BAB 37

129 35 0
                                    

SEULGI POV

Hilangan penglihatan sudah cukup buruk. Terpisah dari Jimin adalah hal yang sangat buruk.

Namun, setelah kini Seulgi bisa melihat lagi, menyaksikan Jimin mati perlahan-lahan akibat racun darah gorgon dan tak mampu melakukan apa-apa tentang itu-itu adalah kutukan terburuk.

Bob menyampirkan Jimin di bahunya seperti sekantong perlengkapan olahraga, sementara si anak kucing kerangka Bob Kecil meringkuk di atas punggung Jimin dan mendengkur. Bob berjalan dengan langkah berat tetapi cepat, bahkan untuk seorang Titan, yang membuat Seulgi nyaris tidak bisa mengejar. Paru-paru Seulgi bergemeretak. Kulitnya mulai melepuh lagi. Dia mungkin perlu minum air api lagi, tetapi mereka telah meninggalkan Sungai Phlegethon di belakang. Tubuh Seulgi begitu nyeri dan remuk redam sehingga dia lupa seperti apa rasanya tidak kesakitan.

"Berapa lama lagi?" tanya Seulgi dengan tersengal-sengal.

"Hampir terlalu lama." Bob balas berseru. "Tapi, mungkin tidak."

Sangat membantu, pikir Seulgi, tetapi dia terlalu sulit bernapas sehingga tak bisa mengatakannya. Lanskap berubah lagi. Jalan mereka, masih menurun, yang seharusnya lebih mudah ditempuh, tetapi tanah melandai dengan sudut yang salah-terlalu curam untuk ditempuh dengan berlari, terlalu berbahaya untuk melonggarkan kewaspadaan walau hanya untuk sesaat. Permukaan tanah terkadang berupa kerikil lepas, terkadang bidang-bidang lumpur.

Seulgi melangkah mengitari bulu-bulu yang cukup tajam untuk menusuk kakinya, dan kumpulan yah, bukan benar-benar batu. Lebih seperti kutil seukuran semangka. Jika Seulgi harus menebak (dan dia tidak ingin melakukannya), dia menduga Bob tengah membawanya menuruni usus besar Tartarus. Udara semakin pekat dan berbau got. Kegelapan mungkin tidak sekelam tadi, tetapi Seulgi bisa melihat Bob hanya karena kilauan rambut putih Bob dan ujung tombaknya. Seulgi memperhatikan bahwa Bob belum memasukkan lagi mata tombak sapunya sejak pertarungan mereka melawan arai. Hal itu tidak membantu ketenangan hati Seulgi.

Jimin terayun-ayun ke sana kemari, menyebabkan si anak kucing harus mengatur kembali sarangnya di pinggang bagian belakang Jimin. Sesekali, Jimin mengerang kesakitan, dan Seulgi merasa jantungnya seperti diremas-remas. Seulgi teringat pesta minum tehnya bersama Irene, Wendy, dan Aphrodite di Charleston. Demi dewadewi, rasanya sudah lama sekali. Aphrodite saat itu mengeluh dan merindukan masa-masa indah di era Perang Saudara-bagaimana cinta dan perang selalu beriringan.

Aphrodite dengan bangga menunjuk kepada Seulgi, menggunakan Seulgi sebagai contoh bagi gadis-gadis lain: Aku pernah berjanji akan membuat kehidupan cintanya menarik. Terbukti, bukan? Seulgi dulu ingin mencekik dewi cinta itu. Sudah lebih dari cukup bagian menarik untuknya. Kini Seulgi benar-benar menanti akhir yang bahagia. Tentunya itu mungkin terjadi, tak peduli apa yang dikatakan legenda tentang pahlawan - pahlawan tragis. Pasti ada pengecualian, bukan? Jika penderitaan membuahkan imbalan, dia dan Jimin pantas mendapatkan hadia utama. Seulgi teringat kenangan Jimin tentang Roma Baru-mereka berdua menetap di sana, pergi kuliah bersama. Awalnya, gagasan tinggal di tengah-tengah orang Romawi terasa mengerikan bagi Seulgi. Dia membenci orang-orang Romawi karena telah merenggut Jimin darinya. Sekarang Seulgi akan menerima hal itu dengan senang hati. Kalau saja mereka selamat dari hal ini. Kalau saja Jennie mendapatkan pesan darinya. Kalau saja sejuta pertaruhan berisiko tinggi akhirnya menghasilkan sesuatu. Hentikan, dia mencela dirinya sendiri.

