BAGIAN 1

882 25 0
                                    

Hujan gerimis merinai jatuh dari langit, langsung menghantam bumi. Angin berhembus kencang, melontarkan daun-daun dan rerumputan kering. Udara terasa begitu dingin menusuk tulang, sehingga membuat orang lebih memilih di dalam rumah. Terlebih lagi, malam ini begitu gelap. Sedikit pun tak terlihat cahaya bintang maupun rembulan yang membias.
Namun keadaan alam yang tampak tidak ramah pada malam ini, tidak membuat seorang wanita menghentikan ayunan langkahnya. Dengan tertatih-tatih, disusurinya jalan tanah yang mulai basah oleh rintik air hujan. Cukup sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya ditutupi sehelai kain berwarna hitam. Malah, tampaknya sudah begitu lusuh. Bahkan banyak terdapat tambalan.
Dia berjalan dengan kaki telanjang, menapak perlahan-lahan. Tidak dipedulikannya lagi tanah becek yang tersiram air hujan yang semakin deras saja turun menyirami bumi ini. Wanita itu baru berhenti melangkah setelah tiba di depan sebuah pondok kecil yang terletak agak jauh dari rumah-rumah lainnya. Sebentar mukanya dipalingkan ke kanan dan ke kiri, seakan-akan tidak ingin ada orang lain yang melihatnya.
Kemudian dengan tangan agak gemetar, dibukanya pintu pondok itu. Bunyi derit dari sendi pintu yang sudah berkarat, terdengar mengiris hati. Secercah cahaya redup dari sebuah pelita kecil yang tergantung di tengah-tengah ruangan pondok kecil ini langsung menyambut kehadiran wanita itu.
"Kaukah itu, Nek..?" terdengar suara agak nyaring dari dalam pondok.
"Benar..., ini aku!" sahut wanita berkerudung kain lusuh itu.
Suaranya terdengar kering sekali. Bahkan agak serak seperti burung gagak. Kakinya melangkah masuk ke dalam pondok, lalu membesarkan nyala api pelita. Maka ruangan berukuran kecil ini jadi lebih terang lagi setelah nyala api pelita membesar. Tampak di atas sebuah dipan bambu, duduk seorang gadis berpakaian kumal dan penuh tambalan. Wajah dan tubuhnya tampak kotor. Rambutnya juga acak-acakan tak teratur, hampir menutupi wajahnya.
"Apa lagi yang kau bawa untukku malam ini, Nek?" tanya gadis itu.
Suaranya terdengar datar sekali, tanpa tekanan sedikit pun. Dan matanya agak memerah, dengan tatapan begitu kosong bagai tak memiliki lagi cahaya gairah kehidupan.
Sementara perempuan tua yang kini sudah melepaskan kerudungnya, melangkah terseret menghampiri. Diletakkannya sebuah guci berukuran cukup besar yang dibawanya ke atas dipan di depan gadis itu.
Seketika itu juga sinar mata gadis berbaju kumal itu jadi berbinar. Begitu melihat isi guci yang ada di depannya, dia jadi tidak sabar lagi. Langsung diambilnya guci itu, lalu....Glek...!
"Habiskan semuanya. Tapi mungkin malam ini untuk yang terakhir aku bisa memperolehnya," ujar perempuan tua itu, masih dengan suara kering dan serak seperti burung gagak.
Sementara gadis berbaju kumal dan kotor itu terus meneguk cairan merah dari dalam guci berukuran cukup besar ini. Guci itu baru diletakkan kembali di depannya, setelah semua isi guci itu berpindah ke dalam perutnya. Sambil menyeringai penuh kepuasan, bibirnya yang kini jadi merah disekanya.
"Kau bicara apa tadi, Nek Paring?" tanya gadis itu, masih tetap datar suaranya.
"Ini malam terakhir aku bisa mendapatkan darah untukmu. Rasanya sulit bagiku untuk bisa lagi keluyuran malam-malam mencari darah," kata perempuan tua yang dipanggil Nek Paring itu.
"Kenapa...? Apa semua orang di desa ini sudah habis?"
"Tidak."
"Lalu..., kenapa kau berkata seperti itu?"
"Keadaan semakin sulit. Tadi saja aku hampir mati...."
"Kau kepergok mereka lagi?"
Nek Paring hanya menganggukkan kepala saja.
"Tapi tinggal tiga malam lagi, Nek. Dan setelah itu, semuanya akan berakhir. Kau tidak perlu lagi keluar malam-malam. Biar aku sendiri yang melakukannya seperti dulu-dulu lagi. Tinggal tiga hari lagi, Nek. Tiga hari tidak akan lama...," tandas gadis itu, mencoba membangkitkan semangat Nek Paring yang tampaknya mulai padam.
Nek Paring hanya diam saja. Sedangkan langkahnya terus bergerak menghampiri sebuah dipan bambu lain, yang terletak di bawah sebuah jendela kayu yang tertutup rapat. Dari sela-sela lubang di bawah jendela itu berhembus angin dari luar yang terasa begitu dingin. Perlahan-lahan Nek Paring merebahkan dirinya di atas dipan bambu beralaskan sehelai tikar anyaman daun pandan itu.
Sementara gadis berbaju kumal yang seluruh wajah dan tubuhnya tampak kotor, masih tetap duduk bersila. Sebentar matanya melirik Nek Paring yang sudah terbaring dengan mata terpejam rapat. Tak ada lagi yang berbicara.
Sementara hujan di luar pondok ini semakin deras saja, sehingga memperdengarkan suara menggemuruh, bagai hendak menghancurkan semua yang ada di atas permukaan bumi ini.
"Nek..., kau belum tidur...?" tanya gadis itu dibuat lembut suaranya. Tapi, masih saja terdengar agak datar.
"Hm..., ada apa?" Nek Paring hanya menggumam saja.
"Kenapa kau tadi mengatakan kalau ini malam yang terakhir, Nek?" tanya gadis itu.
"Aku hanya mengatakan ini baru kemungkinan saja. Aku merasa semakin sulit mendapatkan darah untukmu. Mereka semakin waspada dan selalu berjaga-jaga," jelas Nek Paring.
"Hm, seberapa jauh jaraknya desa lain dari sini?"
"Dua hari perjalanan."
Gadis itu tidak bertanya lagi. Kini matanya dipejamkan dengan sikap bersemadi. Sedangkan Nek Paring masih tetap berbaring. Kelopak matanya juga tidak terbuka. Tampaknya, perempuan tua itu sangat lelah.
Sementara hujan deras sudah turun di luar, memperdengarkan suara menggemuruh. Sehingga, membuat bumi terasa bergetar bagai diguncang ribuan tangan-tangan raksasa. Suasana di dalam pondok kecil itu pun kini terasa sangat sunyi. Sedikit pun tak terdengar suara dari dalam sana.

73. Pendekar Rajawali Sakti : Perempuan SilumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang