Chapter 15

12.1K 885 24
                                    

Brianna sudah menyiapkan semua makanan yang hanya terdiri dari tiga hal itu. Menyediakan makanan itu di depan meja dengan kursi tinggai yang ada di seberang meja. Brianna tersenyum dengan penataannya yang tampak sempurna, dia bahkan menambahkan beberapa tambahan makanan yang ditemukannya di kulkas Joseph. Joseph adalah pria yang mendahulukan makana sehat, terlihat dari isi kulkasnya yang cukup bervariasi dengan makana organik. Itu membantu Brianna memilihkan makanan yang sehat untuk Devian. 

"Kau tampak suka menyiapkan makanan, Els. Apa itu salah satu kegemaran terpendam?" 

Suara Devian membuat Brianna mengangkat pandangannya. Menatap pria itu dalam balutan kemeja hitamnya dan celana jeans biru pudar. Lagi-lagi dia sadar kalau pria di depannya memang bisa menggoda tanpa banyak cara. Lengan kemejanya telah di gulung sampai siku. dia tidak mengancing dua kancing kemejanya, memperlihat dada mulus tanpa bulu di sana. Menggoda dan membuat Brianna menahan air liurnya.

Harusnya Devian tidak perlu menolak memakai kemeja. Dia terlihat sangat hebat dengan pakaian itu, terlihat lebih berlipat tampannya juga tidak ada lagi wajah kekanakan di sana. Dia tampak sesuai dengan usianya sekarang. Brianna harus segera mencuci otaknya, dia bisa luluh dengan pria ini dan itu buruk. Sangat buruk. Pelan-pelan rasa takutnya malah berubah menjadi rasa damba yang tidak bisa dia hentikan.

Brianna mengangguk sedikit, masih ingat dengan tanya Devian yang belum di jawabnya. Dia terlalu sibuk merasa kagum dengan pria itu. "Ya, cita-cita dari kecil."

"Lalu apa yang membuatmu memilih kuliah di jurusan yang berbeda dengan apa yang kau sukai?"

"Aku mendapat beasiswa di jurusanku yang sekarang."

Devian berjalan mendekat. Auranya mengisi seluruh ruangan dan Brianna merasa sesak dengan aura yang dibawa pria itu. "Apa itu cukup menjadi alasan?"

Brianna berdehem. "Cukup, Devian. Bagi orang yang harus hidup sebatang kara dan mencari segalanya sendiri dengan tenagaku, itu sangat cukup. Aku tidak bisa melakukan apapun yang aku inginkan karena aku tidak memiliki uang dan kuasa." Brianna merasakan pahit di lidahnya menuturkan semua itu pada Devian. Dia biasanya akan menanggapi dengan tenang pertanyaan semacam ini, tapi Devian membuat dia merasa berbeda. 

Pria itu seperti menggali kelemahannya dan seolah pria itu juga mengatakan, katakan padaku semuanya. Aku di sini untukmu. Dia tidak suka reaksi tubuhnya pada tebakannya dengan sikap Devian yang bungkam.

"Harusnya kau biarkan aku menemukanmu lebih awal," gumam Devian.

"Ya, Devian?"

Devian menggeleng. "Bukan apa-apa. Aku sepertinya akan suka makanannya." Devian sudah memilih duduk di kursi tinggi dengan makanan yang terhidang di depannya. Dia tidak bercanda saat mengatakan suka. Mata hijaunya berbinar tanpa kebohongan. Bahkan dia sudah mengambil sendok dan menyendok makanan ke mulutnya. 

"Enak?" Brianna bertanya.

Devian mengangguk dengan senang.

"Sharon yang memasaknya. Itu ucapan terimakasih karena telah menolongnya, dia juga berpesan..."

Brianna menutup mulutnya saat melihat perubahan di wajah Devian. Pria itu tampak tidak suka dan itu terlihat lebih buruk dari apapun. Genggaman pada sendoknya menguat dan tangan itu siap menbengkokkan sendoknya. 

"Ada apa, Devian?"

Brianna terkejut, bahkan dia terlonjak dari tempatnya. Devian begitu saja melemparkan sendok itu ke piring yang bahkan membuat piring itu retak. Mata Brianna menatap Devian dengan takut tapi pria itu tidak membalas tatapannya. Dia hanya menunduk seolah menahan sesuatu. Nafas Brianna tidak teratur, ketakutan menjelma di dadanya. Apa yang pria itu lakukan dengan hanya diam di sana seolah dia siap menyemburkan lahar panas dari mulutnya.

"Pergilah, aku harus mengurus sesuatu." Devian beranjak dari duduknya dan melangkah meninggalkan Brianna tanpa ragu. Gadis itu hanya menatap punggung Devian dengan ketertegunan. 

Dia tidak berani lagi mengajukan pertanyaan tentang apa yang salah pada Devian, dia takut kalau sendok malah akan melayang ke wajahnya. Devian terlihat akan dengan sukarela melakukan itu padanya. Mata Brianna menatap makanan di depannya dengan desahan sedih. Hasil kerja kerasnya sia-sia belaka. 

Brianna adalah orang yang memasak makanan itu. Sharon tidak bisa memasak dan Brianna menjadi koki untuk masakan yang dia berikan pada Devian. Dia membuat makanan itu dengan ketulusan pada Devian tapi dengan melewati nama Sharon. Tapi hasil kerja kerasnya untuk pria itu terbuang sia-sia, entah apa yang membuat Devian kesal dengan makanannya. Apa karena tidak enak?

Brianna memutar meja dan duduk di tempat Devian tadi. Meraih sendok yang dilempar pria itu dan menyendok makanan. Dia mencicipinya dengan cecap rasa mencari tahu di mana letak salahnya makanan yang dia buat. Enak, sangat enak. 

Apa makanan itu tidak sesuai dengan selera lidah pria itu? Sepertinya hanya itu jawaban yang tepat untuk perubahan sikap Devian. Harusnya Brianna lebih menegaskan pada Sharon kalau Devian tidak akan suka dengan makanan seperti itu. Bahkan walau yang memasaknya adalah tangan Brianna. Mungkin memang enak tapi jelas tidak sesuai dengan selera pria itu. Brianna ikut melemparkan sendok itu, kesal sendiri dengan keadaannya dan masakanannya. Dia tidak akan masak lagi seumur hidupnya.

Kini dia sadar, Devian mempengaruhi dia dengan sangat banyak. Berengsek sekali pria itu.

Brianna segera merapikan meja makan Joseph. Membuat meja makan itu sebersih yang dilihatkan pertama kali. Dia tidak mau mendapatkan kekesalan dari dua orang. Satu saja sudah cukup menyita kepalanya dengan buruk. 

Setelah selesai dengan meja makan itu, Brianna membungkus kembali kotak bekalnya dan memeluk benda itu. Kali ini dengan menyedihkan. Dia meninggalkan tempat Joseph dengan perubahan suasana hati, bahkan Brianna tidak bisa lagi memasang wajah palsu di depan orang lain, termasuk Joseph sekalipun.

Hari itu adalah hari neraka pribadi untuknya. Banyak pekerjaan yang salah. Omelan yang di dapatnya cukup tidak terhitung tapi itu bahkan tidak membuat dia berubah suasana hati, pria itu membuat dia berbeda dan dia benci itu. Dia benci marahan dengan Devian tapi itulah yang sedang terjadi. Beberapa kali mereka bertemu di ruangan Joseph karena pria itu memanggilnya dan Devian duduk di sana dengan berkasnya. Mereka saling mendiamkan, menciptakan dingin pada kehadiran mereka masing-masing.

Brianna beberapa kali mengutuk Devian dalam hatinya tapi itu tidak membuat dia merasa lebih baik. Rasanya dia ingin menarik kerah kemeja si brengsek itu dan menamparnya sekalian. Pria aneh.

***

Cinta Sang Psikopat ✓ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang