1 • memories

16 3 2
                                    


Sudah terlalu lama bagi Anne White, seorang terapis yang telah bekerja selama dua puluh tahun, untuk menyembuhkan pasien-pasiennya yang mengalami trauma atau kejadian yang tak bisa mereka lupakan dalam hidupnya.

Kali ini semuanya akan ia akhiri. Dengan pasien terakhir yang datang kepadanya hari ini, ia akan bantu semaksimal mungkin dengan kemampuan tak logisnya, sekaligus melakukan percobaan pertama untuk teknik terapi yang belum pernah direalisasikan oleh para psikolog dunia. Teknik yang telah ia teliti dan uji selama beberapa tahun terakhir, dan sudah diakui oleh profesor tempat ia meneliti teknik tersebut, jikalau orang yang ia temui hari ini membutuhkannya.

Ruangan yang didominasi oleh warna-warna menenangkan ini menjadi saksi bisu dari kejeniusan seorang Anne yang tak bisa ditolak lagi. Namun sayang, ia tak ingin meneruskan pekerjaannya hingga akhir. Ia butuh pemulihan pemikirannya, juga terlalu lelah untuk mendengarkan keluhan orang lain. Intinya ia jenuh dan takkan mau kembali menjadi seorang terapis lagi.

Tiba-tiba suara ketukan pintu menggema di seluruh penjuru ruangan.

"Silakan masuk," suara Anne disambut oleh terbukanya pintu dengan sosok seorang gadis berumur duapuluhan akhir di baliknya.

"Terima kasih," jawab gadis itu tersenyum.

Kebetulan ia adalah pasien terakhir yang datang hari ini, sekaligus menjadi pasien terakhir di akhir pekerjaannya kali ini. Wajah gadis itu sangat familiar di mata Anne.

"Nona Alexa Madden?" Tanya Anne untuk memastikan data yang ia dapatkan dari sekretarisnya benar.

"Iya, itu nama saya." jawab gadis itu dengan senyuman yang masih sama.

Anne membaca riwayat hidup si gadis. Ia tercengang karena gadis itu ternyata adalah mahasiswa di universitas tempat ia mengajar. Ia juga mendalami ilmu psikologi, namun anehnya ia yang justru harus mendapat pertolongan.

"Saya, harus mengatakan hal ini," raut wajah gadis itu seketika muram ketika mengatakan sepatah kalimat tersebut. Anne pun mencatat dengan cepat perubahan perilaku konseli-nya dengan gejala bipolar.

Setetes demi setetes air mata gadis itu membasahi pipinya. Perubahan perilaku itu tak membuat Anne kaget. Ia memaklumi semua orang yang mau berbicara pada konselor. Keberanian mereka patut diacungi jempol.

"Saya selalu bermimpi berada di masa lalu," jelas gadis itu sembari terisak.

Anne bertanya,"Kalau boleh tahu, kapan tepatnya hari yang ada dalam mimpimu?"

"Hari itu adalah hari kelulusanku sembilan tahun yang lalu. Aku tak pernah bisa menghentikan mimpi itu sampai satu saat tertentu, yakni pertemuanku dengan lelaki itu untuk terakhir kalinya,"

Anne berpikir ini adalah gangguan kecemasan yang disebabkan oleh trauma masa lalu. Apakah lelaki dalam mimpi konseli itu sudah mati? Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan mulai bersikap profesional. Walaupun begitu, tetap saja otaknya ingin berbicara bahwa sepertinya gadis itu hanya mengidap gangguan kecemasan biasa.

"Mengapa saat ini kalian tidak bisa bertemu?" Tanya Anne. Ia mungkin adalah psikolog profesional yang telah mendunia, namun di hari terakhirnya ini, mungkin saja ia membuat kesalahan yang fatal.

"Ia menghilang."

Bukan meninggal. Bukan pula menolak pernyataan cinta sang gadis, gumam Anne dalam hati.

"Rasanya, mimpi itu sangat nyata. Sudah sembilan tahun saya bermimpi hal yang sama. Ini semua membuat saya frustrasi hingga ingin bunuh diri," gadis itu memperlihatkan beberapa goresan merah di kulit lengan kirinya. Ia sepertinya mencoba untuk memotong urat nadi miliknya sendiri. Anne tidak aneh melihat hal itu. Tampaknya Alexa hanyalah pasien biasa yang memiliki penyakit sama. Namun ada satu hal yang membuat gadis itu spesial, ia memiliki hal yang tak bisa ia sadari dan tak bisa dibuktikan secara ilmiah. Inilah yang membuat Anne tertarik untuk melakukan percobaan teknik terbarunya pada Alexa.

"Apakah Anda tahu alasan dia menghilang?"

"Ya, saya benar-benar tahu alasan ia menghilang. Maka dari itu saya menyesal dengan semuanya."

Setelah sesi berbicara selesai, Anne mulai melakukan hipnoterapi-nya. Membuat gadis itu tidur terlelap dengan satu pertanyaan yang menempel di otaknya, "Jika Anda memiliki hal apa pun yang bisa dilakukan pada hari itu, apa yang akan Anda lakukan?"

Gadis itu menjawab dengan meringis, "Saya ingin menjadi tak kasat mata, lalu mengungkapkan semua penyesalan yang selama ini tak pernah saya ungkapkan kepadanya,"

Ia lalu tertidur lelap dengan air mata yang masih tak mau pergi dari pipinya yang basah.

●●●

Before I Let You Go Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang