BAGIAN 2

554 24 0
                                    

"Seharusnya kami tidak meninggalkan Raden saat itu...," desah Legini perlahan bernada menyesal.
"Kau tidak perlu merasa bersalah, Legini. Aku sendiri tidak menyangka kedatangan Pendekar Rajawali Sakti. Hhh...! Dia benar-benar seorang pendekar tangguh," sergah Raden Gordapala juga perlahan suaranya. "Semua pisau emas, kini tidak ada lagi padaku. Kalian tahu, apa jadinya jika pisau emas itu tidak bersemayam dalam tubuhku...?"
Dewi Naga Kembar hanya mengangguk saja. Mereka tahu, Raden Gordapala hanya mampu bertahan hidup paling lama satu purnama tanpa pisau emas bersemayam dalam tubuhnya. Memang, pisau-pisau emas itu merupakan nyawa bagi kehidupan dan kesaktiannya. Dan sekarang, pisau-pisau itu berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Jadi, itu sama saja nyawa Jago dari Alam Kubur ini sekarang berada di tangan Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti adalah Raja Karang Setra. Dan di sana, biasa dipanggil Prabu Rangga Pati Permadi. Rasanya, tidak sulit memperoleh kembali pisau-pisau emas itu, Raden," tegas Untari, mantap.
"Benar, Raden. Kita bisa menelusupkan orang-orang kita ke dalam istana. Itu perkara yang sangat mudah. Kami tahu, penjagaan di Istana Karang Setra tidak begitu ketat. Tapi...," ucapan Legini terputus.
"Tapi apa, Legini?" tanya Raden Gordapala.
"Para pembesar Kerajaan Karang Setra begitu patuh dan setia pada rajanya. Sulit sekali mempengaruhi mereka. Bahkan prajurit rendahan saja tidak mudah dipengaruhi. Juga seluruh rakyatnya begitu setia, dan mencintai rajanya. Karang Setra memang sebuah kerajaan yang penuh cinta, Raden. Tidak mudah bagi orang-orang seperti kita bertahan di sana. Sedikit saja sikap kita mencurigakan, mereka cepat bisa menciumnya. Mereka benar-benar terlatih. Dan penjagaan yang tidak begitu ketat, tidak bisa dipandang rendah. Mereka bisa bergerak cepat, dan menjadi kuat seketika tanpa dapat diduga sama sekali, Raden," jelas Legini tentang keadaan di Kerajaan Karang Setra.
"Hm.... Ini berarti kita akan menghadapi lawan yang begitu besar kekuatannya...," gumam Raden Gordapala.
"Melawan mereka dengan kekuatan, memang tidak mungkin, Raden," tambah Legini.
Mereka jadi terdiam membisu, dan sama-sama menyadari keadaan yang sedang dihadapi sekarang ini. Dan mereka juga menyadari kalau tidak semudah membalikkan tangan dalam menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Terlebih lagi, sekarang ini pendekar muda dan digdaya itu berada di tanah kelahirannya. Maka sudah barang tentu dikelilingi orang-orang berkepandaian tinggi yang patut diperhitungkan. Memang, Karang Setra sudah terkenal sebagai gudangnya tokoh tingkat tinggi yang tidak bisa dianggap sebelah mata begitu saja.
"Sayang sekali, orang-orang di wilayah kesatu dari delapan penjuru mata angin sudah porak-poranda. Padahal, mereka lebih tahu seluk-beluk Kerajaan Karang Setra. Terutama, pemimpin kesatu yang tahu betul tentang kerajaan itu," desah Untari perlahan, seakan bicara untuk dirinya sendiri.
"Kenapa kita tidak tanyakan saja pada Kakek Siulan Maut? Dia juga tahu seluk-beluk Karang Setra," selak Legini.
"Percuma, Legini. Kakek Siulan Maut sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Juga, Iblis Kembar dari Utara," kata Raden Gordapala memberi tahu.
"Edan...!" desis Legini. terkejut "Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, Raden...?"
"Mereka mencoba menghalangi Pendekar Rajawali Sakti ke istanaku. Tapi, kepandaian mereka memang masih kalah. Dan mereka tewas demi membelaku."
"Lalu, bagaimana dengan Iblis Tongkat Merah dan Dewi Cambuk Maut?" tanya Untari.
"Sampai saat ini, aku belum mendengar kabar beritanya. Itu sebabnya, kenapa aku langsung ke sini. Karena, aku tahu kalian pasti ada di sini," sahut Raden Gordapala.
"Mudah-mudahan ini bukan awal dari kehancuran Delapan Penjuru Mata Angin...," desah Untari perlahan sekali. Hampir tidak terdengar suaranya.
"Kita tidak bisa diam saja. Harus ada cara tepat yang terbaik untuk mendapatkan kembali pisau-pisau emas itu," desis Legini.
"Memang! Dan waktu yang kita miliki tidak cukup banyak," sambung Untari.
"Hm... Kira-kira, berapa lama ke Karang Setra?" tanya Legini lagi.
"Tiga hari perjalanan berkuda," jawab Raden Gordapala.
"Itu dengan kudamu, Raden."
"Mungkin lima atau enam hari dengan kuda biasa," kata Raden Gordapala lagi.
"Semakin sedikit saja," desah Legini.
"Apa kau mampu tetap bertahan, Raden?" tanya Untari.
"Mungkin masih mampu bertahan lebih dari satu pekan dari satu purnama. Setelah itu, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan mungkin juga, ini memang awal dari kehancuran Delapan Penjuru Mata Angin," sahut Raden Gordapala, seakan-akan putus asa.
"Tidak akan, Raden. Delapan Penjuru Mata Angin tidak boleh hancur. Kalaupun terlambat mendapatkan pisau emas itu kembali, kami akan membangkitkan Raden lagi dari kubur," tegas Untari bertekad.
"Kalian berdua memang pengikutku yang setia. Terima kasih. Dan kalian patut mendapatkan penghargaan yang layak," ucap Raden Gordapala gembira mendengar tekad Dewi Naga Kembar ini.
"Terima kasih, Raden," ucap Untari dan Legini bersamaan.
"Aku berjanji, jika kalian berhasil mendapatkan ke delapan pisau emasku, akan mendapatkan kedudukan mewakiliku memerintah Delapan Penjuru Mata Angin. Dan kalian bisa menentukan wakil-wakil dari setiap penjuru mata angin," tegas Raden Gordapala.
Bola mata kedua gadis Dewi Naga Kembar jadi berbinar mendengar janji itu. Dan tentu saja, kedudukan yang tinggi seperti itu memang sangat didambakan. Bukan saja oleh Dewi Naga Kembar, tapi juga oleh seluruh tokoh golongan hitam yang tergabung dì dalam kekuasaan Delapan Penjuru Mata Angin. Karena orang yang menduduki jabatan bisa menentukan apa saja tanpa harus meminta persetujuan Raden Gordapala, yang menguasai seluruh wilayah Delapan Penjuru Mata Angin.
"Besok, pagi-pagi sekali, kami akan berangkat ke Karang Setra, Raden," kata Untari jadi lebih bersemangat.
"Bukan hanya kalian saja. Tapi aku juga akan pergi ke sana. Aku tidak akan kembali ke istana di Gunung Tangkup sebelum mendapatkan pisau emas itu. Terutama sekali, membunuh Pendekar Rajawali Sakti...!" agak mendesis kata-kata terakhir Raden Gordapala.
"Dia memang harus dilenyapkan, Raden. Sekarang ini, memang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menjadi batu sandungan dari semua kegiatan anggota Delapan Penjuru Mata Angin," nada suara Untari juga ikut mendesis.
"Benar, Raden! Sudah tidak terhitung lagi, berapa anak buah kami yang tewas di tangannya," sambung Legini.
"Aku tahu itu. Dan kalian tidak perlu khawatir! Kalau pisau emas sudah ada di tanganku, tak ada seorang pun yang bisa menandingiku lagi. Bahkan Dewata pun akan tunduk pada perintahku!" desis Raden Gordapala pongah.
"Kami akan segera berkemas, Raden," pamit Untari seraya bangkit berdiri dari kursinya.
"Silakan. Aku juga ingin istirahat," sahut Raden Gordapala.
"Raden ingin ditemani?" tanya Legini.
"Tidak malam ini, Legini. Sama sekali aku tidak ada selera malam ini. Terima kasih," ucap Raden Gordapala tersenyum.
Legini mengangkat bahunya, kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu mengikuti Untari. Sementara Raden Gordapala masih tetap duduk diam di kursinya. Sebentar kemudian, ditinggalkannya juga ruangan berukuran cukup besar itu. Lalu, tubuhnya tenggelam di dalam kamar istirahat yang disediakan untuknya.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa di sekitar bangunan besar bagai istana di tengah-tengah hutan itu. Beberapa orang masih terlihat berjaga-jaga di sekitarnya, seperti tak peduli terhadap dinginnya angin malam ini.

66. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia GordapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang