Deru mobil membuatku merapikan tampilan diri sejenak, lalu melangkah keluar. Menyongsong Mas Rama yang datang, lagi-lagi nyaris menyentuh waktu tengah malam.
Aku melintasi ruang tengah yang telah sepenuhnya senyap. Anak-anak sudah tidur sejak tadi, juga para pembantu rumah tangga yang telah beristirahat di paviliun belakang.
Senyum paling manis tersungging di bibir ini, saat menyambut lelakiku. Seperti malam-malam sebelumnya, sekarang pun ia tampak sangat lelah.
“Apa mereka membuatmu sibuk pagi hari ini?” tanyanya, disertai kecupan yang kuizinkan mendarat di kening. Tak lupa, kuraih tas yang ia bawa.
Kenapa dia bertanya seperti itu? Apa wajahku masih terlihat kusut? Ah, padahal aku sudah berhias tadi.
“Ah ... tidak, Mas. Mereka malah membuatku senang hari ini.” Aku mengekor, mengikuti langkahnya menuju ruang kerja.
Kuletakkan tas di meja, lalu berbalik menghampiri Mas Rama yang kini duduk di sofa berwarna cokelat. Membantunya melepas dasi, seperti biasanya. Dari jarak sedekat ini, tercium aroma tubuhnya. Mengusik naluri dan kerinduan dalam diri, meski parfum segar tadi pagi telah bercampur keringat.
Aku merendahkan tubuh, melepas sepatu yang ia kenakan, lalu beranjak menuju rak di sisi pintu.
“Kemarilah,” ucap Mas Rama saat aku baru saja berbalik. Ditepuknya sisi sofa yang kosong, sebagai isyarat agar aku duduk di sana.
“Biarkan saja di situ,” imbuhnya sambil melihat sepatu di tanganku. Tak ada pilihan, selain mendekat. Bagaimanapun, kesibukannya belakangan ini membuatku rindu untuk sekadar bermanja.
“Wajahmu terlihat lesu dan kelelahan. Bukankah sudah kubilang kamu butuh pengasuh untuk si kembar?” Dibelainya wajahku, sedangkan mata kami bertatapan sekarang.
Kulengkungkan sebuah senyum, dan menjawab, “Aku masih bisa mengatasi mereka, Mas. Kenapa kamu begitu cemas? Sedangkan aku baik-baik saja.”
“Aku cuma tidak mau kamu terlalu lelah, Sayang,” ucapnya sambil mengusap pipiku, lembut. Membuatku memejam, menikmati kerinduan yang semakin membuncah di dada.
“Dibandingkan mereka, sepertinya papanya yang akan membuatku semakin kelelahan malam ini. Bukan begitu?” Kumainkan jemari di dadanya, memberi usapan-usapan lembut. Namun, tidak berlangsung lama karena dia menangkup tanganku, dan memberi sebuah kecupan hangat.
“Apa kamu merindukanku?” tanyanya, dengan wajah semakin mendekat. Membuatku menanti dengan debar luar biasa. Selalu seperti ini, bahkan setelah sekian lama kami bersama.
“Apa kamu tidak merindukanku?” Aku balik bertanya, sambil menyibak gaun dan menampilkan bahuku. Membuat lelaki itu mendekat, dan menjejakkan sebuah kecupan hangat di sana. Menelusuri bahu, leher, tengkuk, dan semua bagian yang membuat anganku melayang.
Ngg ... haruskah kurinci apa yang terjadi setelah itu?
Aku terjaga saat merasa dingin menusuk kulit, sebab tertidur di sofa tanpa sempat berpakaian. Dari temaram lampu, tampak waktu menunjuk pukul tiga dini hari. Setelah melabuhkan rindu semalam, kami bahkan tak sadar terlelap di ruang kerja. Kami bahkan terlalu lemah untuk bangkir meraih selimut, sekadar menutupi tubuh.
Perlahan aku bangkit, mengenakan kembali pakaian yang sempat berserak, sebelum keluar dengan perlahan. Tak lama, aku kembali dengan sebuah selimut tebal di tangan. Membiarkan Mas Rama tidur di sini akan lebih baik daripada membangunkannya. Garis halus yang muncul di wajahnya, menandakan bahwa lelakiku ini bekerja keras. Tanpa sadar aku tersenyum, saat melihatnya terlelap damai.
***
“Tapi Kia mau itu, Bunda! Azka nakal!” Azkia berseru, hampir menangis. Bocah empat tahun itu mengadu, karena robot yang tadi dipegangnya direbut sang kembaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puspita Hati
RomanceWarning 21+! Puspita, wanita 27 tahun yang mengabdikan diri sebagai pengasuh di keluarga Rama dan Widya. Kecintaan wanita itu pada anak-anak, membuat semua anak dari keluarga itu menyayangi Puspita. Bahkan, si sulung sempat sakit dan hanya mau berob...