"Belum pulang, Dhis?"
Aku sontak menoleh, menemukan Dirga berdiri di sebelahku ikut-ikutan mengulurkan tangannya untuk merasakan sentuhan dingin air hujan yang saat ini tengah turun membasahi tanah.
Aku menggeleng canggung, namun tetap berusaha untuk terlihat biasa saja. "Baru beres bimbingan, Ga?"
"Hmmm." gumamnya sambil menengadah, menatap hujan yang tak kunjung reda sejak beberapa jam yang lalu. Bahkan tidak terlihat tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat.
Hening.
Aku bukan orang yang jago memulai percakapan atau sekadar basa-basi. Bahkan anak-anak di jurusanku sepertinya secara tersirat selalu melempariku pandangan kalau aku tidak asik. Selama kuliah hampir 4 tahun, aku hanya memiliki satu teman yang setidaknya bisa dikatakan dekat denganku. Aku menyebutnya teman, bukan sahabat, karena dia juga tidak terlihat seperti seorang sahabat. Setidaknya dia mau mengobrol dan memuat percakapan denganku, itu saja sudah cukup.
Lelaki di sebelahku juga bisa dikatakan teman. Tapi kami jelas sekali tidak dekat.
Setidaknya Dirga, yang terkenal akan kecerdasannya di jurusanku ini salah satu dari sedikitnya mahasiswa di jurusanku yang mau bicara dan memulai percakapan denganku.
Meskipun selalu, jenis percakapan yang terjalin di antara kami hanya sebatas basa-basi singkat yang benar-benar busuk.
Hari ini aku baru selesai bimbingan, dan kebetulan Dirga juga mahasiswa dari dosen pembimbing yang sama denganku.
Selama bimbingan, aku hanya bisa tersenyum garing karena dosen pembimbingku tidak henti-hentinya memuji Dirga dengan segala prestasi yang ia miliki. Beliau juga mengagung-ngagungkan objek penelitian lelaki itu. Kemudian membandingkannya dengan milikku dan beberapa kali melemparkan sindiran yang sudah biasa kutelan bulat-bulat.
"Nah, gini dong, Dhis. Judul penelitian tuh yang kayak Dirga, berbobot, intelek, dan bikin yang baca jadi penasaran. Yang out of the box, bukan yang mainstream dan sering ada di internet. Coba, mending kamu ganti lagi judul deh, cari yang lebih greget dari ini. Saya mau lihat sampai sejauh mana kemampuan kamu. Baca jurnal yang banyak makanya."
Masih terngiang-ngiang ucapan Pak Gatot ketika mengomentari proposal skripsiku beberapa waktu lalu. Memang sudah jelas, itu kesalahanku. Harusnya aku memundurkan diri ketika tahu Dirga juga akan bimbingan hari ini. Dan dengan bodoh dan nekatnya, aku malah menunggu lelaki itu keluar dari ruang dosen, membuat nasib buruk menimpaku dalam hitungan menit saja.
Proposal yang sudah aku ketik hingga bab 1 nampaknya harus kembali aku rintis dari nol. Telingaku berdenging tiap kali memikirkan tugas akhir. Aku hanya ingin segera lulus dan keluar dari kampus, kemudian pergi jauh-jauh dari kota ini.
Kebanyakan orang selalu berpikir masa kuliah itu indah dan hanya terjadi sekali seumur hidup. Aku tidak peduli. Aku benci dunia perkuliahanku, aku benci orang-orang, bahkan aku benci diriku sendiri.
"Mau pulang kapan?" pertanyaan dari Dirga membuat aku terbangun dari lamunan.
Aku melirik lelaki yang jauh lebih tinggi dariku itu, kemudian kembali ke depan, ke arah hujan. Tanganku turun, tidak lagi menyentuhkannya pada cairan dingin itu. Dirga juga rupanya melakukan hal yang sama setelah aku melakukan hal tersebut.
"Nanti nunggu reda." jawabku tanpa menatap ke arahnya.
"Hujan kayak gini nggak akan cepet reda."
Aku membasahi bibirku, tidak tahu harus merespon seperti apa.
"Ini." Lelaki di sampingku itu tiba-tiba menyerahkan sebuah payung warna hitam di depan wajahku.
Aku menatapnya bingung, "Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet but Psycho
General Fiction(18+) (COMPLETED) Adhisti memiliki masalah kepercayaan, dan memercayai Dirga adalah keinginan terakhirnya. 2020 © neomuhane