Petrikor

32 4 0
                                    

"Hujan pun pernah sesekali ragu; menimang-nimang kesiapannya sendiri untuk terhempas ke sekian kali di atas bumi. Meninggalkan awan ... dengan perasaan yang selamanya diputuskan mati. Agaknya, awan tak pernah bertanya lebih dulu, acuh pada nafsu hujan untuk bertahan. Hujan jatuh dengan suara debam yang paling hening ... sering tak terdengar, tapi telah sangat menyakitkan. Namun, kehilangan awan ternyata lebih menghancurkan."

***


Dua bulan yang lalu ...

Rama meremas bunga yang dibawanya, Suara plastik pembungkus bunga yang seolah menjerit kesakitan, tak dihiraukannya sama sekali. Rama menatap lurus ke arah Mega, sahabat sejak kecil yang ingin dijadikannya istri itu. Mega terlihat bahagia, wajahnya tersenyum cerah. Di tengah taman, dikerumuni banyak orang, seorang laki-laki yang dikenal Rama sebagai teman sekantor Mega tengah berjongkok. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah. Perlahan, laki-laki itu membuka kotak dan menyembulkan sebuah cincin dengan berlian berwarna biru. Rama tercekat.

"Maukah kau ... menjadi wanita yang setiap pagi, kulihat pertama kali ketika mataku terbuka?" Gilang, kalau Rama tidak salah ingat nama laki-laki itu.

Bisik-bisik di sekitar mereka terdengar. Sebagian wanita berjingkat dan menjerit tertahan. Tidak ada yang terlihat menyumpahi adegan itu selain Rama. Jantung Rama berdegup. Terlalu keras hingga ia yakin orang-orang di sebelahnya bisa mendengar dengan jelas. Matanya berkunang-kunang. Bunga yang ia remas, tidak begitu saja menjadi debu seperti yang ia harapkan saat itu.

Rama mengenang. Sepertinya baru kemarin ia pergi berdua dengan Mega. Gadis bermata teh itu. Baru kemarin mereka bercanda berdua, menikmati seluk beluk kota yang riuh menyambut tahun baru. Harapan baru. Memori kemarin masih terekam jelas di benak Rama, bahkan ia yakin bisa menyebutkan aktivitasnya dan Mega tiap detik. Kemarin. Beberapa jam yang lalu.

Ulu hati Rama berdenyut. Nyeri. Rasa kehilangan Mega mendadak menyergap begitu dekat dan cepat.

"Apa kau ... mau menjadi istriku?" Suara Gilang kembali mengisi keributan. Sontak, semua mata yang tertuju pada mereka, terdiam.

Mega terlihat malu-malu. Ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Rama mengumpat dalam hati, berharap—walau ia tahu sia-sia—Mega tidak akan menerima lamaran Gilang.

Tiba-tiba, hujan turun. Rerintik yang kemudian menjadi hujan. Orang-orang berlarian mencari tempat berlindung, sebagian lainnya langsung menggunakan payung yang sempat disiapkan. Bau air hujan yang pertama kali mencumbu tanah, tercium lekat di hidung Rama. Bau yang orang sebut petrikor.

Harapannya mengkhianati. Rama tahu. Detik ketika Mega mengangguk adalah waktu yang paling ingin ia bunuh.

***


"Pada akhirnya, ia hanya teresap, teralir, teruap, dan bertemu tempat singgah yang baru; awan yang lain. Jatuh cinta, lalu tersakiti lagi tanpa mampu seutuhnya ... bersama awan yang dimau. Yang diingini. Kadang rindu hadir begitu menyiksa ketika aliran juga resapan terasa berabad lamanya. Kadang teresap itu ... menghilangkan, hingga di suatu tempat, ia muncul lagi; mengalir dan memuara. Mengikuti kelok tanah di bumi yang tak pernah baik mengombang-ambingkannya."

***


Sebulan yang lalu ...

"Rama!"

Rama bergegas mengemasi lembar-lembar ujian. Pura-pura tak mendengar panggilan gadis yang sampai saat ini masih ia cintai itu. Sinta menerobos masuk ruang kelas.

Our Universe (Kumpulan Cerita Pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang