Alexa
Aku yang saat ini telah mendapat balasan dari semua perbuatanku di masa lalu.
Selama sembilan tahun lebih menjalani hidup penuh penyesalan, dulu aku hanyalah orang yang selalu gegabah dalam membuat keputusan, hingga berakibat fatal di masa depan.
Keputusan yang menurutku benar ternyata selalu mengakibatkan hal yang fatal bagi kehidupan orang lain, sehingga aku dicap sebagai orang yang tak berperasaan. Contohnya saja Rose, temanku yang sampai saat ini belum bisa kutemukan. Ia adalah korban kesalahan akibat keputusan bodohku. Aku tak pernah bisa meminta maaf atau mengatakan terima kasih kepadanya. Ia telah menghilang semenjak kejadian itu. Kejadian yang menghubungkanku dengan seseorang yang selalu hadir dalam mimpiku selama sembilan tahun ini.
Dan lelaki itu, aku mengenalnya luar dalam. Hanya dengan melihat matanya, aku bisa tahu siapa dia sebenarnya.
Mata hijaunya menggambarkan kesenduan. Di balik sosok populer hingga tak ada satu pun orang yang tak mengenalinya, ia hanyalah seseorang yang sedang putus asa.
Senyumannya terlalu palsu. Senyuman yang selalu digilai oleh seluruh perempuan di sekelilingnya itu terlalu bodoh untuk disebut sebagai ketulusan.
Lalu sebenarnya apa yang ia lakukan selama ini? Apakah dirinya yang sedang ia tunjukkan itu adalah dirinya yang sebenarnya? Apakah semua yang ada sebagai kehebatan yang terpancar dalam dirinya juga adalah kebohongan?
Pertama kali aku melihat lelaki itu sedang duduk bersandar di halte bus dekat sekolah. Kebetulan aku pun sedang menunggu bus untuk pulang. Ia selalu menghela napas dengan berat, lalu memijat pelipisnya dan menahan matanya agar tak mengeluarkan air mata. Kadang ia mengacak-acak rambut ikal coklatnya. Lalu kembali menunduk dengan bibirnya yang tak pernah mengulas senyuman.
Saat itu pula aku melihatnya sebagai orang yang berbeda. Bukan orang yang selalu diceritakan oleh teman-temanku, yang selalu ceria dan mendapat pujian dari guru karena nilai matematikanya yang tak pernah kurang dari 100, yang selalu mendapat penghargaan lomba Sains tingkat nasional, yang tak pernah absen dibicarakan oleh penikmat musik jazz di luar sana. Ia berbeda. Ia, tampak seperti sampah.
"Oh, maaf, apa aku mengganggumu?" Tanyanya secara tiba-tiba kepadaku. Ia aneh.
"Ah, tidak. Apa kau baik-baik saja?" Aku khawatir dengan kondisinya.
"Sepertinya kau syok dengan keadaanku yang sebenarnya," ia tersenyum miris.
Saat percakapan itu dimulai, aku tahu bahwa ia tidak baik-baik saja.
Temanku, Rose, ternyata sangat dekat dengannya. Rose menghilang setelah mengobrol dengan lelaki itu beberapa hari yang lalu. Lalu aku bertanya keadaan Rose padanya, lalu ia menarik lenganku untuk ikut bersamanya.
"Ayolah, kau yang hanya anak culun tak akan berani menyelamatkan temannya yang sedang sendirian,"
"Apa maksudmu?" Aku melepaskan genggamannya.
"Rose dikejar seseorang, karena ia tak bisa membayar semuanya. By the way, kau mau ini?" Ia menyodorkan rokok miliknya. Aku menepis rokok itu hingga terjatuh.
"Hei! Apa yang kau lakukan?! Ini rokok punyaku! Aku yang membelinya sendiri! Kau gila?!" Bentaknya.
"Kau sudah tahu 'kan, kalau benda itu berbahaya?"
"Tentu, ini hanya pemberontakan terhadap diriku sendiri, memangnya kenapa?!" Ia pun membakar rokok lain yang ia punya dengan api dan menghisapnya hingga mengeluarkan asap yang menyesakkan.
"Katakan kepadaku di mana Rose?"
"Kau tak akan tahu,"
"Kenapa kau malah bersikap seperti ini? Ia terlibat apa hingga tak bisa membayar? Beritahu aku!" Tanyaku dengan nada yang lebih tinggi.
"Oke! Aku akan mengatakan semuanya!" Akhirnya ia berani mengatakan sejujurnya, "Ia tak bisa membayar methamphetamine yang ia makan malam itu."
Sejak saat itu, aku berlari pergi meninggalkannya. Inilah penyesalanku seumur hidup.
Aku frustrasi dengan semua itu. Diriku tak pernah bisa menerima kenyataan pahit yang ada di sekitarku saat itu hingga ingin kuakhiri hidup ini.
Kupikir aku mengenali teman-temanku dengan baik. Aku kenal Rose, ia sangat baik dan cerdas. Ia juga memiliki banyak teman yang bisa dijadikan tempat mencurahkan isi hati. Tapi permasalahan dirinya dengan sang ibu membuat semuanya runyam. Dan aku baru mengetahuinya setelah lelaki itu memberitahukan bahwa Rose menghilang.
Sebenarnya aku tak pernah ingin melibatkan diri ke dalam permasalahan paling mengerikan dalam hidup ini. Aku tak pernah mau bertemu dengan lelaki itu. Namun takdir selalu mempertemukanku dengannya, hingga suatu hari ia menarik lenganku dan memintaku untuk pergi bersamanya.
Ia berniat menyelamatkan Rose, yang sudah ia jerumuskan ke dalam kesedihan teramat kelam, yakni ke dalam dunia narkotika berbahaya. Hanya aku saja yang tahu semuanya. Ini membuat kepalaku ingin meledak.
Kami datang ke kediaman seseorang yang meminjamkan uangnya kepada Rose, dan membayar sebisa kami untuk membantu Rose. Tapi hasilnya nihil, Rose tak pernah kembali, dan aku terpaksa harus mengatakannya kepada Ibu Rose.
"Mrs. Backeley, maaf, namun aku harus mengatakan ini padamu," aku menyiapkan diri untuk mengatakan hal paling menakutkan dalam hidupku.
"Alexa? Apa kau menemukan anakku?"
"Rose... dia-" belum sempat aku mengatakannya, tiba-tiba suara pintu terbanting sangat keras, hingga terlihat siapa pelakunya.
"Ah, jadi kau ibunya Rose. Dia sudah berhutang kepadaku lebih dari seratus ribu dolar! Tapi ternyata ia kabur. Dasar brengsek!" Teriak lelaki itu. Ya, dia adalah orang yang beberapa waktu lalu bertemu denganku.
Ia membawa bandar methampethamine bersama dengan lelaki itu di sampingnya. Namun tindakan mereka terlalu terekspos hingga para tetangga melaporkan kejadian ini kepada pihak yang berwajib.
Lelaki penjual narkoba itu membawa pistol. Aku benar-benar ketakutan, namun tiba-tiba saja terdengar teriakan disertai suara tembakan yang sangat memekikkan telinga. Dengan sigap seseorang mendekapku sangat erat, hingga aku tak bisa melihat kejadian paling mengerikan itu.
Aku menangis sekencang-kencangnya. Di pelukan entah siapa. Namun sesegera mungkin aku mengetahui siapa orangnya.
"Tenanglah, tenanglah. Ada aku di sini, kau tak melihat apa pun. Semuanya bisa kita atasi dengan baik. Semua akan baik-baik saja." kalimat itulah yang selalu terngiang hingga sembilan tahun hidupku setelahnya.
Kejadian mengerikan itu akhirnya diketahui oleh khalayak ramai. Terdakwa pembunuhan Mrs. Backeley, wanita paruh baya yang hanya memiliki satu orang anak, yakni Rose Backeley, dan tak memiliki suami itu ternyata adalah teman dari si penjual narkoba. Ia adalah orang yang menagih uang kepada Rose. Ia meminjam pistol pria penjual narkoba itu lalu menembak Mrs. Backeley tepat di jantungnya. Si penjual narkoba telah dijatuhi hukuman berat untuk perbuatannya, begitu pula si pembunuh.
Dan lelaki itu, ia harus menjalani rehabilitasi karena penggunaan dosis tinggi methampethamine. Sejak saat itulah kami tak pernah lagi mempunyai teman. Setelah ia menjalani rehabilitasi dan dikeluarkan dari sekolah, ia hanya bisa diam tak berkutik. Aku sering melihatnya pergi ke sekolah menggunakan seragam seperti biasa, lalu masuk dan makan di kantin seperti biasa, namun bedanya ia hanyalah sendirian.
Aku menghampirinya, namun ia tak pernah menganggapku ada. Ia selalu pergi ketika aku duduk di sampingnya. Ia selalu mengelak jika aku mengajaknya berbicara, atau malah tak menghiraukanku dan berlari menuju gerbang sekolah untuk pulang.
Tak ada lagi lelaki populer yang terkenal dengan kecerdasannya. Tak ada lagi lelaki yang digandrungi oleh para perempuan di sekolah. Tak ada lagi seorang lelaki sempurna yang diharapkan menjadi pangeran dalam setiap kisah cinta teman-temanku. Tak ada lagi topeng yang dapat menutupi wajahnya. Ia telah tertangkap basah menjalani kisah tokoh dengan segala kesempurnaannya.
Lelaki itu, hancur berkeping-keping.
●●●
KAMU SEDANG MEMBACA
Before I Let You Go
Short Story[COMPLETED] #2 of Before short stories Perempuan itu memiliki kemampuan yang tak umum. Dirinya bisa kembali ke masa lalu, namun otaknya tetap menolak hal itu. Karena itu ia pergi menemui seorang terapis terkenal yang tak akan menerima konseli lagi m...