Sedarah belum tentu punya sifat yang sama kaya gue sama Mas Kae. Kayak gue sama Mas Kae, kita banyak bedanya kayak,
Gue suka seni, Mas Kae suka clubbing.
Gue suka indomie goreng, Mas Kae suka indomie rebus.
Gue suka begadang sampe pagi, Mas Kae suka tidur dimana-mana.
Gue gak suka makanan pedes, Mas Kae kalau makan kudu pedas.
Gue gak suka keramaian, Mas Kae suka kumpul dengan banyak orang.
Itu cuma beberapa sifat gue yang kontradiksi sama Mas Kae masih banyak yang lain. Tapi kita juga punya kok kesamaan, sama-sama gak bisa jauh dari satu sama lain.
"Tin!" Suara klakson bikin gue melonjak kaget.
Gue liat ke depan ada mobil Mas Kae di sana. Gue lari langsung masuk ke dalam.
Gue habis jalan sama Amber dan Sasya tiba-tiba Mas Kae ngechat nanyain gue dimana terus mau jemput. Sejak gue tahuan ke Fable waktu itu Mas Kae jadi tambah protective sama gue.
"Kenapa Mas jemput? Katanya tadi nggak bisa?" Tanya gue sambil salim nyium tangan Mas Kae.
"Kamu nggak liat ujan? Nanti kamu takut lagi pulang sendiri."
Gue manyun dikatain gitu tapi bener juga sih yang dibilang Mas Kai.
"Nggak usah cemberut gitu. Sini cium." Mas Kae narik gue mendekat, dia juga nyodorin mukanya ke gue.
"Mas ihh," gue dorong wajahnya. "Liat jalan sana."
Gue malu kali ntar kalau ada yang liatin kayak pas di sekolah itu gimana? Meski kaca mobilnya Mas Kae tuh super item tapi kan tetep aja mobilnya mahalnya tuh mencolok.
"Kenapa sih dek? Mas tuh cuma minta sun." Sekarang gantian dia yang manyun.
"Matahari kali Mas, sun."
"Disun kamu dek bukan matahari." Pas di lampu merah Mas Kae nangkup muka gue dengan kedua tangannya. Langsung aja disosor bibir gue sama dia. Karena gue nggak bisa nolak ya gue pasrah.
"Mas Amber mau lanjut ke US dia daftar di Parsons," kata gue inget pembicaraan gue tadi sama temen-temen gue.
"Oh sekolah seni itu?" Tanya Mas Kae ngerti. Ialah dia kan ambil MBA nya di US juga, di Stanford. Gue pernah nyusul pas liburan ke LA sana sama Mama dulu.
"Iya, adek pengen deh Mas."
"Bukannya kamu udah daftar di Binus?" Mas Kae tanya Mas Kae.
"Iya tapi kan itu buat cadangan kalo gak keterima di UI." Kata gue memelas.
"Pasti keterima," kata Mas Kae yakin.
"Kemaren aku ikut jalur mandiri gak keterima, Mas." Gue ngerengek. "Gimana kalau aku. . ."
"Kalau kamu mau lanjut sekolah ya di Jakarta," potong Mas Kae bahkan gak ngebiarin gue selesai ngomong.
"Tapi aku mau apartemen kalau keterima di UI." Gondok gue. Males kalau tiap hari suruh bolak balik rumah Depok.
"Itu doang?" Suara Mas Kae malah kedengaran seneng bukan marah kayak yang gue pikir.
"Iya."
"Ok."
Ok?
"Jadi ntar aku dibeliin apartemen Mas?" Tanya gue penuh harap.
"Nanti kita liat-liat kalo Mas gak sibuk."
Kok gampang banget sih? Kemaren gue minta ganti mobil kudu ngerengek berbulan-bulan ini minta dibeliin apart langsung diiyain.
Kakak gue sehat gak sih?
"Mas beneran?" Tanya gue sangsi sendiri.
"Iya, dek." Jawab dia sabar.
"Makasih," gue langsung meluk lengan Mas Kae yang ngehusap rambut gue.
"Sayang Mas Kae banyak-banyak," kata gue.
"Cium dulu," gak perlu disuruh dua kali, gue nyiumin pipi Mas Kae berkali-kali bikin dia gemas sendiri.
"Lucu banget kamu," Mas Kai narik kepala gue dan daratin ciuman di atasnya.
:::::
Mas Kae gak main-main sama omongannya yang mau beliin gue apart. Gak nyampe seminggu dari pembicaraan kita waktu itu Mas Kae beneran ngajak gue liat-liat apartemen di Depok dong. Gila kan padahal keterima aja belum pasti tapi udah disodorin apartemen.
"Mas aku kan belum tentu keterima," protes gue waktu kita mau jalan ke apart yang lain. Setelah yang pertama tadi Mas Kae gak suka karena kurang aman katanya padahal udah ok kok menurut gue.
"Gak mungkin kamu gak keterima," kata Mas Kae yakin lebih percaya daripada gue. Dia kan pinter udah gampang buat masuk univ manapun yang dia mau. Lah gue aja masig sanksi makanya gue juga daftar ke Binus. Takutnya kalau gue gak keterima di UI gue gak punya cadangan dong ntar gue kelimpungan.
"Kan bisa aja aku gak beruntung, Mas." Sanggah gue.
"Percaya sama Mas," Mas Kae narik kepala gue mendaratkan satu kecupan di atas rambut gue.
Dia tuh suka banget cium-cium padahal pacar juga buka.
"Untung ciuman gak bikin hamil ya, Mas. Kalau iya mungkin aku udah hamil berkali-kali saking seringnya dicium."
"Haha," katawa kakak gueseneng. "Gemes banget kamu."
Kali ini bibir gue yang dikecupin sama dia.
"Udah ihh ntar ada yang liat," gue dorong bahunya Mas Kae.
Ntar kita dikira pasangan yang lagi berbuat mesum di parkiran lagi.
Setelah dijelasin ini itu sama marketingnya yang gue juga gak paham dia ngomong apa. Kita dibawa buat liat dua tipe unit yang ada.
"Ini type yang paling besar di sini, Pak." Kata marketingnya.
Gue masuk sambil liat-liat, mayan sih enak juga tapi gue yang tadi aja gak papa sih. Kalo gede-gede ntar gue yang repot sendiri bersih-bersihnya.
"Gimana dek?" Mas Kae nanya gue.
"Yang tadi aja Mas. Ini gede banget." Sehut gue.
"Gak yang ini aja," pilih Mas Kae sendiri.
Gimana sih kan tadi dia nanya pendapat gue.
"Kan yang mau tinggal di sini nanti aku Mas. Kok jadi Mas Kae sih yang mutusin."
"Yang tadi itu kecil banget. Mas gak suka sempit."
Loh tunggu dulu ini kan yang mau nempatin apartnya gue.
"Tapi kan Mas Kae gak ikut tinggal di sini."
"Tapi Mas juga bakal sering ke sini."
Gue ngerutin dahi bingung natep Mas Kae sebel. Sama aja dong tinggal di apart kalau Mas Kae tetep selalu mantau gue.
"Udah yang ini aja," keputusan final yang gak bisa diganggu gugat.
Dan gue cuma bisa pasrah dan nerima dengan lapang dada.
::::::
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Fault
FanfictionGue nggak tau sejak kapan rasa ini timbul. Yang jelas tanpa gue sadari mata gue hanya tertuju ke dia, hanya dia, Kakak gue. Ini salah. Gue sadar. Tapi bodohnya gue, gue nggak mau lepas dari ke salahan ini.