🦋Slave-1🦋

2K 160 13
                                    

"Awhh!" ringisku menahan perih ketika Hasan menarik tanganku kuat.

Entah apa salahku kali ini hingga membuat dia begitu marah. Aku juga tidak tahu entah kemana dia akan membawaku pergi setelah dia menyeretku paksa dari keramaian orang banyak.

Padahal tadi sebelumnya Hasan yang mengajakku untuk ikut bersamanya menghadiri sebuah pesta orang kaya. Ralat, sebenarnya bukan mengajak, tapi memaksa.

Acara pesta itu tak hanya kami saja yang datang menghadiri. Kedua orang tua Hasan dan papa Dava beserta mama Airaa juga turut hadir dan larut dalam meriahnya pesta.

Aku tidak tahu apa penyebab yang membuat dia marah, karena aku pun juga larut menikmati pesta. Hingga pada saat datangnya seorang pria tampan yang menghampiriku disaat Hasan tengah berbincang dengan salah satu kliennya yang juga turut hadir di acara pesta itu.

Pria yang menghampiriku itu langsung mengajakku berkenalan. Tentu saja aku mau, sebab pria itu terlihat sopan dan tak melihatku dengan tatapan mesum. Tak seperti tatapan pria-pria lainnya yang sedari awal secara terang-terangan menatapku mesum seolah ingin menerkamku dan memakanku habis.

Lewat perkenalan itu yang aku tahu sekarang nama pria itu adalah Miko. Dia pria yang ramah dan murah tersenyum, baru saja kami ingin mengobrol lebih akrab soal kehidupan kami namun tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram bahuku. Tubuhku seketika menegang merasakan cengkeraman kuat itu.

Tak perlu mendongakkan kepala untuk melihat orang tersebut karena aku tahu siapa yang sering melakukan itu padaku.

Hasan menyuruhku untuk bangkit berdiri dari dudukku, dan tanpa aba-aba ia langsung menarik lenganku cukup kuat. Aku masih sempat menoleh sekilas ke arah Miko yang tampak heran melihatku yang di tarik paksa begini, langkahku pun terseok-seok akibat mengikuti langkah kaki Hasan yang panjang dan lebar.

"Masuk!" titah Hasan setelah kami sampai di tempat parkiran, ia menyuruhku untuk masuk ke dalam mobil. Dengan masih mengatur napasku yang ngos-ngosan pun aku mematuhinya.

Hasan masuk di kursi kemudi setelahnya, dia menoleh ke arahku kemudian berdecih.

"Aku bisa sendiri!" kataku menepis tangannya yang hendak memakaikan saefty belt untukku.

Segera saja langsung ku kenakan safety belt ku, ia hanya diam dan tanpa berkata apapun lagi langsung menghidupkan mesin mobilnya.

Mobil melaju dengan sangat kencang, aku bahkan sampai harus berpegangan erat saking merasa takutnya. Hasan sangat mengerikan jika dalam keadaan seperti ini, lihatlah, bahkan cara menyetirnya gila sekali.

Setan sekalipun kalah jika di bandingkan dengan sikap Hasan yang tengah marah seperti ini.

"Apa kau ingin mati?!" teriakku saat sudah tak tahan lagi berada di dalam mobil yang sedang berpacu ngebut-ngebutan di jalanan pada malam hari begini.

Sungguh! Aku tidak mengerti dirinya, aku rasa dia juga mengidap penyakit kejiwaan alias gila seperti ibuku. Ya, mungkin, besok aku harus mulai membicarakan kondisi psikis dan mental Hasan.

Dan ku harap semoga dia memang mengidap penyakit kejiwaan, aku sangat mengharapkan dia gila agar langsung di seret ke rumah sakit jiwa selamanya. Lalu aku akan terbebas dari ikatan hubungan gila yang membelenggu ini.

"Cukup menjadi budakku saja, jangan pernah mencoba menjadi jalang untuk pria lain. Ingat itu!" ucapnya yang langsung menohok ulu hatiku.

Setetes cairan bening mengalir turun dengan derasnya di susul tetesan demi tetesan lainnya. Rasanya begitu sakit, budak dan jalang?

Kedua kata yang sangat aku benci, dua kata yang selalu ku dengar apabila ia marah meledak-ledak.

Aku tahu dan bahkan sangat sadar jika selama ini aku menjadi budaknya selama dua tahun terakhir belakangan ini.

Aku bisa mengembuskan napas lega ketika pada akhirnya mobil berhenti, uji nyali menantang maut tadi telah berakhir. Oh, syukurlah!

"Turun!" titahnya tak ingin di bantah.

Karena tak ingin membuatnya tambah marah aku pun menurutinya dengan turun dari mobil juga. Hasan membawaku ke apartemennya, ia kembali menarikku dengan kasar masuk ke dalam lift.

"Kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku setelah ia selesai memencet tombol angka sepuluh dan lift pun berjalan.

"Menurutmu?" Hasan balik bertanya.

"Aku muak dengan semua ini!" ucapku mengeluarkan segala unek-unekku selama ini.

"Muak?" ulangnya, "kalau begitu kau bisa mengadu semua yang terjadi pada kita ke orang tuaku."

"Brengsek!" umpatku kesal.

Ia tertawa dan aku sangat tahu jika tawanya itu adalah sebuah ejekan untukku. Hasan tahu betul jika aku tidak akan mampu untuk mengadukan semua ini pada bunda Kia dan ayah Nando.

"Kenapa? Kau takut?" tanyanya mengejek.

Aku diam, tak ingin menjawab pertanyaannya yang jika aku jawab malah akan semakin membuatku kesal.

Ting.

Suara dentingan lift yang menandakan jika kami telah sampai di lantai apartemen Hasan. Ia kembali menarik tanganku untuk mengikutinya.

"Bersiaplah untuk menerima hukumanmu." katanya terdengar begitu menyeramkan.

Oh Tuhan, jangan lagi! Ku mohon!

Oh Tuhan, jangan lagi! Ku mohon!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tbc....

Gimana babang Hasan?

Mirip banget sama ayah Nando, kan? 😋

Bagai pinang dibelah lima, eh dua :v hehe.

Slave (Tersedia Versi Cetak & Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang