précieux | t i d a k p e r c a y a

1.7K 137 25
                                    

"God

has no

religion."

──Mahatma Gandhi──

──Mahatma Gandhi──

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Satu.]

Kata orang, Tuhan itu Maha Adil. Semua yang terjadi di dunia sudah Ia perhitungkan, bahkan termasuk daun yang jatuh dari pohonnya. Kata orang, Tuhan itu Maha Penyayang. Semua makhluk ciptaan-Nya tak pernah luput dari perlindungan meski barang sedetik. Kata orang, Tuhan itu nyata adanya.

Namun, tidak bagi Seno.

Banyak hal yang membuat Seno meragukan keberadaan Sang Pencipta, meski tidak sedikit pula yang membuat dia percaya bahwa Tuhan memang ada. Bagi Seno, semua itu kembali pada perspektif seseorang. Tidak ada yang benar-benar baik hanya karena ia beriman, dan tidak berarti semua orang jahat adalah orang tidak beriman.

Di dunia, semuanya sudah punya porsi masing-masing.

Mungkin, hidupnya memang tidak ditakdirkan untuk dipenuhi hitam dan putih. Mungkin, sejak awal Tuhan menggariskan takdirnya, semuanya sudah berwarna hitam tanpa diselipi putih. Sebab sejak awal, Seno tidak pernah merasa bahagia yang begitu hebat. Semuanya terlalu datar, tanpa arti maupun makna.

Seno tidak percaya jika ada yang bilang hidupnya akan bahagia karena semua kesedihannya sudah dia alami. Seno juga tak akan percaya kalau ada orang yang bilang kelak semuanya akan membaik. Seno ragu, bahwa Tuhan punya rencana hebat dibalik semua kesulitan yang harus dia hadapi.

Itu omong kosong.

Baginya, semua itu hanya sarkasme belaka. Kata-kata manusia naif yang berusaha percaya pada Tuhan, dan sayangnya, Seno tidak. Sebab bagi Seno, jika Tuhan memang benar adanya, hidup Seno tidak akan semenyedihkan ini. Kalau Tuhan memang ada, Seno akan punya setidaknya satu alasan untuk tersenyum. Kalau Tuhan benar ada, maka Seno pasti bisa sedikit lebih bahagia.

Tapi, Seno tidak.

Maka baginya, Tuhan tidak ada.

Dan karena itu, dia tidak merasa harus repot-repot menghargai orang tuanya, meski kata orang mereka adalah perwakilan Tuhan di dunia.

"Senopati, mana sopan santun kamu?"

Seno berdecak, menatap enggan sosok pria yang seharusnya menjadi sosok pelindungnya. Sekali lagi, seharusnya.

"Apa? Papa mau apa lagi?"

"Senopati."

"Mau aku sopan sekalipun, semua bakal tetep sama aja."

"Kamu udah hilang akal?"

"Kalau iya emang kenapa?" Seno membalas tajam, "mau aku punya akal maupun enggak, itu bukan urusan Papa. Sekali aja, apa pernah Papa bener-bener peduli? Enggak 'kan? Karena kalau iya semuanya bakal baik-baik aja!"

Sosok di hadapannya menarik nafas dalam, berusaha menyabarkan diri dalam menghadapi putranya. Seno melengos, kentara enggan peduli.

"Kolose 3 : 20."

"Aku gak peduli-"

"Seno."

"Aku gak-"

"Senopati Dirgantara."

Seno mendesah frustasi, "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Puas?!"

"Puas," jawab Papa, "seenggaknya masih ada hal berguna dalem otak kamu."

"Peduli setan."

Seno membanting pintu, bergegas melangkah menjauh dari rumahnya.

©2020, mengukirhujan.
-12 Februari-

i r o n i Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang