Ch. 1

3.3K 140 57
                                    

Cerita Kita.

Chafter 1

Arnando Sebastian tersenyum setelah mengecek kembali penampilannya di cermin, dengan senyum has dia mengoda bayangnya, pemuda tanggung dengan tinggi diatas rata-rata itu narsis dengan dirinya sendiri sambil menaikkan sebelah alis. ‘ Ganteng banget.’ gumamnya dalam hati, melempar manja sisir ke nakas, dia berjalan indah seperti di atas catwalk membuka pintu.

Celinguk ke kanan dan kiri, melihat siatuasi aman, dia keluar dan menuju meja makan yang sudah tersedia roti sandwich dengan segelas kopi.

Mencomot dan langsung membawa serta kopinya menuju teras rumah, mencari sosok indah yang selalu memberinya semangat setiap hari.

Dia, di luar sedang menyirami kembang kupu-kupu favoritnya. Entah apa yang menarik dari bunga itu. Bunga dengan warna merah kecoklatan, ukuran sejengkal dengan daun sepasang yang menyerupai sayap kupu-kupu. Bunganyapun tidak begitu menarik. Andai dia lebih mau memperhatikan, keindahan itu sudah lama ada di sekitarnya. Ya, si Arnando Sebastian, alias Nando.

Nando tidak habis pikir akan si Putra Pratama, yang akrab dipanggil Putra. Pria tampan yang tinggal serumah dengannya itu sangat menyukai bunga, alasannyapun sangat sederhana, lucu. Apakah benar bunga itu lucu?

Langkahnya berhenti setelah keluar dari pintu utama, bersandar santai di tiang teras memperhatikan Putra yang masih asyik dengan kembangnya. Menikmati sadwichnya, sambil meminum kopi dengan hidmat.

“Hai ganteng!?” seruan itu muncul secara tiba-tiba. Seorang wanita paruh baya dengan aura ‘horor’ selalu membuat bulu kuduk Nando merinding, dengan kalimat ‘vulgarnya’.

Putra merespon dengan senyum, menghentikan kegiatannya sejenak, sedangkan Nando menatap datar sambil menikmati kopi, mengamati Wanita horor itu yang makin mendekat ke pagar dengan sudut matanya.

“Pagi-pagi gini, melihat kalian, mata Tante langsung cling, loh. Cogan mah, sesuatu ya? Tante merasa makin muda klo liat pemandangan gini tiap hari. Apa lagi di hari libur.” celotehnya dengan senyum centil yang makin terlihat horor.

Ingin rasanya Nando berteriak menyambutnya dengan kalimat, “Nggak pantas, Tante..! liat tuh muka, ya Tuhan ... mesum amat!” namun apalah dayanya sebagai pemuda dengan kesopanan adat timur.

Nando hanya tersenyum semanis mungkin, sambil mengayunkan kopi sebagai tawaran basa-basi. Putra kembali mempercantik kembangnya, tanpa rasa risih sedikitpun.

“Unch ... mau dong, cuman aku jadi gelas aja, biar bisa rasakan bibir mas cogan.” balasnya semakin binal sambil cekikikan.

Nando mengernyit “Nih tante horor, klo diladeni yang ada makin jadi.” membatin, senyumnya makin mengembang , membuat wajah si Tante makin merona.

“Tampan ... kok cuman diam, sariawan?” lanjutnya cekikikan ke Putra.

Wanita yang seperti ini paling susah dihadapin menurut Nando. Tidak bisa melihat laki-laki akrab berduaan, pasti dijodoh-jodohin.

Nando melangkah mendekati Putra, dengan gerakan pelan, menyentuh lengan Putra yang pagi itu mengenakan kaos oblong tanpa tangan. Sengaja dan dengan gerakan erotis, menggoda.

“Put, udah sarapan?” rayu Nando sambil melirik dengan sudut matanya, mengamati ekspresi si Tante yang spontan mematung. “Masuk perangkap, loh!” batinnya kemudian.

Si Tante terdiam dan beberapa menit kemudian kabur kedalam rumah, sambil menutup hidungnya.

“Rasain ... mimisan ... mimisan dah, Lo. Dasar Tante genit horor!” umpatnya dlam hati.

“Ngapain kamu!?” tegur Putra sambil memukul lepas tangan Nando yang masih bertengger di lengannya.

Nando kaget dengan reaksi Putra, menatap tajam tak terima.”Noh lihat, klo nggak kaya gitu, dia malah makin binal. Gerah nih telinga setiap ketemu dia. Kata-katanya ngeres mulu. Atau ... kamu, suka dengan tanggapan dia? hayo...!” godanya sambil menoel lengan yang tadi dia elus.

“Apa sih, nggak jelas.” elak Putra, dan fokus ke kembangnnya.

Nando menaikkan bahu, kemudian masuk langsung ke dapur mencuci gelas kopi yang sudah kosong.
Membuka kulkas setelah itu, mengecek bahan makanan apa saja yang akan dia beli di supermarket nanti. Kebetulan libur kali ini, giliran dia yang berbelanja, sementara Putra membersihkan rumah dan memasak.

Mereka memang sudah sepakat akan pembagian tugas ini dari dulu dan sampai sekarang, sudah dua tahun mereka tinggal bersama dengan ikatan hati yang saling tarik ulur, tanpa ingin mengutarakan perasaan satu sama lain.

Mereka ragu akan perasaan yang ada di hati masing-masing, saling menjaga rasa, takut dengan kejujuran malah akan menjauhkannya satu sama lain.

Mereka bertahan seperti teman akrab. Namun, tak mampu menangkap kode hati masing-masing . tanpa sadar keduanya awet sampai sekarang, karena diantara mereka ada rasa cinta. Cinta yang sebagian orang memandangnya aneh, bahkan, tidak menerimanya sebagai rasa cinta.

**

Bersambung

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang