Waktu yang Salah

76 7 1
                                    

🎶Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah.

**

"Jangan kebanyakan senyum, ntar gula nggak akan laku soalnya kalah manis."

Siapa yang tidak akan terbawa perasaan ketika seorang cowok mengatakan itu? Baik. Itu mungkin tidak ada apa-apanya. Biar kuperjelas bagaimana cara cowok ini begitu mudah mengambil seluruh perhatianku.

"Apa sih," elakku sembari berbisik. Kami berdua ada di tengah-tengah berisan dan sedang upacara. Akan tetapi, cowok ini selalu mengajakku bicara. Entah mengeluh atau memberi sanjungan seperti barusan. Seakan-akan ia akan kejang-kejang kalau sedetik saja tidak mengeluarkan suara.

"Lo mending pindah," kataku pura-pura jengah ketika dia menggeser-geser kakinya ke arah kakiku. Meski yang sebenarnya, aku tidak ingin dia pergi. Biarkan seperti ini. Bahkan, ketakutanku ketahuan mengobrol entah ke mana. Yang kupikirkan adalah bagaimana caranya mempertahankan tatapan kesalku sebab itu topengku untuk menutupi letupan kegembiraan yang kini bergelung di perutku.

"Tega bat lo ngusir," rengutnya. "Gue ntar kesepian nggak ada lo."

Aku mendelik. Rasanya tidak kuat agar tidak melengkungkan senyum karena saking malunya. Aku harap, cuaca panas menutupi kebenaran dari alasan meronanya wajahku.

"Nggak bosen apa di kelas ketemu mulu."

Kami sama-sama berbisik. Untung saja kami tidak di baris paling depan atau belakang karena guru dan petugas OSIS sangat ketat memperhatikan setiap barisan.

"Gue mana bosen sama lo."

"Idih." Aku mendelik. Dia malah terkekeh geli, tentu dengan pelan.

"Lagian nggak bosen apa upacara mulu. Padahal, tadi ikut gue aja bolos ke UKS. Raka yang jaga lho, bisalah nyelip di sana sambil minta teh anget," bisiknya dan mendapat sikuan dariku.

"Kenapa nggak lo aja? Malah ke sini ngajak ribut gue."

Ia berdecak. "Lo-nya ngga ikut."

"Lo kan banyak temen, pea!"

"Mereka bolos hari ini."

"Kenapa lo nggak?"

"Ntar lo kesepian nggak ada gue."

Aku meliriknya sinis. Walau apa yang dikatakannya benar, tidak mungkin aku mengakuinya. Aku perempuan, tidak mungkin aku mengatakan hal sebenarnya. Meski itu tidak salah, tapi norma di Indonesia seolah melarangnya.

"Bacot."

Serta-merta ada yang menyentil lenganku yang memang terlipat ke belakang karena acara upacara sedang dalam proses ceramah pembina kelas.

"Pacaran mulu," bisik seseorang di belakangku. Pasti dia juga yang menyentil barusan.

Aku hanya mendengus tanpa membalas apa-apa. Takutnya aku menengok ke belakang, guru bagian kesiswaan malah menegurku.

"Sekar."

Aku melirik ke samping lagi. Dari tadi dia mengobrol dengan temannya yang ada di depan. Sudah kubilang, dia tidak bisa untuk tidak diam.

"Tugas Mate udah?"

Aku mengangguk sekali dan mengundang cengiran cowok itu.

"Liat dong!"

Aku ingin sekali menolak. Aku itu tipikal orang yang tidak ingin membagi sesuatu kalau aku mendapatkan hal itu dengan usaha banyak. Bahkan, aku lebih memilih dimusuhi atau dibicarakan di belakang daripada berbuat baik dengan membagikan hasil jawaban.

Waktu yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang