Dedikasi-Pneumoni Corona Wuhan

20 0 0
                                    

-Wuhan, Januari 2020

"Pasien suspek Korona datang!!"

"Vital Sign, pasang saturasi! Siapkan untuk rontgen thorax!" aku pasang stetoskop di telinga dan bagian diafragma kutempel di dada pasien. 'Ada suara rhonki, saturasi 86%, laju nafas meningkat, retraksi subkosta' "Pasang sungkup O2, kasi 7 lpm! Ruang rontgen siap?"

"Sudah dok!"

"Oke bantu dorong pasien ya sus."

"Siap dok!"

"Hmm, sudah pasien ke 25 untuk hari ini." Monologku.

Terhitung sejak hari pertama wabah ini mulai muncul. Rumah sakit ini tidak pernah absen dikunjungi pasien dengan suspek terinveksi virus korona. Entah bagaimana akhirnya virus ini bisa menyerang manusia, yang aku bisa pikirkan kini hanya bagaimana bertahan dalam situasi ini.

Setelah kematian salah satu dokter di rumah sakit ini, kini hanya tersisa 9 dokter dan 15 tenaga medis lain. Tentu saja virus itu kemungkinan sudah berkembang pada diri kami, tapi mau bagaimana pun kondisinya kami hanya boleh menyerah ketika nyawa kami sudah meninggalkan badan.

"Dokter, ini hasil rontgen thorax pasien tadi."

Aku mengambil lembaran hasil rontgen dan melihatnya dengan pengharapan, "Tolong siapkan alat swab tenggorokan, saya akan ..."

"Dokter!!! Tolong saya tiba-tiba demam, batuk dan pilek sejak tadi pagi. Tolong beri saya obat dokter." Aku menoleh ke kiri dan menemukan seorang pasien menarik lengan jas temanku.

"Sebentar pak, saya akan memeriksa dulu. Sus tolong bawa pasien untuk rontgen!"

"Baik dok. Pak mari ikut saya." Suster itu mengambilkan pasien bed dan langsung mendorongnya ke tempat rontgen.

Aku menoleh kembali kearah suster di depanku, "Saya akan ambil spesimennya sekarang."

Aku memakai handscoon steril dan menggunakan masker N95. Sebelum ke pasien, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh sudut UGD ini. Bed pasien bahkan sudah tidak bisa dimasukkan ke dalam tirai, semua berdesakkan. Dengan kondisi ini pun pemerintah pusat seolah tidak menganggap kota ini ada.

Sekali lagi aku menghela napas. Dalam 10 hari terakhir, aku hanya bisa tertidur paling lama 3 jam setiap harinya. Tidak berbeda dengan semua kolegaku disini.

Berat.

Semua disini terasa berat. Terkadang aku berpikir, seandainya aku dulu tidak menjadi dokter. Mungkin saat ini aku bisa berkumpul dengan keluargaku. Ikut mencari perlindungan di kota bahkan Negara lain. Tidak terjebak disini, mengurus orang sakit yang emosinya tidak stabil. Membahayakan nyawa sendiri dengan segala tuntutan masyarakat pun pemerintah yang menggantungkan nyawa mereka di gelar dokter kami.

Aku menggelengkan kepala, menghentikan semua pemikiranku, dan kembali menatap kearah pasienku. Aku melangkah dengan cepat. Mengambil specimen dari tenggorokannya dan menaruhnya di botol khusus.

"GA MAU!! SAYA GA MAU PAKAI MASKER!!"

Ake menoleh ke arah kiri, disana kulihat pasien laki-laki yang sudah turun dari tempat tidurnya berteriak kearah perawat.

"BUAT APA SAYA PAKAI MASKER KALAU AKHIRNYA MATI? Kalau saya mati...."

Srettt!!

"MAKA KALIAN PUN HARUS MATI!!"

Cuiihh!!

Aku hanya mampu membolakan mataku ketika melihat masker perawat itu ditarik dan wajahnya diludahi oleh pasien.

"BLACK CODE di UGD harap segera direspon." Suara dari pengeras suara. Aku lihat beberapa petugas keamanan datang dan menahan pergerakan pasien itu.

"Pak tolong bawa ke ruang isolasi, pasien dengan infeksi korona positif." Perintah seorang dokter yang segera dituruti oleh petugas keamanan.

Aku melihat perawat tadi dipapah oleh temannya ke ruang perawat. Tanpa sadar aku mengikuti langkah mereka dan menyandarkan punggungku di dinding bagian luar ruang perawat

"Huhuuu... Kenapa? Bahkan aku sudah mengorbankan diriku dan keluargaku hanya untuk merawat mereka yang bukan siap-siapaku! Aku tidak meminta bayaran, paling tidak hargai sedikit rasa lelahku dan jerih payahku! Cukup berikan aku senyuman, dan katakan terima kasih atas apa yang sudah aku lakukan untuk dia. Aku tahu aku mungkin sudah memiliki virus itu ditubuhku tanpa perlu diludahi. Tapi kenapa dia harus melakukan itu? Huuuu huuuuu..."

Aku menutup mata sejenak, dan memutuskan untuk kembali lagi ke UGD.

"DOKTERR!!" aku menolehkan kepalaku, dan kulihat anak kecil dengan rambutnya yang terkuncir bergoyang lucu berlari sambil mengangkan permen batang tinggi-tinggi. "Haahh.. haahh.. Ini untuk dokter!" katanya menyodorkan permen padaku, "Terima kasih dok sudah merawat ibunya Nisa. Semoga dokter sehat terus dan bisa merawat lebih banayk orang ya dok!!"

Aku berjongkok mensejajarkan tubuhku dengannya, "Terima kasih ya Nisa. Belajar yang rajin ya biar bisa jadi ilmuwan dan menemukan obat untuk semua penyakit di dunia."

.

.

-TAMAT-

Oke gaes, aku emang nyebelin karna bukannya lanjut cerita tapi malah buat one-shot story..

Prihatin sama wabah Pneumoni korona ini, semoga kita dan seluruh umat di dunia tetap terlindungi.

Jangan copas cerita ini yaa luvluvv. Jangan Tanya kapan lanjut cerita juga, karena inspirasi masih gaada.. timaaci zheyeengg

BTW kalo aku bahas tentang overview Pneumonia Corona Wuhan di youtube ada yang mau nonton ga ya??


Follow IG aku di @ranipradnyas ya gaes

DEDIKASI-Pneumoni Corona WuhanWhere stories live. Discover now