Bab I

576 12 0
                                    

Seperti biasa, sepulang kerja aku selalu datang ke tempat ini. Bangku dan gazebo berjejer rapi, tapi senja ini gerimis melanda hati. Mencabik rasa yang selama ini tertata apik untuk pria berlesung pipi dan bermata sipit yang duduk di hadapanku. Raut wajahnya menyiratkan kedukaan, sama sepertiku.

“Sorry, aku nggak bisa ngikutin keyakinan kamu, Farah. Aku menganut agamaku sejak kecil, dan itu nggak akan berubah hingga aku mati.”

Aku mengangguk pelan mendengar penjelasan Daniel, ada sekelumit perih yang mendera hati. Ke mana kata-kata manis yang sering ia katakan dulu.

“Aku bersedia melakukan apa pun untukmu, Farah. I love you.”

Kata-katanya manis melambungkan angan, membuatku merasa jadi wanita paling bahagia. Sayangnya, semua hanya tinggal kata tanpa fakta.

“Dan, aku sayang sama kamu. Apa itu nggak cukup kuat untuk membuatmu satu biduk denganku?” bujukku dengan mengesampingkan harga diri sebagai perempuan.

“Rah, aku nggak sanggup bertentangan dengan Mama. Aku nggak mau dicap anak durhaka,” jawabnya lirih. Aku bisa melihat matanya memerah seolah putus asa, jika harus memilih. Aku atau Mamanya.

“Baiklah, Dan. Semua tentang kita berakhir di sini,” ucapku tersedu. Empat tahun menjalin kasih, berakhir patah hati.

“Rah, kalau kamu sayang aku ... kamu aja yang masuk agamaku, ya! Kita nikah dan bahagia,” katanya penuh pengharapan. Aku bisa melihat manik matanya berpendar semringah. Kutepis tangannya perlahan, lalu menggeleng.

“Sorry, Dan. Seperti halnya kamu, aku juga nggak sanggup menentang Papa. Apalagi aku hanya anak perempuan. Maaf, Dan ...,” pintaku tak bersemangat. Segera kulajukan motor matic kesayangan membelah jalanan tak berbatu. Air mata tak lagi bisa dibendung, aku patah hati dan menderita karena cinta.

***

Sejak saat itu, kuputus semua akses komunikasi dengan Daniel. Apa pun bentuknya. Aku ingin belajar melupakannya.

“Kamu nggak kerja, Rah?” tanya Papa sambil membalik buku Fikih yang ia baca.

“Nggak, Pa. Farah cuti, capek.” Aku menjawab sekenanya, menghindari kecurigaan Papa.

“Kebetulan kamu cuti, coba duduk sini! Papa mau bicara,” pinta Papa sambil menepuk sofa berwarna cokelat. Aku beranjak dengan malas, biasanya Papa akan mengajak diskusi soal fikih wanita. Aku benar-benar tidak dalam mood yang baik. Namun, aku tetap menuruti permintaannya.

“Papa punya temen yang mau berkunjung ke sini, sekeluarga. Kebetulan kalau kamu cuti. Bantuin Bik Minah masak ya,” kata Papa datar. Ia usap kepalaku lembut. Papa adalah single fighter semenjak Mama wafat sepuluh tahun yang lalu.

“Emang, tamunya banyak, Pa?” tanyaku malas. Aku bad mood.

“Nggak juga sih. Sekeluarga, ada orang tua, anaknya dua laki perempuan. Udah itu aja,” jawab Papa. Matanya kembali pada buku yang ia baca.

“Kapan datengnya, Pa?” Akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibirku. Jika cepat datang pasti cepat beres.

“Kalau kamu siap, lusa bisa mereka datang.”

“Iya, deh, Pa. Atur aja. Nggak banyak juga ‘kan, tamunya?” tanyaku memastikan.

“Iya anak papa yang bawel,” jawabnya penuh canda, sambil mengacak rambutku.

Aku bergelayut manja di bahunya, rindu Mama. Entah mengapa Papa begitu betah menduda, padahal Papa cukup dalam segala hal.

“Papa nggak nikah lagi karena kamu, Farah. Jadi jangan mikir yang macam-macam! Tugas seorang ayah terhadap anak perempuannya itu berat. Jadi harus diserahkan pada orang yang tepat.”

Aku menyeka air mata yang menggenang di kelopak mata. Papa seolah bisa membaca isi hatiku saat ini. Biasanya Mama tempatku berkeluh kesah, aku tak mungkin menceritakan semua pada Papa. Sungkan. Apalagi Papa begitu konsisten dalam agama. Sementara aku, banyak berdusta di belakangnya.

“Sudah shalat belum? Berdoalah setiap usai shalat! Biar Allah kasih jodoh terbaik buat kamu, Nak,” kata Papa sungguh-sungguh. Kenapa juga Papa harus membicarakan soal jodoh saat ini, membuatku makin patah hati.

***

Akhirnya hari kedatangan teman Papa beserta keluarganya pun tiba. Aku sibuk di dapur  bersama Bik Minah. Hingga tak sadar waktu beranjak sore.

“Mbak Farah mandi saja. Bibik bisa kok ngerjain sendirian,” ucap Bik Minah lembut. Ia tengah sibuk mengiris puding pandan yang terlihat amat menggoda lidah. Aku mencomot seiris sambil mengangguk. Badanku sudah terasa lengket, ternyata dapur bukanlah tempat idamanku.

Aku sengaja berendam cukup lama di bathtub, memanjakan diri dengan aroma terapi itu ampuh menghilangkan penat. Entah sudah berapa lama aku berendam, hingga terdengar suara Bik Minah menggedor pintu kamar mandiku.

“Mbak Farah, dicari Papa.”

“Iya, Bik. Sebentar aku selesai,” jawabku dengan ragu. Buat apa Papa mencariku? Bukankah sudah cukup aku menyiapkan perlengkapan penyambutan tamu. Tak urung aku bergegas mengakhiri kesenanganku berendam. Mengenakan gamis simpel dan khimar berwarna hitam, tak lupa kusematkan tuspin berbentuk bunga mawar.

Aku berjalan santai menuruni anak tangga, tanpa memperhatikan siapa tamu Papa. Kakiku langsung mengarah ke dapur, tapi ....

“Farah, sini, Nak!” pinta Papa saat aku melewati tirai terbuat dari anyaman rotan yang jadi pembatas antara tangga dan ruang tengah. Aku segera balik arah menuju ruang tengah.

“Nah, ini Farah anak saya, Gus. Dia sudah bekerja, jadi salah seorang teller di bank syariah. Dia sedang cuti. Farah, kenalkan ini Gus Miftah, temen papa waktu kuliah di IAIN. Nah ini istrinya, Ibu Kemala, beliau seorang dokter. Ini putri keduanya bernama Sahira, dan putra pertamanya bernama Bayu.”

Aku segera menyalami Ibu Kemala dan Sahira. Sementara Gus Miftah dan putranya seperti anti bersentuhan dengan lawan jenis. Aku tak ambil pusing. Segera berpamitan ke dapur adalah pilihanku. Dari pada jadi kambing conge, nggak ngerti dengan pembicaraan mereka. Papa memang agamis, tapi tidak denganku. Mungkin benar kata orang, iman tak dapat diwarisi.

Inilah aku, meski tidak tidur dengan lawan jenis. Namun, pacaran aku lakukan di belakang Papa. Aku selalu punya alasan untuk bertemu dengan Daniel. Hingga semuanya berakhir, Papa tak pernah tahu hubunganku dengan pria keturunan Tionghoa itu.

Terkadang aku merasa jahat sebagai anak, tapi aku tak sanggup menolak pesona Daniel empat tahun yang lalu. Dia salah seorang konsultan di perusahaan jasa, wajahnya rupawan. Hanya gadis bodoh yang menolak pesonanya.

“Mbak tata saja piring dan sendok, biar bibik yang bawain ke sana!” pinta Bik Minah membuyarkan lamunanku tentang Daniel. Aku mengangguk lesu, hidupku kehilangan gairah, bahkan nyaris nelangsa. Semua karena patah hati, bodoh. Namun, aku bisa apa? Semua hal tentang Daniel meninggalkan rongga kosong yang menganga dan tanpa dasar.

Aku cukup waras dengan tidak menangis berhari-hari. Tak mau Papa curiga, apalagi hingga diinterogasi. Papa orang yang lembut tapi tegas. Dia anti anaknya pacaran, rasa bersalahku seketika menggunung di dalam dada. Membayangkan senyum bersahaja Papa juga ingatan tentang kebersamaan dengan Daniel.

“Sudah siap, Bik?” tanya Papa pada Bik Minah. Aku segera menyelesaikan tugas menata piring dan sendok.

“Sudah, Pak. Bisa dipersilahkan tamunya masuk,” jawab Bik Minah sopan. Wanita setengah abad itu telah bekerja di rumah sejak aku masih bayi, begitu kata Papa.

Aku segera beranjak ke dapur, tapi saat tiba di sisi lain meja hampir saja bertabrakan dengan Bayu, putra Gus Miftah. Nampan yang kupegang nyaris jatuh, jika ia tak memegang lenganku. Ah, seperti sinetron abege saja. Pandangan kami bersirobok membuat hadirnya debar halus yang menggetarkan. Senyumnya cukup memesona diriku.

Mantan Pacar Jadi IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang