WOM | 04

69 7 0
                                    

"Bagaimana caranya mau menyusul bunda, hmm? Kamu mau Tuhan marah karena kamu lewat jalan yang salah? Ikhlas sayang, abang tau kamu kuat,"

Yeri masih terisak dalam pelukan laki-laki yang di panggil abang olehnya. Chen, kakak sepupunya. Dia selalu menjadi tameng untuk Yeri sejak dulu, walau tidak bisa 24 jam menjaga adik kecilnya, Chen tetap memantau Yeri beberapa kali saat ia pulang ke Jakarta. Tugasnya di Bandung lah yang mengharuskan Chen meninggalkan adik sepupunya sendirian, padahal ia tahu Yeri butuh seorang teman.

"Kurang kuat apalagi Yeri, bang? Seumur hidup rasanya bia dihitung pakai jari Tuhan kasih aku kesempatan untuk bahagia, itupun karena Bunda. Dan sekarang, saat Bunda sudah gak ada. Apa lagi yang menjadi alasan aku bisa bahagia? Yeri gak sekuat itu ... Yeri capek,"

Chen menghapus air mata Yeri, dia tersenyum menenangkan. Berusaha tidak larut dalam kesedihan, walau nyatanya memang sulit. Karena bisa dibilang, Chen lah saksi hidup pahitnya kehidupan Yeri. Pertama keluarga yang selalu menyalahkan Yeri, kedua Yeri dianggap anak sial, dan berbagai tekanan yang dilontarkan oleh keluarga nya lah yang membuat Chen tahu betul bagaimana perasaan Yeri. Terlebih, dia seorang perempuan.

"Saat kamu disajikan makanan enak, diluar sana banyak yang mengais sisa makanan dalam tong sampah. Saat kamu tidur di tempat beralas kasur lembut, mereka hanya tidur beralas kardus. Kita sama-sama punya masalah, dan kita sama-sama punya cara sendiri untuk menyelsaikan masalah tersebut. Dan menyerah bukan jalan keluar dari suatu masalah. Kamu bisa kalau kamu gak menyerah hari ini. Hidup memang bukan pilihan, tapi kalau didasari rasa syukur mungkin akan ada sebuah harapan,"

Chen melanjutkan kembali ucapannya, "Disaat seperti ini, kamu boleh sedih. Kamu boleh menangis sebanyak yang kamu mau, tapi kamu gak boleh berlarut. Ada kehidupan yang harus kamu ubah, kalau bukan kamu sendiri yang mengubahnya, siapa lagi? Dan sekali lagi abang tekankan ke kamu, jangan pernah merasa kamu hanya seorang diri di dunia. Kamu punya abang, bukankah itu cukup? Semangat untuk bangkit, abang bakalan terus ada di belakang adik kecil abang,"

Yeri mengangguk kecil, setidaknya ucapan yang keluar dari mulut Chen membuat dia tenang, untuk saat ini. Yeri beruntung masih ada salah satu keluarganya yang menganggap dia ada.

"Sekarang makan ya? Kalau sakit, siapa yang akan menguatkan diri kamu sendiri? Karena apa...?"

"Karena semakin dewasa, semakin kita sadar, bahwa hanya diri sendiri yang bisa diandalkan?"

Chen mengangguk dan tersenyum menenangkan. Kata-kata yang memang sedikit menyakitkan, namun sampai kapan kita menutup mata akan kebenaran yang sesungguhnya? Kata-kata itu selalu Chen ucapkan saat Yeri sedang di titik terendahnya.

Akhirnya melalui bujukan Chen, Yeri mau keluar kamar dan berjalan ke meja makan yang sudah ada makanan delivery.

"Terima kasih karena selalu ada di samping Yeri, tanpa abang Yeri gak akan bisa sekuat ini,"

"My pleasure, baby. Makan yang banyak ya,"

Setelah itu Yeri melanjutkan makannya, walau hanya untuk menelan saja rasanya berat, tapi Yeri pasti bisa untuk menguatkan dirinya sendiri. Ada kehidupan yang harus ia ubah.

***

Chen sudah memberi tahu bahwa kediaman Yeri akan kedatangan pemilik perusahaan tempat Chen kerja. Kebetulan Bos nya Chen baru saja pindah dari Bandung ke Jakarta dan mereka akan menyempatkan bertamu untuk berbela sungkawa.

"Keluar kamar dulu yuk, temuin bos abang," Chen menyentuh bahu Yeri yang saat ini sedang melamun di balkon.

