Hai namaku Vinka, aku biasa dipanggil Vin. Usiaku sekarang sudah menginjak delapan belas tahun, dan kalian tahu aku suka sekali makan mie instan yang dijual di kantin sekolah. Gak ada duanya deh, mie instan yang dimasak bu Nining itu kuahnya merah, kental, pedas dan semakin nikmat ketika diseruput selagi panas. Irisan-irisan sayuran dan telur rebus tak lupa menemani semangkuk mie instan yang tingkat kekenyalannya selalu al dente ketika disajikan oleh bu Nining. Bu Nining itu adalah ibu-ibu yang berjualan di kantin sekolahku. Semenjak awal aku menginjakkan kaki di sekolah ini tepatnya dua setengah tahun yang lalu, aku sudah jatuh cinta dengan mie instan yang dimasak bu Nining. Sulit diungkapkan deh rasanya ketika pertama kali aku menyeruput kuah mie dengan aroma kari yang pekat itu, jantungku berdebar-debar seperti jatuh cinta pada pandangan pertama untuk yang pertama kalinya. Hmmm, siapa ya cinta pertamaku? Sepertinya aku pernah naksir seseorang untuk pertama kalinya ketika kelas dua SMP, tapi siapa ya aku lupa. Yaudahlah gak penting juga! Sekarang aku sudah duduk di kelas tiga SMA, beberapa bulan lagi kan mau ujian kelulusan. Ga ada waktu deh untuk mikirin cinta-cintaan, aku kan harus mengejar cita-cita biar Ibu senang dan bahagia kalo aku jadi orang sukses.
Tapi hari ini Ibu marah-marah lagi karena aku pulang telat. Karena aku main dulu bareng teman-temanku di sungai di belakang sekolah dan mengambil jalan pintas melewati sawah-sawah berlumpur yang terhubung ke persimpangan jalan raya di dekat rumahku. Ya lagian ibu sih tidak mau membelikanku sepeda, kalau aku punya sepeda kan aku bisa pulang tepat waktu (mungkin) hehe. Tapi hari ini seru deh di sekolah, aku mau cerita tentang teman-teman squad-ku yang baru yang anggotanya ada tujuh orang; aku, Yosi, Fani, Rezi, Sari, Netri dan Deves. Kami semuanya perempuan dan sebelumnya tujuh orang ini termasuk aku, terdiri dari dua geng yang berbeda yang saling musuhan. Tapi semenjak bu Aida wali kelas kami merutinkan rolling tempat duduk di kelas, akhirnya kami jadi akrab dan tidak musuhan lagi. Benar juga kalau ada pepatah bilang "tak kenal maka tak sayang", ternyata teman-teman yang tadinya kupikir sombong dan belagu aslinya lucu dan asik. Bahkan kami menamai geng kami dengan sebutan "Happy Seven".
Eh tapi kejadian seru yang ingin aku ceritakan bukan tentang perkara detil bagaimana kami menjadi saling akrab. Hari ini sekolahku kedatangan tim medis dari puskesmas kecamatan, ada beberapa orang dokter dan perawat yang mengenakan pakaian putih-putih. Setelah dijelaskan pak Musa kepala sekolah kami, ternyata mereka akan memberikan vaksin kepada kami. Wah langsung saja wajahku ini pucat pasi karena seumur-umur aku belum pernah disuntik, seingatku sih begitu. Ternyata teman-temanku pun sama, bahkan Fani yang ibunya seorang bidan pun tetap takut ketika mendengar kami akan disuntik. Lalu tiba-tiba muncullah sebuah ide yang akupun lupa siapa yang mencetuskannya untuk pertama kali. Yaitu kabur dari sekolah agar kami tidak kebagian suntikan vaksin.
Tepat beberapa langkah sebelum para perawat dan dokter memasuki ruang kelasku, aku dan teman-temanku enam orang lainnya sudah melompat melewati jendela besar yang berhadapan dengan pintu kelas. Kebetulan sekali jendela itu sudah pecah kacanya terkena lemparan bola kasti ketika pelajaran olahraga beberapa bulan yang lalu. Aku masih bisa mendengar seisi kelas menjadi semakin riuh ketika tim medis itu memasuki kelas kami. Bu Aida berusaha menenangkan teman-teman yang bersorak-sorak, tapi sepertinya dia belum sadar kalau tujuh orang murid tidak berada di tempat yang semestinya. Aku, Yosi, Fani, Sari, Netri dan Deves berlari sekencang-kencangnya mengikuti Rezi ke arah utara. Melewati kantin sekolah yang saat itu sedang sepi, lalu kami terus berlari melewati ladang-ladang singkong dan jagung yang ditanami oleh penduduk sekitar sekolahku. Kebetulan Rezi tinggal di sekitar sekolah kami, tentunya dia sangat hapal seluk beluk daerah sekitar tempat tinggalnya. Setelah cukup jauh dari sekolah, kami tidak lagi berlari. Setelahnya kami berjalan menyusuri pematang-pematang sawah. Sawah-sawah yang kami lewati sepertinya baru selesai dipanen padinya, pematangnya terasa kering dan itu memudahkan kami berjalan tanpa harus melepas alas kaki.
Tak lama berselang, sampailah kami di sebuah sungai. Duh, sungai itu indah sekali! Dengan tebing pendek pada sisi-sisinya yang ditumbuhi oleh rumpun-rumpun tebu yang subur. Air sungai itu dingin lagi jernih. Setelah kutanya pada Rezi, ternyata sungai ini bermuara pada pantai di sebelah barat sekolahku. Tidak banyak yang tahu keberadaan sungai ini karena lokasinya yang cukup jauh dari jalan raya. Biasanya penduduk sekitar sini saja yang pergi kemari untuk memandikan dan memberi minum ternak-ternak mereka. Kami bermain sepuasnya di sungai, saling siram-siraman, berenang dengan seragam sekolah lengkap dan berganti-gantian melompat dari tebing yang tingginya hanya satu meter. Sebenarnya aku cuma main air saja karena aku kan tidak pandai berenang sama sekali, arus disana juga cukup deras. Aku hanya berendam di pinggir sungai sambil memperhatikan telur-telur siput yang berwarna pink bertebaran di permukaan daun-daun keladi dan bebatuan di pinggir sungai. Teman-temanku berenang dengan lincah di tengah sungai, tertawa-tawa sambil sesekali menggodaku yang hanya diam seperti sapi.