Naya turun dari taksi tepat didepan sebuah bangunan besar dan menjulang tinggi. Banyak orang keluar masuk dari dalam bangunan. Bangunan beraksitektur modern ini menunjukkan betapa aktivitas di dalam bangunan tak pernah berhenti. KEPOLISIAN KOREA SELATAN....inilah tempat kerja Naya yang baru. Bukan...bukan polisi. Naya bukan seorang polisi wanita. Naya terlalu kecil untuk menjadi polisi, ia disini untuk bekerja menjadi Ahli Forensik. Yah Ahli Forensik, siapapun akan membayangkan Naya dengan pakaian putih memegang pisau dan membelah mayat. Sangat menakutkan dan menjijikkan, ujar Nina saat pertama kali melihat Naya bekerja di laboratorium kepolisian jakarta. Sebenarnya tak semenakutkan itu, sudah 5 tahun Naya menjadi ahli Forensik untuk kepolisian dan ia sangat menikmatinya. Prestasi dan analisisnya tentang penyebab kematian, berbagai zat adiktif dan segala teka-teki tindak kriminal membuat Naya selalu dikirim ke berbagai Negara untuk menganalisa hingga melakukan research untuk organisasi international tempatnya bernaung. Pekerjaannya selalu menuntutnya untuk berpindah-pindah dan menguasai berbagai bahasa. Ini resiko yang telah disadarinya dari dulu, sebelum memutuskan bergabung dalam OSECO ().
Naya melangkah masuk kedalam bangunan. Ini hari pertamanya menjadi asisten Prof. Kim dan ia telah berjanji bertemu dengan gurunya itu tepat jam 8 pagi. Ia tak boleh terlambat karena Pro. Kim tak pernah mentoleri keterlambatan. Ia sudah beberapa kali bekerja sama dengan Prof. Kim jadi ia sudah mengerti cara kerja dan kedisplinan laki-laki paruh baya yang dikaguminya itu.
“ selamat pagi. Saya Kanaya Wijaya, saya sudah membuat janji dengan Prof. Kim jam 8.” sapa Naya dengan bahasa korea yang baik pada wanita di meja resepsionist. Ia harus mendapatkan kartu tamu agar bisa masuk dan menemui Prof. Kim. Prosedur di setiap Kantor Kepolisian setiap Negara berbeda-beda tapi tetap saja terasa berbelit-belit dan ribet.
“ Maaf. Kamu putrinya?” Tanya Wanita itu. Ia memperhatikan wajah Naya dan beralih pada tubuhnya yang mungil. Yah Naya sudah terbiasa dengan pandangan seperti itu. Dengan tinggi 155 dan berat 45, kulit putih yang kemerahan bila terkena matahari, wajah mungil, pipi chubby dan mata belok sering membuat Naya dianggap anak kecil. Bahkan banyak yang mendeskripsikan Naya sebagai boneka oshin versi indo karena wajahnya yang mirip orang jepang namun terdapat sentuhan asing pada mata berwarna biru dan rambutnya yang pirang. Bukan hasil cat rambut tapi pirang alami karena bukan hanya rambutnya yang pirang tapi juga alisnya.
“ Bukan, saya murid Prof. Kim.” Jelas Naya karena merasa wanita di depannya ini menatapnya bingung.
Wanita bernama Park Hyuna itu mengganguk mengerti. Naya tersenyum melihat wanita yang baru saja diketahui namanya dari tag name dibajunya itu masih terlihat heran dengan wajah asing dihadapannya.
“ Naya,” panggil seseorang. Naya berbalik dan mendapati Min Woo sedang tersenyum padanya.
Senyum itu lagi. Mengapa pemilik senyum itu tak pernah sadar kalau senyumnya bisa membuat para wanita pingsan???
“ kok disini? Kamu mau bertemu Prof. Kim?” tebaknya. Naya mengangguk. “ Ayo...” Min Woo menyapa nona administrasi dan pamit sambil menyeret Naya mengikutinya.
“ kamu bekerja di kantor ini?” ini untuk pertama kalinya Naya memberanikan diri menatap langsung wajah Park Min Woo.
Wajah yang sangat indah. Aku tau sangat tidak sopan mendeskripsikan wajah seorang laki-laki dengan kata indah atau cantik. Tapi Naya tak punya ungkapan lain yang lebih cocok untuk menjelaskan betapa mahkluk di depannya ini sempurna. Sangat sempurna. Mata berwarna coklat yang dihiasi bulumata lentik dan tatapan mata yang tajam, sangat menarik. Kulitnya yang mulus bahkan membuat Naya merasa tak percaya diri berjalan disampingnya. Bagaimana seorang laki-laki bisa punya kulit yang lebih mulus dari wanita. Namun segala keindahannya itu tak membuatnya terlihat seperti banci. Tidak...tidak...ia malah terlihat sangat maskulin.