Dia harus berkonsentrasi pada saat ini, meletakkan satu kaki di depan kaki yang lain, menempuh perjalanan menuruni usus ini satu demi satu kutil raksasa. Lututnya terasa hangat dan goyah, seperti gantungan kawat yang sudah bengkok nyaris patah. Jimin mengerang dan menggumamkan sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh Seulgi.

Bob mendadak berhenti. "Lihat."

Di depan, dalam keremangan, tanah mendatar menjadi sebuah rawa-rawa hitam. Kabut kuning-belerang menggantung di udara. bahkan, tanpa sinar matahari pun, ada tanaman sungguhan-rumpun alang-alang, pohon-pohon tak berdaun yang kurus kering, bahkan beberapa bunga yang tampak pucat mekar di dalam iumpur kotor itu. Alur berlumut meliuk di sela-sela lubang-lubang pal yang menggelegak. Persis di depan Seulgi, terbenam dalam tanah berlumpur, terdapat jejak-jejak kaki seukuran tutup tong sampah, dengan jarijari kaki yang runcing. Sedihnya, Seulgi cukup yakin dia tahu apa yang meninggalkan jejak kaki itu.

"Drakon?"

"Ya." Bob menyeringai ke arahnya. "Itu bagus!"

"Uh mengapa?"

"Karena, kita sudah dekat." Bob berderap memasuki rawa.

Seulgi ingin menjerit. Dia benci berada di dalam kekuasaan corang Titan-terutama Titan yang ingatannya perlahan mulai pulih kembali dan tengah membawa mereka menemui raksasa yang "baik". Seulgi benci berjalan melewati rawa yang jelas-jelas merupakan tempat berjalan seekor drakon. Tetapi, Bob membawa Jimin. Jika bimbang, Seulgi akan kehilangan jejak mereka dalam kegelapan.

Dia bergegas mengejar Bob, melompat-lompat dari satu bidang lumut ke bidang lumut lain dan berdoa pada Athena supaya tidak terjatuh dalam lubang tampung. Setidaknya area itu memaksa Bob melangkah lebih lambat. Begitu Seulgi menyusul, dia bisa berjalan persis di belakang Bob dan mengawasi Jimin, yang tengah berkomat-kamit tak sadar, dahinya sangat panas mengkhawatirkan. Beberapa kali dia menggumamkan Seulgi, dan Seulgi berjuang menahan tangis. Si anak kucing hanya mendengkur lebih nyaring dan meringkuk lebih rapat.

Akhirnya kabut kuning terkuak. Menampilkan bukaan berlumpur seperti pulau dalam rawa kotor itu.di sana sini tampak pohon-pohon kerdil dan gundukan-gunundukan kutil. Di bagian tengah berdirilah sebuah gubuk besar beratap kubah yang membubung dari sebuah lubang di bagian atas gubuk. Pintu masuk nya di tutup dengan tirai kulit reptile bersisik. Mengapit pintu masuknya terdapat 2 buah obor terbuat dari tulang paha yang sangat besar dengan menyala api kuning terang . Yang benar benar menarik perhatian Seulgi adalah tengkorak drakon 50 meter di dalam bukaan itu, sekitar sepur jalan menuju gubuk, sebatang pohon ek raksasa mengajur dari tanah dengan sudut 45 derajat. Rahang tengkorak drakon tadi mengitari batang pohon itu seolah olah pohon ek itu adalah lidah monster yang sudah mati itu.

"Ya, gumam bob, ini sangat bagus" . Tidak ada yang terasa bagus tentang tempat ini, bagi Seulgi sebelum Seulgi sempat memperotes, bob kecil melengkukng kan punggung nya dan mendesis di belakan mereka ada sebuah ruang dasyat menggema di seluruh penjuru rawa. Duara yang terakhir kali di dengar Seulgi dalam pertempuran manhattan. Dia terbalik dan melihat drakon menyerbu kearah mereka.

Adventures of the Demigods Season 2 #4 (Bangvelt)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang