Mobil meluncur membelah jalan yang cukup terik siang ini. Setelah kejadian yang tak mengenakkan tadi. Nico terus menggenggam tanganku sepanjang perjalanan. Mungkin, baginya ingin menyalurkan kekuatan. Aku tak menolak, karena memang aku butuh sesuatu yang bisa menguatkan sekarang. Meski pandanganku tak beralih dari jendela pintu.
Butuh lumayan banyak waktu sampai di sini. Gedung pencakar langit dengan design mewah dari luar menambah megah.
Aku menghela napas beberapa kali, saat menginjakkan kaki setelah selangkah masuk ke gedung. Nico yang beberapa langkah mendahuluiku itu tampak santai berjalan. Tak sekali pun dia menengok ke belakang.
Tadi sempat berharap jika Nico akan mengajak ke suatu tempat, sekadar untuk menghiburku misalnya. Tapi, nyatanya dia tetap mengajakku ke kantor.
Huft! Tak berperasaan!
"Nggak usah ngambek!" Suara Nico membuatku mendongak. Dia berhenti tepat di hadapanku.
"Paan?" Aku yang malas menanggapinya, mengibaskan rambut. Lalu, segera berjalan mendahuluinya menuju lift.
Saat di lift pun, kami hanya saling diam. Sampai akhirnya pintu terbuka. Nico menggandeng tanganku menuju ruangannya. Aku sempat melihat genggaman tangannya, tapi detik kemudian mengikuti langkahnya yang pelan itu. Entah apa yang dipikirkan Nico.
"Aku mau meeting, kamu di sini."
"Lo mau pergi dengan baju kek gitu?"
"Tenang aja, Irene udah nyiapin baju buat aku."
"Ta-tapi, Nic. Gue bisa mati kebosananan di sini."
Nico mendekat. Tangannya menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku. Sedikit membungkuk. Lalu, setengah berbisik di samping telinga. Membuat gelenyar aneh di dada.
"Aku nggak akan lama. Tunggu aku. Jangan pergi."
Nico sudah berlalu, tapi tubuhku masih terpaku di tempat. Apa ini? Aku menyentuh dada, detaknya masih tak keruan rasanya.
***
Jengkel, pasti. Seperti kemarin, Nico meninggalkanku di ruangannya sendirian dengan pintu terkunci rapat dari luar.
Semakin gila aku dibuatnya. Bosan! Katanya meeting, katanya ingin tanda tangan berkas, dan katanya tak akan lama. Namun, berjam-jam sudah aku menunggu. Dia tak kunjung datang.
Huft ....
Aku menikmati kesendirian di ruangan Nico. Melongok keluar dari jendela kaca besar yang terkena bias mentari sore. Pemandangan kota yang membosankan. Gedung-gedung pencakar langit seakan berlomba meninggikan megahnya. Jalan-jalan panjang dan berkelok semakin dipadati kendaraan. Menimbulkan kemacetan yang semakin parah. Asap polusi, terlihat jelas dari atas sini.
Kulihat layar ponsel yang berada di tangan kiri. Membuka kunci layar. Tak ada pesan satu pun, bahkan teleponku juga tak ada respon dari Dika.
Secangkir kopi berada di tangan kanan yang hampir dingin ini kusesap dengan tak berselera.
Semakin entah, saat sekelebat bayangan Dika dan Ara di mobil tadi. Kenapa Dika tak berniat untuk mencariku dan menghubungiku lagi? Apa dia sudah tak menginginkanku?
Aaarrggghh!
Kembali aku berjalan ke sofa, menaruh cangkir dan duduk. Sampai berapa lama lagi aku harus menunggu Nico.
Kepala terasa sangat berat, hingga aku menyandarkannya di tangan sofa. Kaki kunaikan agar bisa lurus. Mungkin dengan kupejamkan mata sebentar, bisa membuat kepalaku menjadi ringan lagi.
Semakin lama, mataku terpejam. Terlelap.
Mataku masih terpejam saat kurasakan jemari lembut mengusap pipi. Ingin membuka mata ini, tapi kuurungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN BUDAK NAFSU
General FictionErlinda, harus terjebak dalam suasana yang menyedihkan. Dijual oleh kakak kandung sendiri. Demi mendapatkan uang yang banyak dari Nico, bos besar, pemilik club. Haruskah Erlinda menjadi budak nafsu Nico? Sementara, Erlinda masih menjadi kekasih dari...