Aku menemukanmu saat kemarau berlalu tepat di di bulan September. Saat menyusuri taman ibu kota yang penuh hingar bingar, aku menemukanmu tepat saat berlalu kemudian terduduk. Kamu selalu datang ketika matahari mulai memerah, entah hanya sekedar minum kopi atau menghabiskan roti sambil grasa grusu, kadang juga hanya sekedar singgah dan melamun lalu pergi ketika mulai gelap. Terkadang, wajahmu terlihat begitu lusuh. Air mukamu tidak begitu tenang, entah apa yang menganggu pikiranmu.
Kamu menjadi alasan utama untuk aku singgah di taman kota setiap harinya. Bukan untuk menikmati ingar bingar, tapi memperhatikanmu sambil membaca koran lusuh dan usang yang kutemukan di gudang rumah. Entah apa yang membuatku tertarik, aku seperti mencintai wanita yang belum pernah kutemui sebelumnya. Kamu seperti wanita murakami, meski orang berlalu lalang hanya aku yang sibuk mencintaimu.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk menemuimu secara langsung. Tentu saja, waktu itu kamu sedang menikmati bekal rotimu dengan grasa grusu hingga aku muncul di ujung ekor matamu.
"Hai"
Kamu terdiam. Matamu tiba-tiba berair. Semerbak banjir tangisan keluar peralahan bagai gerimis di bulan Oktober. Air mata mulai membanjiri roti lapismu hingga lunak sementara aku terperanjat bingung.
"kok malah hujan?" Tanyaku abstrak.
Kamu terdiam bingung. Pipimu yang berair dan menggemaskan mulai terlihat syahdu.
"Hujan?"
"Iya, Hujan. Kasian pipimu banjir, nanti hilang imutnya"
Kamu terperangah. Kamu mulai menyeka air matamu.
" Aku menangis, karena tidak ada yang datang sepertimu sebelumnya. Selalu sendiri, sampai arunika pudar pun selalu sendiri"
Matamu mulai berbinar lagi.
" kamu mendengar dersik?" Tanyaku abstrak, lagi.
"Tidak ada pula yang menghampiri dersik, dia juga sendiri, meski berjalan melalui ratusan kilometer daratan, dia tetap sendiri. Sampai arunika menghampiri." Lanjutku.
"Jadi, kamu Arunikaku kalau aku Dersik nya?" Tanyamu yang mulai semakin abstrak pula.
"Mungkin?"
"Tidak bisa mungkin, Harus !"
Aku terdiam menjelang langit kian menggelap.
" Begini nona, sebenarnya aku sudah memperhatikanmu sejak entah berapa minggu yang lalu, makanya aku menghampiri. Jadi sebenarnya, kamu tidak pernah sendiri sejak duduk pertamakali di taman ini sambil memakan roti lapis itu."
"Kamu selalu bersama perhatian diam-diamku." Lanjutku.
Kamu berdiri, lalu membersihkan rok warna cream mu yang sempat berdebu.
"Aku Bianca, perempuan yang barusan menangis, dan dersik yang barusan kamu singgung"
Ucapmu sambil menyodorkan tangan kananmu
"Aku Nala" Sambarku.
Aku terperangah ketika melihat wajahmu dari dekat. Sial, batinku.
Kamu ratusan kali lebih menggemaskan dari biasanya yang kulihat dibalik koran tua dan usang, berdebu pula.
Aku memutuskan untuk menemanimu berjalan pulang. Lagipula, kenapa perempuan ini selalu sendiri, batinku.
"Jadi, Kenapa tadi ada hujan di matamu?"
Aku memutuskan untuk berani bertanya. Karena, sedikit janggal ketika dia menangis saat melihatku, padahal pertama kali bertemu.
YOU ARE READING
Universe Of Ours.
NouvellesDalam kumpulan cerita ini, aku mengajak kalian untuk mengenal cinta dari sisi yang berbeda dan tak terduga. Cinta dalam pergi, cinta dalam lepas, cinta dalam duka, cinta dalam mati, yang akan membuat kalian mengenali betapa besarnya dosa mencintai...