Hal pertama yang paling kubenci saat ini adalah Bandara. Apalagi melihatmu di dalamnya seraya mengayunkan kakimu menjuntai sembari melihat jadwal penerbangan selanjutnya. Aku benci melihat Bandara dan kau ada di dalamnya, yang berarti sebuah kepergian. Aku benci pesawat terbang yang hendak membawamu menjauh dari peradaban antara cangkir susu pagi dengan semangkuk sup makaronimu. Aku benci aroma kopi Starbucks di Bandara yang menyeruak kusut, terutama saat tatapanmu terbenam di antara manisnya Vanilla Cream dan sandaran di bahu ku. Pesawat akan membawamu pergi, bandara akan menjadikan tujuanmu mendarat sebagai rumah, bukan bahu seorang laki-laki tukang tenun. Aku bukanlah lagi pulangmu.
Aku mendeklarasikan perang terhadap koper yang akan membawamu pergi bersama dengan perasaanmu. Membawa pergi secangkir susu dan sup makaroni kesukaanku yang terdapat wajahmu di dasar mangkuknya. Atau gunting kuku yang terdapat jari-jarimu setiap serpihannya. Aku mengutuk bandara lengkap dengan semua pesawat terbangnya.
"Aku tidak suka kau pergi."
"Aku juga tidak."
"Kalau gitu, kau akan ku bawa kabur. Biar ketinggalan pesawat."
"Haha, tidak bisa begitu, terlalu egois."
"Cinta memang egois."
Matamu berbinar.
"Seperti itu ?"
"Seperti itu."
Rasanya, Semua berlalu seperti baru kemarin.
Malam itu kita makan mie rebus, berdua. Setelah hujan mengguyur seharian. Sambil menyetel lagu, syahdu. Mie rebus tidak enak kalau telurnya gak setengah matang, katamu. Padahal, asal bersamamu makan apapun terasa nyaman. Mie rebus telur setengah matang, mie rebus telur matang, mie rebus tanpa telur sekalipun akan nyaman jika bersamamu, begitu harusnya. Kau mengikat rambutmu dengan ikat rambut berwarna merah muda setelahnya. Kalau begini cantik tidak, katamu, waktu itu. Tanpa kau tanya sekalipun, kau selalu cantik. Apalagi kalau potong pendek seperti Akari Hayami dalam serial drama Jepang tempo lalu, cantik kuadrat. Toh, mau model rambut seperti apapun, kamu cantik-cantik saja.
Esok hari, kamu terlihat lebih cantik. Hari-hari sebelumnya juga berkali-kali cantik. Meskipun kadang harus menembus debu-debu sambil berkendara menjelajahi kota sampai pusat hanya untuk sekedar kencan mingguan. Melintasi mobil-mobil sepuluh ban yang besarnya bisa memusnahkan peradaban yang ada disebelahnya. Kalau katamu, truk-truk besar itu seperti transformers yang berbahaya. Sekali salah saja, kita berdua bisa terhimpit tragis diantara sepuluh ban nan besar. Karena itu pula, kau mati-matian mengingatkanku agar tidak berkebut-kebut ria. Meskipun kita sudah cukup berhati-hati, tapi terkadang orang lain yang membuat kita celaka, begitu katamu.
Rayuanmu pada suatu sore di minimarket dekat rumah adalah salah satu bagian favoritku. Kau bersih keras untuk membeli susu melon dan strawberry kesukaanmu. Kau bilang, kau ingin satu kardus, satu truk, bahkan seluruh produk susu melon dan strawberry yang ada di dunia ini harus tersedia di rumahmu. Aku hanya terkekeh kecil. Namun, rayuan manjamu sukses membuatku sulit terlelap. Dan akhirnya, susu melon dan strawberry menjadi rutinitas pagi sebelum membawamu berkelana menelusuri kota.
Hoodie kesayanganku juga terlihat cocok menempel di tubuhmu. Meskipun sedikit kebesaran, tapi masih terasa imut. Agar aroma mu melekat, katamu. Sama persis seperti aroma yang kau tinggalkan di sofa rumah ku. Yours Truly, sehingga kau bisa pakai sebanyak yang kamu mau.
Namun sekarang, susu melon dan strawberry menjadi pembungkus terakhir atas perpisahan kita hari ini. Aroma khas mu yang menempel pada sofa dan jaketku adalah peninggalan jejak paling menyakitkan atas perginya kau hari ini.
Bukankah, kau adalah orang yang paling membenci kepergian ? tapi kenapa malah kau yang angkat koper dan terbang jauh? tidak bisa kau bawa aku saja di dalam kopermu ? pasti muat. Bersempit-sempitan di dalam koper jauh lebih baik daripada harus melihat punggungmu menajuh dan muncul di belahan dunia lain.
"Jadi, ini akan menjadi vanilla cream terakhir kita?" Tanyamu sambil menahan air mata.
"Kalau begitu tidak usah ada Vanilla cream."
"Tapi, Vanilla cream kan manis."
"Kepergianmu yang pahit."
Hiruk-pikuk bandara membuatku sesak. Jadwal keberangkatan sebentar lagi. Sementara jadwal menangisku juga akan bertambah saat kepergianmu sudah absolute.
" Jaga diri baik-baik." Ucapku. Dan air mata berhasil menyeruak keluar dari bola mataku.
Kalau saja bukan permintaan orang tua mu agar kau kuliah di Jerman, pasti aku sudah menyiapkan tiket untuk serial kedua dari film kesukaanmu. Tapi malah kau yang membeli tiket keberangkatan di dataran asing antah berantah.
Nanti, kau masih mencintaiku kah? atau tiba-tiba muncul seseorang yang berhasil mencuri hatimu? apalagi kalau orang nya ratusan kali lebih baik daripada aku? tapi kalau kau bahagia karena orang lain bukannya aku juga harus senang?
Toh, melepaskan juga cinta kan?
Tapi, nanti yang menjelajahi kota bersamaku siapa?
Yang minum susu melon dan strawberry bersamaku siapa?
Mie rebus? bakso kesukaanmu? telur gulung? nasib mereka bagaimana?
Yang akan kubuatkan makan malam siapa?
kalau bukan kau, aku tidak mau masak makan malam untuk orang lain.
Kau memaksaku untuk mencintai kepergianmu. Hal terkejam kedua setelah mencintai secara diam-diam. Tapi jika ini termasuk bagian dari proses mencintai, aku mahfum.
Air mata kita sudah membanjiri bandara. Menangis bersama adalah kegiatan terakhir sebelum kita tak saling bertemu sekian tahun lamanya. Langkahmu semakin gemetar, dan aku semakin tidak ikhlas kau terbang melintasi samudera sementara aku sendiri disini.
Kucium kening mu sebagai langkah terakhir melepaskanmu. Lambaian tanganmu seakan sebuah pertanda bahwa kita tidak akan bertemu untuk waktu yang cukup lama. Aroma khasmu masih membekas. Setengah jam setelah kepergianmu, aku menangis cukup keras di kursi tunggu bandara. Ah, betapa bencinya aku terhadap bandara ini.
Tapi, semuanya cukup menjelaskanku beberapa hal.
Bahwa, dalam mencintai, bukan selalu perihal tentang berpelukan, berbagi jaket, mengucapkan kata-kata mesra, saling peduli. Namun, cinta juga perihal tentang melepaskan dan ikhlas. Mengajarkanku bahwa aku harus mencintai kepergianmu
Artinya, sampai busuk sekalipun. Aku tetap harus menunggumu pulang.
Ah, bohong. Aku membohongi diriku sendiri.
Aku tidak benar-benar kuat, segera pulang. Aku belum ikhlas.
Untuk Tasya Brunella,
aku masih menjuntai di sini, menunggumu. Saat pulang, kupastikan kau tidak pernah lolos lagi dari pelukanku.
Salam hangat, Yours Truly.
Tamat.
YOU ARE READING
Universe Of Ours.
Short StoryDalam kumpulan cerita ini, aku mengajak kalian untuk mengenal cinta dari sisi yang berbeda dan tak terduga. Cinta dalam pergi, cinta dalam lepas, cinta dalam duka, cinta dalam mati, yang akan membuat kalian mengenali betapa besarnya dosa mencintai...