidak perlu menurutinya tiap kali ia meminta tayangan ulang NBA menjelang tidur, hufttt—

Dengan susah payah, kucoba bangkit sembari meratapi rok putih kesayanganku yang penuh noda kecokelatan.

"Ehmm ...," aku mencoba mencari sorot matanya yang terus-terusan menghindariku. Sedetik setelahnya, aku tersenyum. "Lain kali, ngelempar bolanya hati-hati ya. Gimana coba kalo kena orang lain dan bukan aku?"

Bocah belum genap 10 tahun itu menunduk. Menyembunyikan wajah piasnya di balik poni berkelubung. Namun sekilas, aku menangkap
sesuatu yang lain. Saat kilaunya terpapar semburat sinar matahari pagi, perhatianku sedikit teralih oleh benda itu. Kalung yang menggantung apik pada lehernya. Kalung bulat cermin segi tujuh.

Melihatnya terus diam tanpa suara, aku mengembuskan napas perlahan dan melebarkan senyuman sumringahku. Kutarik lembut dagunya supaya pandangan kami dapat bertemu.

"Aram, kamu ngerti kan?"

Setelah bergeming beberapa detik, bocah itu akhirnya mengangguk lemah. Dengan perasaan lega, kutegakkan tubuhku dan menepuk puncak kepalanya lembut. Namun saat akan beranjak meninggalkan lapangan, gandengan tanganku tiba-tiba ditepis secara kasar olehnya.

"Aku belum selesai main. Kamu duluan aja,"

Aku mengerutkan dahi. Merasa setengah heran, aku melihat sekeliling. Sepi. Aku lalu berpikir, bukankah ini masih terlalu pagi untuk bermain di lapangan kompleks? Anak-anak sebayanya juga pasti sudah pergi sekolah. Lantas, dengan siapa dia akan bermain?

Seolah mampu membaca kebingunganku, bocah itu kembali menyahut.

"Aku mau main sendiri,"

Bocah itu menatapku tajam. Kedua alis tebalnya mengerut mengerikan seperti biasa, membuat bulu kudukku meremang tiba-tiba. Hampir saja aku kehilangan kendali jika tidak buru-buru menampar pipiku sendiri. Entah perasaan macam apa ini, tapi yang pasti, tiap kali Aram menatapku seperti itu, aku bisa merasakan sebagian diriku luluh terhempas angin. Apa ini pengaruh kekuatan sihir? Ahahaha, pikiran macam apa itu? Aku pasti sudah gila.

LUSTROUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang