Sang Bunda Kesayangan

6.8K 470 12
                                    

Setelah malam Bu Widya datang ke kamar si kembar, rumah ini kembali sunyi. Semua berjalan seperti biasanya, saat aku harus menjaga anak-anak di rumah yang besar ini. Rutinitas pun kembali berputar seperti yang seharusnya. Bu Widya yang menenggelamkan diri dalam dunianya, pun Mas Rama kembali menghabiskan waktu dengan berbagai proyek sampai ke luar kota dan berbagai daerah. Bisnis propertinya yang semakin meroket berbanding lurus dengan nama Bu Widya yang semakin melambung.

Tak ada yang berubah dengan semua yang kujalani. Hanya saja, hatiku mulai tak terkendali. Membawaku berkubang dalam gamang tiada bertepi.

“Bund, lama deh, kakak nggak pernah main ice skating.”

Kalimat Azzam membuatku berbalik sesaat, dari yang semula fokus ke jalanan sibuk di depan sana. Jakarta, sore hari. Saat ini, kami sedang dalam perjalanan menjemputnya dari sekolah, diwarnai celoteh si kembar di jok belakang.

“Hari Minggu aja ya, Kak? Hari ini bunda capek banget,” jawabku, coba memberi penawaran.

“Yaaah ... padahal Bunda udah cantik, bawa tas bagus, masa mau langsung pulang?” Bocah yang tak lama lagi berusia sepuluh tahun itu mendesar di ujung kalimatnya.

Aku tersenyum mendengar rayuan maut Azzam. “Memangnya kapan Bunda nggak cantik?”

“Cantiklah, bundakuu!” Azka berseru.

Tebak yang terjadi selanjutnya. Ya, tepat sekali. Azkia histeris.

“Bunda Kia, Azka! Ish! Bunda Kiaaa!”

Baru akan menyahut, saat Azzam melerai. Mengancam akan menurunkan dua anak kecil itu. Hm ... sebagai kakak, wibawa si Sulung boleh juga. Sifat tegas Mas Rama mulai tampak di diri lelaki kecilku ini.

“Emangnya Kakak nggak ada PR? Kalo pulang sekolah langsung main, ntar dimarahin Papa loh! Kakak lupa, ya? Papa kan bilang dari sekolah kita harus langsung pulang?”

“Kalo sama Bunda, nggak akan dimarahin.” Azzam meringis. Sementara di belakang, Azkia mulai berteriak lagi. Azka mengganggu dengan merampas botol susu milik sang kembaran.

“Azka—“

“Ish, kamu ya, Dek. Gangguin Kia mulu, udah tau Kia cengeng!” Belum sempat aku menegur Azka, saat lagi-lagi sang kakak lebih dulu mengingatkan.

“Kia nggak cengeng!” Azkia menyahut dengan sengit.

“Tapi Kia suka jempol!” Azka terkikik geli.

Wah, akan ada perang sepertinya. Membuatku berpikir keras untuk menjadi penengah. Akan tetapi, baru saja aku akan menyela, saat tiba-tiba kepala terasa pening dan perut mual luar biasa.

Aku segera menepi, dan masuk ke area parkir restoran cepat saji. Untunglah jalan di  depan tak begitu padat, saat tiba-tiba tubuhku gemetar dan berkeringat dingin. Menyisakan Azzam yang menatap heran, karena tadi aku memilih pulang daripada singgah. Sementara, Azka dan Azkia masih saling berteriak, dengan suara pukulan yang sesekali terdengar.

“Bund?” Azzam melihatku dengan wajah cemas. “Bunda kenapa? Ada yang sakit?”

Tiba-tiba kabin mobil senyap, saat suara Azzam menanyakan keadaanku. Tidak ada lagi keributan, tapi si kembar kini berjejal ingin menyentuh bahuku lebih dulu.

“Bunda sakit?” tanya Azzam lagi, dan aku mulai mengaduh.

“Bunda?” Azka dan Azkia memanggil hampir bersamaan.

“Bunda, Azka nggak nakal. Bunda jangan sakit.” Azka merengek, sambil menarik-narik ujung bajuku.

“Bund?”

Puspita HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang