Malam semakin larut. Pipi dan bibirnya masih basah. Sementara itu angin malam semakin dingin. Ia hanya mengenakan kaos hitam lengan pendek dan celana pendek selutut. Tangan dan kakinya dibiarkan diterpa angin.

Rasa dingin kalah oleh tekanan di perasaannya. Ia sudah terlanjur mencintai lelaki itu. Sementara, lelaki itu sudah terlanjur membencinya. Semua sudah terlambat. Nasi telah menjadi bubur. Tak ada yang bisa dilakukan selain menerima kenyataan pahit. Menangis adalah cara terakhir untuk menumpahkan kesedihan yang dialaminya.

Sementara itu, sekitar tiga kilometer dari sana, seorang lelaki tengah mabuk berat di atas kursi panjang warung tuak yang sudah sepi. Kepala lelaki itu mendarat di atas meja dengan mata tertutup. Ia telah mabuk berat.

Genangan tuak di atas meja mengalir ke kepalanya. Tuak itu tertumpah dari gelas, tersenggol sebelum jatuh ke lantai, yang kemudian pecah. Ujung rambutnya yang bercabang dan berserakan di atas meja ikut basah. Rambut itu panjang dan tampak tidak terawat, terbias oleh cahaya lampu putih yang menggantung di plafon warung.

Sebuah steleng dengan kaca transparan berdiri di sebelah ambang pintu yang terbuka lebar. Warung tuak itu berdempatan dengan rumah si pemilik warung.

Kepala lelaki itu terasa berat. Badannya sulit bergerak. Namun, pikirannya masih bisa memikirkan Lisa. Ia belum dapat menerima kenyataan pahit yang dialaminya.

Air mata mulai membasahi pipinya yang kemudian jatuh di atas meja. Kontooooll samamu, teriaknya dalam hati. Bujannnnnggg, jeritnya lagi. Ia terus menghina Lisa di dalam hatinya.
Ia sangat membenci perempuan itu.

BERSAMBUNG

LISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang