Prolog

69 5 0
                                    

"Ta, kenapa tidak dilanjutkan?" tanya perempuan itu tiba-tiba.

"Percuma dilanjutkan." Jawab Kata begitu ketus.

"Apanya yang percuma? Bukannya itu hal positif? Lagi pula yang kamu lakuin juga bermanfaat. Ayo, lanjutin aja, Ta" seru Lissa begitu mendukung.

"Percuma, Lis!" bentak Kata. Kalimatnya dingin. Langit manis yang sedang ditatapnya berubah menjadi bengis. Matanya yang sayu itu mulai membentuk bendungan, sorot pandangannya kosong. Hatinya tampak sedang tidak baik-baik saja. Digigitnya bibirnya yang indah itu, menahan diri supaya tangisnya tak pecah.

"Maaf, Ta."

"Kau tak salah, Lis. Aku yang salah," ucap Kata semakin pelan. Setetes air mata sudah mulai jatuh di pipinya.

Dua perempuan itu sama-sama terdiam. Membisu dalam gamang.

"Aku salah, Lis."

Kata masih sibuk mengatur nafas. Meyakinkan semesta bahwa dirinya baik-baik saja.

"Aku tidak melanjutkan karena aku sadar, bahwa yang aku lakukan bukan karenaNya, tapi karena makhlukNya," Kata lanjut bicara sambil mengusap air matanya yang jatuh. Nada bicaranya penuh peluh.

"Lantas karena siapa? Karena laki-laki itu?"

Kalimat sederhana yang tak pernah diminta, akhirnya terucap juga dari mulut Lissa. Kata yang masih berusaha untuk mengontrol diri akhirnya menyerah juga. Bayangan laki-laki itu muncul lagi dalam imajinasinya. Laki-laki si pemilik hati seluas samudera.

Kata menghela nafas panjang. Langit pagi yang indah itu tampak menjadi begitu kejam. Ia yang semalam sibuk mengadu pada penciptanya ternyata masih belum pulih tawanya. Yang ada dalam benaknya, masih tentang air mata.

Ternyata benar. Yang hari ini tampak bahagia, belum tentu hidupnya penuh tawa. Yang hari ini tampak baik-baik saja, belum tentu sedihnya hanya seberapa. Karena, itulah manusia. Yang tampak baik-baik saja, bisa jadi semalamnya ia letih mengadu pada Sang Penciptanya. Membasahi sajadahnya dengan air mata. Sebab yang bisa dipercaya, bahwa setelah duka dan kecewa pasti ada tawa. Makanya, Kata, si perempuan tanpa aksara itu pandai sekali menutup lukanya. Karena ia tahu, bahwa semesta begitu baik, ia kirimkan bahagia selalu bersama pasangannya, kecewa.

"Hei, kok diam?" Lissa memecah kesunyian. Ia menunggu jawaban Kata.

"Benar kan, karena laki-laki itu?" Lissa semakin mendesak.

Rasanya bisu sekali perempuan itu. Ingin bilang iya, tapi dirinya tak kunjung mau mengakuinya. Ingin bilang tidak, tapi kenyataannya memang harus diiyakan.

Pandangan Kata masih kosong. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Yang kini bisa dimengerti hanya mata yang masih membendung air mata.

"Aku malas menjawab, Lis," lirihnya.

"Aku ngerti, Ta"

Mereka kembali terdiam. Berusaha untuk saling mengerti satu sama lain. Lissa yang biasanya penuh gairah mendengarkan dan bercerita, kini malah merenung, berusaha memahami apa yang dirasakan sahabatnya itu.

Pagi yang cukup dingin itu membuat Kata justru tak ingin kemana-mana. Ia ingin terus memandangi langit yang penuh pesona, meski hatinya dilanda merana.

"Ta," panggil Lissa begitu lembut. Tangannya mulai merangkul bahu kanan Kata.

Kata hanya menoleh sambil tersenyum kecil. Senyumnya menjawab panggilan Lissa. Matanya yang sayu itu malah membuat Lissa semakin merasa bersalah telah memulai obrolan yang tak diinginkan itu.

"Jangan sedih," Lissa bingung menyusun kalimat. Ia takut kalimatnya salah lagi.

"Aku nggak suka liat kamu sedih," lanjutnya.

Kata masih menjawab dengan tersenyum.

"Gini, Ta. Setauku, yang namanya manusia emang nggak ada yang seratus persen niat dalam hatinya untuk tuhanNya. Pasti ada, niatan untuk orang lain, meski cuma sebutir kotoran kuku. Tapi, yang harus kamu tau, proses itulah yang lama-lama akan merubah niat awal. Percaya, semakin lama niat karena makhlukNya akan berubah jadi karenaNya," ujar Lissa begitu mendamaikan. Kalimatnya ia susun rapi, supaya kawannya tak gamang lagi.

"Aku juga nggak pernah tau, yang selama ini aku lakuin buat siapa? Karena apa? Aku nggak pernah tau itu. Karena aku juga nglakuin banyak hal selama ini ngalir gitu aja," ia masih melanjutkan bicara.

"Kenapa dia pernah datang ya, Lis?" tanyanya akhirnya membuka suara.

"Karena.." kalimat Lissa terpotong.

"Karena apa?"

"Karena semesta sedang mengajarimu sesuatu,"

Kata hanya mengernyitkan dahi.

"Semesta ajari datang kemudian hilang, supaya kau tak lupa untuk pulang," ucapnya. Kalimatnya benar-benar sederhana. Tapi tamparannya begitu dirasakan oleh Kata. Lissa memang mengetahui betul isi hati sahabatnya itu.

Dipeluknya sahabatnya itu. Pecah sudah air mata Kata pada pelukan Lissa. Pelukan penuh peluh yang berusaha menjadi penghilang keluh.

------


Perempuan Pemilik TawadhuWhere stories live. Discover now