1

6 0 0
                                    

...
"Kau tahu? tadi aku bertemu dia?"
Ia memasang wajah heran. Bingung. "Siapa?"
"Apa kau lupa, seseorang yang pernah memberimu baju lengkap dengan jilbab merah jambu. Saat itu, kau mulai menyukai pakaian tertutup." Ia masih terdiam, seperti mengingat-ingat waktu yang sudah lama berlalu.
"Apa kau melupakannya?" Tanyaku lagi. "Ah, cepat sekali kenangan itu kau lupakan. Atau apa memang dia tidak pernah kau simpan sebagai kenangan..."
"Tunggu Fira, Aku sedang berpikir keras. Tentang jilbab pink, Aku masih ingat. Jilbab itu masih kusimpan sampai sekarang. Adikku, Zahra sering memakainya. Tapi, tentang sesiapa pemberinya... Ah, biar aku ingat lagi."
"Ini sudah lima tahun, lho Rin. Dan, kamu tahu bagaimana dan dimana orang itu sekarang?"
Bagaimana dan dimana orang itu sekarang? Sosoknya yang lama saja aku tidak ingat, Ra. Bagaimana akan tahu sosok dia sekarang."
Diam beberapa saat.
"Aku ingat. Kamu durhaka Fir." Ia mengancam. "Durhaka bagaimana?"
"Beliau Ustad kita kan?" Aku mengangguk. Bersyukur dia kembali ingat, tapi tidak mengerti dengan ancamannya itu.
"Sudah aku katakan. Beliau Ustad kita, guru kita. Ya, walaupun namanya aku tidak begitu ingat..."
"Ustad Purnama."
"Ya, Ustad Purnama. kenapa kamu nganggap sama besar saja? kamu bilang 'bertemu dia', ha? harusnya bertemu dengan beliau, dong," sangsinya. Aku sedikit tertawa dalam hati mendengar ucapannya. Geli dengan sosoknya yang semaki alim, takut diejek dan diremehkan teman-teman yang lainnya.
"Jadi, kamu sudah ingat dengan... beliau, Rin?" Tanyaku lagi. Ia mengangguk dengan senyum terindah yang pernah aku kenal.
"Engkau mau aku kasih tahu sesuatu?" Ia kembali bersemangat. "Apa?"
"Tentang, Ustad Purnama itu." kembali ia mengangguk dengan wajah penasaran. Aku membuka anak tas dan mengeluarkan sebuah kartu warna hijau muda bersampul plastik. Tertera besar-besar huruf demi huruf merangkai sebuah nama beserta gelar di belakang nama itu, 'M. Purnama Khalil S. Kom'. di bawahnya nama seorang perempuan 'Rahayu Suri Adara S. Pdi'. Kembali Rini terheran. 'Apa maksudmu," mungkin itu yang ada dipikirannnya. "Kemarin aku bertemu Ustad Purnama di perpustakaan, aku tanyakan apakah dia mengenalku atau tidak. Kemudian beliau mengingat-ingat sama kayak kamu tadi. 'Fira, Murid ustad yang di Mushala Al-Fathanah, bukan.' ucapnya semangat. Aku mengangguk Rin. Lantas berceritalah kami tentang sekolahku, anak-anak di mushala bagaimana, dan..."
"Dan, bagaimana Kartu ini bisa ada di tanganmu?" Potong Rin. Padahal, ada banyak yang ingin aku ceritakan padanya, tentang bagaimana penasaran Ustad itu terhadap dirinya, tapi tak jadi aku ceritakan. sebab Rin sudah bosan mungkin dan ingin langsung pada jawaban sederhana.
"Undangan ini dititipkan Ustad kepadaku agar diberikan kepada pengurus masjid kita. Ayah kamu. Nanti, anak-anak yang dulu menjadi murid Ustad Purnama juga diundang untuk datang."
"Ke Pesta Penikahan Ustad Purnama? dengan siapa... RA-HA-YU... Suri Adara..." Aku mengangguk. Wajah lesu Rin menggelayut. Aku tidak paham. "Lho, kenapa mukamu kayak gitu, Rin. Apa kamu tidak ingat... Pesan Ustad waktu dulu itu kepada kita? 'Apabila saudara kita sesama muslim mendapatkan kebahagian, maka kita harus ikut senang dan memasang wajah yang berseri dihadapannya.'"
"Baiklah. Kartu itu biar aku yang simpan. Nanti akan kuberikan kepada ayah, dan akan kusampaikan pesan ustad Purnama kepadamu itu kepada ayah. Dari Ustad Purnama, kepadamu, kepadaku, Lalu kepada Ayahku. Nanti akan disampaikan pula kepada semua jamaah Mushala Al-Fathanah." Ia merebut kartu undangan itu dari tanganku dan menyimpannya ke dalam tas. Wajahnya masih menyimpan perasaan cemas dan mungkin, kecewa.
....
Pada hari yang dijadwalkan, Pesta pernikahan pun berlangsung. Ramai sekali tamu yang datang. di Pelaminan telah duduk sepasang kekasih yang baru saja lelakinya mengucapkan sumpah suci. Tersenyum masygul. bersalaman dengan tamu-tamu yang mendatangi mereka. hampir semua yang datang mengucapkan selamat.
...
Ba'da Zuhur, seorang perempuan datang dengan baju kurung seragam dengan Jilbab merah jambu. berbicara dengan seorang laki-laki di ujung ruangan. -Lelaki yang bersama di pelaminan tadi.
"Ustad. ada apa dengan semua ini? katakan kepada Rin kalau ini hanya mimpi." Ucap si perempuan. Lelaki itu bertanya. "Maksudmu apa, Rin?"
"Ustad, aku tidak percaya kalau ini semua kenyataan. Aku pikir, ustad mengharapkan aku menjadi perempuan muslimah adalah karena ustad ingin aku bersama ustad di pelaminan itu. Tapi, ternyata..."
"Rin, Jangan salah paham dulu. Dulu itu Ustad tidak mengharapakan kamu saja kok. Ustad mengahrapkan semua murid-murid ustad."
"Lalu kenapa hanya aku yang diberikan hadiah? aku tidak mendengar dan meilhat teman-teman lain mendapatkan hal yang sama."
"Ya, Ustad memberikan kepada kamu, karena waktu itu ulang tahun kamu, dan kamu mendapat juara juga. Tidak ada maksud lain kok.
"Apa Ustad tidak mau denganku karena... Aku ini anak-anak dan usianya jauh lebih muda dari ustad. Ustad bosan menunggu aku selesai sekolah?"
"Tidak ada semua lasan itu, Rin. Ustad tidak ada berniat dan berpikir tentang semua itu. Ustad menjalani peran guru sebagai guru, yaitu membimbing murid-murid. tidak ada maksud lain."
Pun teridam keduanya beberapa saat.
"Sudahlah, Rin. Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu sudah SMA. Kamu sudah harus bisa berpikir lebih dewasa. Tahun depan kamu kuliah, kan. Awas, jangan sampai tidak kuliah. Murid ustad yang satu ini nanti akan menjadi Profesor Muslimah di Indonesia kan?"
....
To Be Continiued
...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Salah Waktu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang