—Liechtenstein, 1987.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Malam itu, tangisan memecah dari menara paling atas Kastil Vaduz, menginterupsi senyapnya malam dan bergabung bersama derasnya hujan. Petir menyambar, memberi seberkas cahaya yang tampak menyeramkan di gulitanya mega. Keadaan kian runyam sebab bayi mungil yang berada di atas kasur menggeliat tidak tenang, bahkan kecupan sang ibu di setiap inci kulitnya yang terasa terbakar tidak cukup untuk menghentikan jeritan. Sekujur tubuh bayi itu memerah, suhu badannya melebihi suhu normal seorang manusia.
Itu adalah sebuah petaka. Ibunya terus menitikkan air mata, takut kehilangan sang buah hati yang baru saja dilahirkannya. Mendapatkan seorang keturunan tidak mudah dalam bahtera rumah tangganya dan ketika Tuhan mengabulkan, haruskah kebahagiaan itu diambil secepat ini?
"Viktor, lakukan sesuatu! Adam, kau seorang dokter, tidakkah bisa menyelamatkan puteriku?" Wanita itu memohon tanpa putus. Melihat bilah bibir pucat dari anaknya membuat jantungnya serasa ditikam kekalutan.
Viktor sama takutnya. Binar matanya meredup, urat-uratnya mencuat dari sisi pelipis. Ada genangan yang siap tumpah dari sudut mata, tetapi Viktor tidak akan bisa membiarkan kalut menguasainya.
"Ada yang aneh, Ratu Tatjana. Tubuhnya panas, tetapi termometerku tidak dapat mendeteksinya." Adam memperhatikan lagi tiga buah termometer di atas meja, tepat di sampingnya. "Sudah tiga kali percobaan dan semua alatnya menunjukkan suhu normal. Aku yakin, semua termometer ini tidak rusak."
Viktor mengusak rambut legamnya. Mata birunya terpaku pada sosok Tatjana yang berbaring di samping buah hatinya. Tangis wanita itu juga menjadi kesakitannya, namun dalam keadaan seperti ini, Viktor tidak tahu harus melakukan apa. Laki-laki itu tidak tahu apa yang salah dengan puterinya, bahkan Adam, seorang dokter berkebangsaan Swiss yang telah mengabdi pada keluarganya pun tidak mampu memberikan penjelasan terhadap penyakit yang diderita sang anak.
Ketukan pintu terdengar, mengalihkan seluruh perhatian. Viktor berjalan agak tergesa, menarik gagang pintu perunggu dengan hati gelisah. Mark, seorang penjaga pintu gerbang berada di depannya dengan raut tak terbaca.
"Maaf, Tuanku. Ada seseorang yang ingin bertemu Anda." Mark memberi jeda, melipat bibirnya ke dalam samar, tampak gugup untuk menyampaikan siapa gerangan yang tengah malam ingin bertemu dengan sang raja. "Nostra, Tuan. Beliau memaksa bertemu."
Nyatanya, ini lebih buruk dari apa yang dibayangkan Viktor.
Lidahnya bahkan terasa pahit saat berujar, "Di mana Nostra?"
"Beliau ada di ba—"
"Aku di sini."
Mark mengundurkan diri, membungkuk sebentar pada Viktor sebelum kembali turun melewati tangga melingkar. Viktor tercenung di ambang pintu, melihat seorang pria tua dengan punggung membungkuk berdiri di ujung tangga. Rambut putihnya tergelung di pucuk kepala, ada sebuah tongkat cokelat gelap di tangannya sebagai tumpuan pria tua itu kala berjalan mendekat ke arahnya. Bola mata hijaunya memaku pandang pada presensi Viktor yang masih bergeming.
"Mengapa tidak meminta bantuanku? Bagaimana bisa kau berpikir aku tidak akan tahu," ucap pria tua sembari menunjukkan senyum kecut melihat ketegangan di raut wajah Viktor. "Apa kau takut?" Ada ejekan terselip saat kekehan sumbangnya mengudara.
Barisan gigi Viktor bergemeletuk di dalam bibir yang tertutup rapat. Kedua tangannya terkepal di sisi, menahan gejolak amarah. "Nostra, kau sudah tidak memiliki hak untuk menginjakkan kaki di sini. Kehadiranmu tidak diharapkan sama sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You
RomanceAlexa harus menghadapi dua konsekuensi ketika jatuh pada seorang laki-laki: dia dicintai atau mati. Copyright 2020 by Aksara- #9 Hanahaki (31/01/20)