"Kenapa mereka berkunjung?"

"Karena abang memberi tahu mereka kalau tidak akan bekerja selama satu minggu ke depan,"

Yeri mengangguk dan berjalan dibelakang Chen. Jika bukan karena rasa terima kasih pada Chen, Yeri sebenarnya malas untuk sekedar keluar kamar.

Chen mendudukkan Yeri disamping sofanya, dia melihat Yeri hanya menunduk. Chen memegang bahu Yeri yang langsung ditanggapi olehnya, dia mendongak dan tersenyum sopan. Tapi, matanya terpaku pada satu orang dihadapannya.

"Turut berduka cita ya Chen. Semoga segala amal kebaikan beliau diterima di sisi Tuhan," ujar istri dari bos Chen.

"Terima kasih Bu karena menyempatkan untuk berkunjung, suatu kehormatan bagi saya," jawab Chen.

"Tidak usah sungkan, kau sudah banyak membantu kami."

"Iya pak, oh anaknya kah pak?" Tanya Chen melihat seseorang yang duduk di sofa single.

"Iya kenalkan, dia anak bungsu saya. Memang tidak pernah datang saat ulang tahun perusahaan, jadi kamu tidak mengenalnya. Sehun, sapa karyawan Dad,"

Lewat ekor matanya, Yeri melihat Sehun membungkuk dengan sedikit senyuman.

"Kau Yeri, benar kan?" Ujar suara dingin yang membuang pembicaraan terhenti, menatap kedua pelaku itu.

"Kau sudah tahu hal itu," jawab Yeri tanpa mengalihkan pandangannya.

"Kalianㅡ?"

"Teman sekelas ku,"

Kedua orang tua itu mengerti. Kemudian salah satu dari mereka menghampiri Yeri, dan memberikannya pelukan.

"Kuat ya sayang, kalau butuh apa-apa bilang sama tante. Kalau bisa tante bantu, pasti akan tante bantu," ujarnya pada Yeri.

"Terima kasih tante," jawab Yeri seadanya, tepatnya ia bingung harus bereaksi seperti apa mendapat perlakuan tiba-tiba seperti ini.

Karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan akhirnya keluarga Pramono pamit untuk pulang bertepatan dengan Ayah Yeri yang datang dengan pengacaranya.

Mereka berdiam di halaman rumah, keluarga Pramono yang ingin pulang pun terhenti memperhatikan keluarga Yeri.

"Ada apa, Om?" Tanya Chen diambang pintu.

"Rumah ini akan Om jual karena terlalu besar untuk ditinggali anak ini seorang diri. Dan satu lagi, dia Om serahkan padamu tak apa kan? Kau bisa membawanya ke Bandung, Om akan kirim uang kebutuhan dia padamu," jelas Ayah Yeri tanpa mau menyebut nama Yeri barang sehuruf pun.

"Omㅡ tap-tapi om gak bisa seperti ini, bahkan kuburan Tante Pramesti belum kering, tapi om kenapa berbuat seperti ini?" Tanya Chen lagi-lagi tak habis pikir dengan pemikiran orang yang ia panggil Om itu.

Yeri sedari tadi hanya menunduk, bahunya bergetar menandakan bahwa perempuan itu kini kembali menangis, ia mencoba untuk tidak mengeluarkan isakannya namun sayang, hal itu lolos begitu saja, membuat ClyraㅡIbu Sehun memeluk gadis rapuh yang berdiri di sebelahnya. Entah mengapa dia ikut merasakan sakit yang gadis ini rasakan.

"Bukankah lebih cepat lebih baik, pun sudah tak ada lagi yang diharapkan. Ibunya sudah meninggal, dan saya juga akan kembali pada istri dan keluarga saya, apa lagi yang harus dipertahankan?"

"Lakukan semua hal yang ayah inginkan, jika itu membuat ayah senang!" Geram Yeri dengan suara menahan amarah.

"Oh tentu saja, ini semua harta saya,"

Yeri memilih untuk meninggalkan mereka dan masuk kedalam kamarnya. Persetan dengan sopan santun, entah keberapa kalinya ayahnya sudah menyakiti dia. Baik perasaan maupun fisik. Dan entah keberapa kalinya pula dia menangis karena hal yang sama.

***

Sosok Chen disini jadi idola aku banget huhuhu.

Hunri nya tahan dulu:) gak berat kok cerita ini, enjoy aja bacanya:)

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Walk On Memories | Sehun x YeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang