Desah angin sore itu membuyarkan lamunanku. Mataku tertuju pada perempuan yang ada di seberang jalan tepat aku berdiri. Perempuan anggun si pemilik lamun. Ia terlihat buru-buru sambil menggendong tas di punggungnya itu.
"Ta, mau kemana?" teriakku memanggilnya.
"Kesana," jawabnya singkat sambil sedikit menoleh.
"Kesana kemana?" tanyaku semakin mendesak. Suaraku mengaung-ngaung dalam naungan langit yang semakin mendung.
"Intinya ada"
"Sini aku anter,"
"Nggak usah,"
"Bentar lagi hujan, Ta,"
"Udah, nggak papa. Aku bisa sendiri," paksanya.
Perempuan itu memang egois. Entah kenapa bisa ada perempuan seperti dirinya. Terlalu mandiri mungkin.
...
...
...
"Aaaa....."
Tiba-tiba kudengar teriakan perempuan itu bersama kilat yang menyambar petangnya langit. Melengking sekali. Ditutupnya wajahnya yang manis itu dengan kedua telapak tangannya. Menandakan ia begitu takut. Aku yang berada 12 meter di seberangnya merasa iba. Ingin kuhampirinya lalu kuajak pulang.
Rintik gerimis mulai turun. Perempuan itu berjalan kecil menepi di pinggiran halte. Duduk dan memainkan jemarinya. Beberapa kali tatapannya ke arah langit dan jam yang melingkar di tangannya. Kuperhatikan terus perempuan itu. Ia mulai mengeluarkan jaket dari ranselnya kemudian dipakai. Angin yang terus berdesus sesekali membuat ia harus membenarkan kain kerudung yang ia pakai. Rasa ibaku mengantarkanku untuk menghampirinya.
"Kan tadi aku bilang, Ta, abis ini hujannya pasti gede," ucapku sembari datang menghampirinya.
Kata hanya terdiam sambil menangkap sorot mataku. Tatapannya tak bisa kuartikan. Kudengar hela nafas panjang darinya, tak bisa kuartikan secara pasti apa maksud hela nafasnya itu. Yang bisa kupahami mungkin dirinya lelah.
"Jadi kesana nggak?" aku masih bertanya. Berharap ada suara yang bisa keluar dari mulutnya.
Gelap langit semakin menyelimuti, anginnya mulai menusuk nadi, tapi pertanyaannya tak kunjung dijawab lagi.
Dasar perempuan tanpa aksara. Sejak mengenalnya dari 3 tahun lalu, ia masih sama. Sama seperti dulu. Masih menjadi perempuan sederhana yang tak mau diakui kehebatannya. Menjadi perempuan pemilik tawadhu yang impiannya sudah ia simpul sejak lama. Juga menjadi perempuan bertangan ringan yang mungkin getir sekali masa lalunya. Ia juga sama. Ya, sama. Sama sekali tak pernah mau membuka hatinya. Sama. Sama sekali tak mau menambatkan hatinya pada sembarang pria.
"Nggak jadi, besok aja mungkin," jawabnya lirih. Aku yang kini duduk di sampingnya merasakan getaran takut dari tubuhnya itu.
"Aku anter pulang ya,"
"Nggak usah, Jib"
"Ini hujan, Ta" bujukku.
"Aku tunggu terang."
Susah sekali ternyata membujuk perempuan itu. Entah bagaimana luluhnya.
"Bentar lagi maghrib, Ta,"
"Itu musholla" matanya menunjuk ke suatu arah.
"Yaudah. Aku juga ikut nunggu terang."
"Hftt," ia menghela nafas. "Yaudah, terserah" lanjutnya.
YOU ARE READING
Perempuan Pemilik Tawadhu
RomanceYa. Engkau. Si perempuan tanpa aksara. Selamat menyulam mimpi dari segala peluh yang telah kau simpul sejak lama. Meski hatimu penuh dengan memar dan tangismu tak pernah kudengar. Tapi percaya, larik-larik doaku tak akan pernah samar.