Aku tak habis pikir. Setelah gagal memberi perhitungan hari ini, aku yang sudah tak tahan dengan kelaparan yang melanda perut, akhirnya nurut saja. Nico mengajak pergi ke luar untuk mencari makan.
Terlalu larut, resto dan tempat makan sudah tutup. Aku memutuskan untuk mengajak Nico makan di lesehan langgananku dan Dika.
Baru separuh piring yang kuhabiskan. Nasi yang sudah terlanjur di mulut terasa berhenti di tenggorokan, saat kulihat dua orang yang kukenal mendekat.
Aku menatap tajam pada seseorang yang sangat kukenal itu. Lalu, dengan cepat lengan itu melepas tautannya.
Laki-laki dan perempuan bersahabat dari kecil, tanpa melibatkan perasaan? Bulshit!
Omong kosong! Aku tak percaya itu. Padahal aku sudah menepis berbagai kecurigaanku terhadap mereka berdua. Bahkan, dari semenjak Dika terus-terusan bercerita tentang masa kecil mereka.
Aku tak bisa berkata lagi. Bahkan percakapan Nico yang entah apa itu tak bisa kudengar. Aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri. Tentang dua orang sahabat yang sering bertemu, jalan bersama, dan saling meluangkan waktu.
"Gue balik!" Cepat aku berdiri. Tak ingin mempedulikan apa pun perkataan mereka lagi.
Lari. Aku segera masuk ke mobil Nico tanpa menoleh ke belakang lagi, meski Dika teriak memanggil namaku. Sesak. Hatiku seolah teremas.
Tak berselang lama, Nico pun masuk ke mobil. Memacu kemudi dengan sedikit cepat.
Beberapa saat hening.
Mobil menepi. Entah sampai di mana ini.
"Bahu nganggur, nih."
Sesaat aku hanya terdiam. Menoleh sekilas, bertepatan dengan dia yang sedang menatapku.
Aku memejamkan mata. Menghirup udara sebanyak-banyaknya. Berniat untuk meredam sakit yang kurasa. Tapi tetap terasa perihnya.
Kurasakan badan ini tertarik ke samping dengan cepat. Nico memelukku.
"Nangis aja. Jangan malu."
Lama aku terdiam, tak membalas pelukannya. Namun, air mata yang sedari tadi kutahan, kini deras mengalir. Aku tak bisa menahannya lagi.
Nico mengusap punggungku pelan. Mungkin, dia berusaha untuk membuatku agar lebih tenang. Saat isakku sudah mulai mereda, rengkuhan Nico melonggar.
Kedua telapak tangan Nico menangkup di wajahku. Perlahan ibu jarinya mengusap pipi, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Matanya lekat menatapku, sorotnya dalam, seolah menyelami apa yang kurasakan.
"Tinggalin dia, Erin." Lembut Nico berkata.
Lalu, mata ini terpejam lagi. Merasakan kelembutan perlakuannya padaku. Lama, sesuatu yang lembut itu menempel di bibir. Tak ada nafsu seperti biasanya.
Entah apa yang dipikiran Nico saat ini. Tapi, yang pasti aku nyaman sekarang.
***
Pagi. Aku membuka mata dengan malas. Masih jam lima. Seingatku semalam tidur dari jam tiga.
Aku beranjak dari ranjang sempit ini, berjalan menuju jendela dan membukanya. Disambut udara sejuk menyapu wajah. Suara kokok ayam tetangga pun mulai terdengar jelas dari kejauhan. Aku menghela napas pelan, mengingat ... ah, aku tak ingin mengingat lagi kejadian semalam. Terlalu memuakkan.
Tenggorokan sangat kering terasa, ingin aku segera mengasuhnya dengan air yang ada di dapur.
Saat keluar, bisa kulihat kamar Ibu sudah terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BUDAK NAFSU
General FictionErlinda, harus terjebak dalam suasana yang menyedihkan. Dijual oleh kakak kandung sendiri. Demi mendapatkan uang yang banyak dari Nico, bos besar, pemilik club. Haruskah Erlinda menjadi budak nafsu Nico? Sementara, Erlinda masih menjadi kekasih dari...