#2 not sensitive

53.4K 6.4K 826
                                    

Aku tidak benci pada Pak Gatot. Aku juga tidak marah. Aku hanya sedikit ingin memukulnya dengan vas bunga milik Mbak Echa—tetangga kontrakanku yang punya porselen besar, mahal, dan mengkilat.

Selama dua minggu, aku pundung tidak datang bimbingan padanya. Aku juga tidak begitu peduli, sih. Ha, bercanda. Aku sangat peduli sejujurnya. Aku benar-benar ingin mengejar kelulusan tahun ini, tapi bagaimana ya, di saat aku punya ambisi, justru pihak luar yang tidak bisa diajak bekerja sama.

Padahal ini baru proposal skripsi, belum skripsi. Kalau begini caranya bisa-bisa aku harus menunda kelulusanku dan harus semakin menderita hidup di kota ini. Aku tidak sudi.

Tapi dipikir-pikir, sepertinya Pak Gatot juga tidak begitu peduli aku mau datang bimbingan atau tidak. Akan menjadi masalah jika yang tidak datang itu Dirga. Beliau pasti akan kelimpungan dan bertanya-tanya, kemana perginya si anak bimbingnya yang begitu rajin dan memiliki IQ di atas rata-rata itu. Aku sih, apaan. Salahku juga kenapa mengambil topik penelitian yang mirip dengan Dirga (tapi jelas masih di bawah rata-rata cowok itu) sehingga membuatku digiring untuk memiliki dosen pembimbing pilih kasih macam Pak Gatot. Bahkan dari semester 1 saja aku sudah punya firasat kalau aku dan Pak Gatot tidak bisa akur.

"Adhis?"

Aku yang tengah berdiri di depan lemari pendingin selama kurang lebih 5 menit tanpa bergerak menoleh ketika mendengar suara seseorang yang memanggil namaku.

Hanya dua orang yang selalu memanggilku dengan sebutan Adhis di kampus. Kalau tidak Ara—yang kataku temanku satu-satunya—ya pasti Dirga.

Dan mendengar suara lelaki yang memanggilku barusan, sebelum menoleh pun aku sudah tahu kalau itu pasti Dirga.

"Ngapain?" tanya lelaki itu, lagi, masih tersenyum miring.

Dia selalu begitu. Menebarkan senyuman tipis yang membuatku yang notabene cewek normal yang masih nafsu pada laki-laki dibuat takikardia. Oke, ini berlebihan. Tapi biar aku katakan sekali saja, kalau memang Dirga yang sedang tersenyum miring itu luar biasa tampan.

Mungkin karena cowok itu jarang tersenyum, dan cenderung tanpa ekspresi. Jadi sekalinya menyembulkan senyuman, hal langka tersebut sukses membuat yang melihatnya tiba-tiba merasakan perasaan senang.

"Oh, mau beli susu." jawabku seadanya.

Dirga kemudian tiba-tiba memegang kedua bahuku dan menggeserku ke samping. Mungkin maksudnya aku menghalangi pintu lemari pendingin tersebut, tapi apa Dirga tidak bisa melakukannya dengan normal? Tinggal menyuruh aku menyingkir saja apa susahnya, sih?

Lelaki itu mengambil botol cola dari dalam sana, kemudian melirikku dengan kedua alis yang naik, "Rasa apa?"

"Hah?"

"Susunya rasa apa?"

"Oh, coklat."

Dirga kemudian meraih satu kotak susu coklat di lemari pendingin dan menyerahkannya padaku.

Aku diam. Ini yang aku maksud. Dirga sering sekali melakukan kebaikan aneh yang tidak aku mengerti. Aku tidak ingin berprasangka buruk, tapi prasangka itu selalu hadir tiap kali Dirga melakukannya tanpa aba-aba.

Apa aku pernah melakukan kesalahan di masa lalu? Oh, tentu saja sering. Tapi maksudnya, yang ada hubungannya dengan lelaki di depanku.

Aku pikir sih, tidak. Tapi aku juga tidak bisa percaya pada diriku sendiri.

"Bimbingan?" tanya cowok itu masih belum beranjak dari hadapanku.

Aku menggeleng dengan segera, "Nggak. Mau ke perpus. Lo?"

"Gue baru beres bimbingan."

Tentu saja. Tidak heran.

Aku dan Dirga kemudian berlalu bersamaan menuju kasir—sebenarnya aku yang mengekor di belakangnya.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang