Part 7. Rumah Tengah Hutan

2.5K 79 2
                                    

Ternyata perjalanannya cukup jauh juga, waktu juga sudah sore. Matahari mulai meredup dan jalan yang kami lewati masih jauh karena masih ada hamparan sawah luas yang harus dilewati, setelah itu masuk jalan ke perkebunan yang lebat baru masuk ke lereng hutan.


Suasana hutan disore hari tampak seram, hari mulai gelap tertutup tingginya pepohonan dan lebatnya hutan apalagi suara hewan hutan yang saling bersahutan, disertai kabut putih tipis mulai turun di atas lereng. Hawanya pun sangat menusuk tulang karena dingin dan basah. Hutan lebat ini terlihat tidak ada jejak manusia yang tinggal disana. Kamipun menempuh jarak sekitar 3 km-an dari rumah penduduk terakhir. Sepanjang perjalanan dengan penglihatan ghaib kami sepertinya sedang diawasi oleh mahluk-mahluk tak kasat mata yang teramat banyak. Gue sedikit merinding dan tidak mau jauh dari Ricky. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba gue merasa mual seperti ada yang menusuk-nusuk perut gue. Gue tetap jalan sambil menahan rasa mual tersebut. Gue trus memegangi perut yang tidak bisa lagi berkompromi.

Huueeeck... Huuuueeeccckk.... ugh... ugh... huuueeecckkk...

Gue menepi ke bawah pohon pinus dan mengeluarkan semua isi perut. Lega sekarang.

"Ada apa Fan, kamu ndak apa-apa?" tanya Ricky.

"Ndak apa-apa Rick... gue masih kuat, ayo naik lagi" jawab gue.

Ternyata semua yang gue rasakan itu adalah sambutan dari penjaga hutan. Sambutan yang tidak menyenangkan. Gue dan Ricky mulai lebih berhati-hati dari sambutan-sambutan yang menyeramkan seperti tadi. Kami berjalan dengan penuh kehati-hatian. Sebelah kanan dan kiri gue terlihat jelas banyak makhluk ghaib yang sedang memperhatikan. Sesekali ada anak kecil lari-larian kemudian lenyap tak tentu arah. Sungguh mencekam suasana waktu itu, pancaran kuning sinar matahari semakin memerah pertanda ia akan segera menuju peraduannya disela-sela lebatnya hutan. Sedikitnya cahaya yang menyinari hutan ini, menjadikan tempat favorit untuk tinggal bagi hewan seperti penyedot darah (pacet/lintah). Tiba-tiba terlihat ada sesosok wanita dengan pakaian serba putih duduk terdiam diatas pohon dengan rambut terurai panjang menutupi wajahnya. Dia terus-menerus menatap kearah kami. Wuuuuiiihh.... semakin membuat gue tidak berani lagi menoleh kekanan dan kekiri. Saat kami berjalan kaki terlihat dari jauh, rumah seperti yang digambarkan bapak yang kami titipi motor tadi mulai terlihat jelas, kami sedikit lega karena tujuan kami sudah terlihat.


Sekitar pukul 5 lebih sebelum magrib atau "Surop", kami sampai dirumah Mbah Parmin. Orang tua kita dulu bilang kalo "Surop-surop" tidak boleh keluar rumah, nanti ketemu "candi olo". Waktu CANDI OLO yaitu ketika matahari mulai terbenam, siang akan berganti malam. Pada waktu CANDI OLO para pedagang menutup tokonya, para pengembala memasukan ternaknya dan lain sebagainya semua kegiatan dihentikan. Pada saat itu orang-orang Jawa percaya ketika kita melakukan aktivitas keduniaan diyakini akan berdampak negative pada aktivitas tersebut. Dan banyak juga yang menyakini di waktu itu para makhluk halus juga mulai berani memunculkan diri.

Dari dekat kami melangkah pelan dan melihat rumah yang terbuat dari bambu , kayu, masih beralaskan tanah dan sudah beratap genting. Kamipun pun memberanikan diri mendekat karena pintu sudh terbuka.

"Nuwun sewu..."

"Assalamu'alaikum..."

"Permisi..."

"Mbah.... mbah.... putumu teko?"(cucu kamu datang) ucap Ricky dengan sopan.


Tak lama kemudian tampak sesosok pria sudah berumur 80-an memakai (udeng) ikat kepala khas orang jawa, berbaju loreng lengan Panjang dan sarung hitam tanpa memakai alas kaki, tinggi sekitar 165 cm berkulit gelap (terlihat pria tua ini sudah tinggi ilmunya nampak dari pandangan ghaib kami berdua). Pria itu mendekat sambil memperhatikan kami dengan seksama.

"Eh enek tamu, ayok le melbu kene gak usah wedi! "(eh ada tamu, ayo nak masuk gak usah takut) katanya dengan senyum.


Kami pun mengikuti Mbah Parmin untuk duduk dikursi kayu Panjang diruang tamunya, sambil melihat – lihat rumah yang terbuat dari dinding bambu dipadu papan kayu tua. Terlihat rumah yang cukup sederhana dan jauh dari gemerlap kemewahan. Rumah tersebut mempunyai tiga kamar, satu ruang tamu dan dua ruang kamar tidur dibelakangnya. Kamar mandi yang terpisah dari rumah utama, terdapat satu sumur didekat kamar mandi itu. Setengah merinding juga kami lama – lama, bagaimana tidak. Rumah itu hanya sendirian, berdiri ditengah hutan dengan tumbuhan dan dikelilingi semak-semak yang sangat rimbun tanpa ada tetangga satupun, dan kalau malam hanya diterangi lampu seadanya. Lampu ublik (lampu yang berbahan bakar dari minyak tanah) sebagian masih tertempel dibeberapa tiang utama, dan ada yang di atas meja.

"Enek opo le adoh-adoh mrene, awakmu asli endi le?" (ada apa nak jauh-jauh kesini, kamu asli mana ) tanya Mbah Parmin sambil mencoba berjabat tangan dengan gue dan ricky.

"Mboten wonten nopo-nopo mbah, niki loh! kulo bade tanglet jenengan, jenengan gadah ingon-ingon nopo?" (tidak ada apa-apa mbah, ini lho! Saya mau tanya, Mbah punya peliharaan mahluk apa) tanyanku pelan sambil menunjukkan botol yang berisi tuyul.

Sebenarnya Mbah Parmin sudah tahu dan mengerti maksud dan tujuan kami berkunjung ke rumahnya. Sambil menatap tajam ke arah botol air minum yang kami bawa, Mbah Parmin manggut-manggut seperti mengerti tujuan kami yaitu ingin membakar habis perkumpulan pesugihan disini. Tatapan matanya menunjukkan rasa tidak terima atas apa yang akan kami lakukan. Namun Mbah Parmin bisa menyimpan kemarahan itu dari kami.


"Lho !!!! kok iso sampe neng awakmu le arek iku?" (lho kok bisa sampai di kamu anak itu) Tanya si Mbah setengah kaget.

"Inggih mbah Panjang ceritanya" jawab gue.

Akhirnya kami ceritakan Panjang lebar kejadian dari awal di pasar krempyeng, penangkapan, hingga mengurungnya di dalam botol. Mbah Parmin hanya geleng–geleng kepala. Beliau menjelaskan bahwa mahluk ghaib sejenis banyak di rumahnya. Tidak hanya satu, dua, tiga tapi banyak sekali. Karena memang hidup si Mbah Parmin di rumah tengah hutan itu setiap hari dikelilingi oleh mereka dan berkewajiban menjaganya. Sungguh gaya hidup aneh yang mengerikan.


JURAGAN PESUGIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang