"Kau suka ruanganmu?"
Brianna menatap ruangan itu dengan takjub. Tadinya dia pikir akan bekerja di kubikel kecil dan berdesakan tapi entah keberuntungan apa yang membuat dia malah berakhir di sini. Menjadi asisten pribadi bosnya dan bertugas menyiapkan banyak hal.
Jennie jelas tahu kalau dia menyukai ruangannya. Tanpa perlu bertanya tapi Jennie sepetinya ingin mendengar langsung dari mulut Brianna tentang ruangan ini.
"Aku suka."
"Bagus, selamat bekerja, Els. Kau bisa menghubungi aku ke nomor pribadiku yang sudah aku berikan padamu jika ada sesuatu yang tidak kau mengerti."
Jennie sudah akan melangkah pergi tapi Brianna masih menginginkan sebuah jawaban.
"Jennie," panggil Brianna.
Jennie memutar tubuhnya. Melihat pada Brianna dengan tanya.
"Wanita yang harusnya menjadi asisten Mr. Rudolf, apa yang akan terjadi padanya?"
Jennie tersenyum. Tampak mengerti rasa penasaran di diri Brianna. "Dia sudah dipecat bahkan sebelum dia mulai berkerja. Biasanya Mr. Rudolf memang tidak suka dengan perempuan asing yang masuk ke ruangannya. Entah itu dengan alasan apapun. Terutama jika itu sudah berhubungan dengan, Mr. Kando."
"Aku baru ingat." Brianna mengetuk dagunya. "Kenapa nama belakang mereka berbeda?"
Jennie mendekat pada Brianna. Ditepuknya bahu gadis itu dengan tatapan lembut. "Jangan tanya dan jangan cari tahu. Kau tahu bukan, terlalu ingin tahu bisa membunuhmu." Jennie mengedip padanya.
Wanita itu jelas mengatakan kalimat nasihatnya dengan selembut kapas tapi kenapa Brianna tidak kuasa menahan tubuhnya yang menggigil. Dua pasang mata hijau menari di pelupuk matanya. Dua pasang mata itu menatap dia dengan menyeramkan. Brianna bahkan tidak kuasa menahan gidikan di tubuhnya. Dan tentu saja Jennie melihat itu semua.
"Jangan takut, Els. Mr. Rudolf tidak akan menyakitimu juga dia tidak akan membiarkan orang lain menyakitimu. Kau berada di bawah perlindungannya."
Brianna mengangguk dengan enggan. Karena nyatanya kalimat itu tidak sedikitpun bisa menenangkannya. Dia sudah terlanjur berhubungan dengan keduanya dan melihat bagaimana mereka menatap dirinya. Keduanya jelas berbahaya, Brianna meyakinkan itu.
Tapi tingkat bahayanya, Brianna masih belum pasti. Apakah kata Devian yang mengatakan kalau dia membunuh satu keluarga itu hanya kebohongan atau malah sebuah kebenaran. Jika itu benar, maka Brianna tidak perlu lagi mencari tahu sejahat apa mereka.
"Mulailah bekerja, Els. Hentikan pikiran burukmu itu."
Brianna mengenyahkan apa yang dia pikirkan, segera dia menatap pada Jennie. "Baik, terimakasih Jennie."
"Sama-sama. Kalau begitu aku akan meninggalkanmu sekarang."
"Ok."
Jennie sudah melangkah pergi meninggalkan Brianna sendiri di ruangan itu. Gadis itu menatap ruangannya dengan enggan, rasanya dia ingin mengatakan pada dosennya kalau dia akan pindah tempat magang. Tapi rasanya dia tidak bisa mengecewakan orang yang sudah membantunya. Setidaknya dosennya sudah mengusahakan tempat sebaik ini untuk dirinya. Mungkin segala cerita itu hanya dirinya yang menganggapi dengan berlebihan.
Brianna mengatur nafasnya dengan lebih baik. Mengambil tempat duduk di mejanya dan mulai membuka kertas-kertas yang ada di depan meja. Dia akan baik-baik saja.
***
Brianna melepaskan tasnya dan menjatuhkannya di sembarangan tempat. Ranjangnya menjadi tempat ternikmat saat ini. Betapa dia rindu pada ranjang itu. Kini dia bisa melepaskan rindunya dengan segera menjatuhkan diri di atas ranjang. Membiarkan tubuhnya terlentang dengan mata terpejam. Lelah sekali.
Untuk pertama kalinya dia bekerja dan rasanya seribu kali lebih melelahkan dibandingkan dengan kuliah dan bekerja paruh waktu. Dia tidak mengerti, bagaimana bisa Joseph begitu banyak memiliki jadwal yang harus diatur. Bahkan pria itu memintanya memesankan meja dan kursi baru untuknya. Benar-benar pemborosan. Apalagi saat dia meminta Brianna membuang meja dan kursi yang di pakai kakaknya itu sebagai tempat bercumbu. Pria yang sangat teliti.
Brianna menggelengkan kepala. Dia harus berhenti memikirkan bosnya. Bisa sakit kepala dia. Cukup memikirkannya di kantor saja, pikiran semacam itu tidak perlu di bawa ke rumahnya. Itu akan membuat dia sakit kepala lebih parah.
Briana bangun dari rebahannya. Dahinya mengerut, mengingat keanehan yang terjadi saat dia tadi hendak pulang. Bosnya memanggilnya dan tentu saja Brianna datang ke ruangannya. Pertanyaan Joseph mengganggunya.
"Mr. Rudolf. Anda memanggil saya?" tanya Brianna begitu dia sudah masuk ruangan pria itu saat tadi telah dipersilahkan untuk masuk.
Joseph mengangkat pandangannya. "Duduk, Brianna."
Brianna duduk. Tepat di depan Joseph. Terhalangi oleh meja kerjanya. Brianna menunggu, pria itu tampak sibuk dengan satu dokumen.
"Kudengar nama panggilanmu, Els?"
Brianna mengerut tidak mengerti. Bukan karena pertanyaan bosnya cukup aneh, tapi wajah yang tercetak di depannya yang membuat dia merasa aneh. Joseph memandangnya dengan takjub seolah Brianna adalah sosok yang selama ini di carinya. Dan setelah dia mencari dengan susah payah, malah sosoknya berada di depan mata.
Begitulah Joseph menatapnya.
"Ya, Mr. Rudolf. Itu memang nama saya."
Joseph tampak menganggukkan kepalanya dua kali. Dengan pelan. Jika Brianna tidak salah menduga maka harusnya di detik selanjutnya bosnya itu akan mengurai senyuman. Dia tampak akan melakukan itu tapi dia menahan diri. Brianna ingin bertanya tapi tidak memiliki cukup banyak keberanian.
"Kau anak panti asuhan?"
"Ya. Orang tua saya mati terbunuh dan saya saksinya, jadi saya berakhir di panti asuhan."
"Terbunuh? Di mana pembunuhnya sekarang?" Mata Joseph berkilat. Tampak waspada. Brianna terlalu hanyut dalam tanya itu, hingga dia tidak memperhatikan sang singa yang menatap dia bak mangsa.
Brianna menggeleng. "Mereka mengatakan kalau orang tua saya saling bunuh. Ada surat pembunuhan yang ditemukan, ditulis langsung oleh ibu saya. Juga beberapa sidik jari ayah dan ibu saya di masing-masing senjata yang ada di tempat kejadian. Mereka meragukan apa yang saya katakan, saat itu saya juga terlalu kecil untuk mengerti."
"Kau masih percaya dengan apa yang kau lihat saat itu? Apa kau lihat seperti apa pembunuhnya?"
Brianna bergumam. Pandangnya mengingat. Lalu gelengan. "Tidak. Saya pikir mungkin benar yang dikatakan orang-orang itu, orangtua saya saling bunuh. Karena saya ingat, mereka bertengkar hebat juga malam itu."
"Jadi pembunuh itu seperti bayanganmu saja?"
"Psikiater mengatakan kalau bayangan itu tercipta dari diri saya. Saya menciptakannya untuk menyembunyikan kebenaran menyakitkan dalam diri saya."
Brianna menggeleng. Mungkin Joseph hanya tertarik dengan tragedi yang menimpanya. Pria itu terlihat datar saja tadi saat Brianna menceritakan semuanya. Jadi tidak mungkin ada hal menarik dibaliknya.
Itulah yang membuat Brianna beranjak dari tempatnya dan masuk ke kamar mandi. Dia akan menyegarkan diri dan melupakan sejenak pekerjaan kantornya. Setidaknya ada waktu untuk dirinya sendiri, mengingat teman sekamarnya juga mengatakan kalau hari ini dia tidak pulang.
Sangat menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sang Psikopat ✓ TAMAT
RomanceVersi lengkap ada di playstore, Dreame, kubaca *** Hidup sebatang kara tidak menjadikan Brianna Eloise sebagai gadis yang lemah. Dia adalah gadis yang mandiri dan melakukan segalanya sendiri, juga memiliki rasa ingin tahu yang besar hingga rasa ing...