Part 3 - Hilang

250 46 53
                                    

Aku meraih kertas 'rencana masa depan' dari teman di depanku, lalu memberikan satu kertas untuk Elisa.

Ah, aku tidak suka ini. Mengapa kita harus memikirkan masa depan jika kita bisa hidup untuk hari ini? Aku tidak ingin memikirkan mau jadi apa nantinya, tidak bisakah selamanya kita menjadi remaja seperti sekarang?

"Kamu percaya gak, kalau kamu bener-bener pengin sesuatu, terus kamu minta sungguh-sungguh dan yakin, semesta pasti bakal berkonspirasi buat ngewujudin permintaanmu?"

Kepalaku menoleh ke arah Elisa. Dia mengatakannya sambil menulis sesuatu di atas kertas itu.

Aku melirik bolpoin karakter pemberianku yang digunakannya, lalu beralih ke kata yang dituliskannya di kolom cita-cita.

"Ini bukan ujian, kamu gak perlu nyontek." Elisa melirikku tajam.

Bibirku membentuk cengiran lebih dulu. "Kamu percaya sesuatu kayak gitu?"

Elisa hanya mengangguk sebagai jawaban, tanpa menoleh ke arahku.

"Kalo dipikir-pikir, kamu kan pinter, nilaimu selalu bagus. Kamu pasti tipe orang kayak gak banyak masalah. Jadi kamu bisa percaya sesuatu kayak gitu. Menurutku, percaya aja gak cukup sih. Hidup gak segampang pengin, terus bakal terwujud." Aku meletakkan kepala di atas meja. Wajahku mengarah padanya.

Raut wajah Elisa tiba-tiba berubah. Matanya menatapku tajam. Ia terlihat ... marah?

"Orang yang tampak 'baik-baik' aja, bukan berarti gak punya masalah. Cuma gak diungkapin aja." Elisa mengalihkan pandangannya dariku. Kembali menekuri kertasnya.

Aku tidak menyangka dia akan bereaksi seperti itu. Apa dia punya masalah?

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benakku.

Aku pura-pura tidak sengaja menggelindingkan bolpoinku ke mejanya, lalu mengambil bolpoin itu dengan cepat. Sengaja membuat tangan kami bersinggungan.

Sekilas, aku bisa melihat seorang gadis kecil dengan darah di ujung bibirnya dan seorang laki-laki paruh baya yang sedang mengacungkan pisau padanya. Seorang perempuan yang terlihat sedikit lebih muda dari laki-laki itu, berusaha melerai mereka, hingga akhirnya pisau itu justru menancap di tubuh ringkih perempuan itu.

Jantungku seakan berhenti berdetak sejenak. Tanpa sadar, tubuhku bergerak menjauh dari Elisa.

Apa yang baru saja kulihat? Aku membeku cukup lama sampai tidak menyadari tatapan Elisa yang ... menatapku dengan mata memerah ... seperti ... mau menangis.

Aku mengerjap.

"El-Elisa—"

"Kamu pikir dengan punya kemampuan itu, terus bikin kamu bisa seenaknya baca pikiran orang lain, gitu?"

Mulutku terbuka karena terkejut. Pertama karena kata-katanya benar, kedua, dari mana dia bisa tahu kalau aku bisa membaca pikiran orang lain?

Aku tidak tahu apakah bunyi bel adalah pahlawan kesiangan di situasiku saat ini atau bukan, tapi aku sedikit merasa lega.

Setelah menyuruh kami mengumpulkan kertas 'rencana masa depan' besok, guru meninggalkan ruang kelas.

Elisa masih menatapku, dengan pandangan yang sudah tidak bisa lagi kutahu artinya. Walaupun masih bingung, pada akhirnya tubuhku bergerak meninggalkan ruang kelas.

Meninggalkannya.

***

Astaga, aku pengecut sekali.

Into The Unknown (End) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang