précieux | h a p p i n e s s

1.1K 114 18
                                    

"Happiness

in intelligent people

is the rarest thing

I know."

—Ernest Hemingway—

—Ernest Hemingway—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Dua.]

Kalau ditanya, pernahkah Seno bahagia, ada kemungkinan Seno akan mengatakan iya. Sebab, Seno ingat pernah merasakan kehangatan luar biasa dulu, walaupun bisa dihitung jari. Sisanya, Seno tidak ingat. Mungkin dia pernah bahagia saat kecil, atau mungkin tidak.

Seno merasa biasa saja saat mendapat nilai tertinggi di sekolahnya. Seno tidak merasa bangga meski dia selalu mendapat pujian dari orang-orang disekitarnya. Mungkin hatinya memang sudah usang, jadi tidak berfungsi seharusnya.

Satu momen yang pernah Seno ingat adalah kala ia berumur enam tahun, itu adalah tahun awal Seno duduk di bangku sekolah dasar. Dari kecil, Seno bukanlah anak yang pintar bersosialisasi. Dimana artinya sudah bisa dipastikan, hari pertama sekolahnya tidak menyenangkan.

Hari itu, Seno memakai seragam merah putih yang kebesaran. Kerahnya masih kaku dan wanginya masih berupa wangi toko. Seno tidak menangis seperti anak lain, tapi dia juga tidak terlihat antusias. Seno hanya duduk di bangkunya sepanjang hari, kemudian maju ke depan saat diminta memperkenalkan diri oleh Bu Guru. Seno ingat, kalimatnya hari itu sangat konyol tapi juga menyenangkan untuk diingat lagi.

"Eung.. aku Seno adiknya Kak Genta."

Salah satu bocah laki-laki mengangkat tangan dengan berani, "Jadi nama kamu itu Seno atau kak Genta?"

"Nama aku Seno, Kak Genta itu kakaknya Seno. Kamu bodoh ya?"

Anak itu merengut, "Aku gak bodoh!"

"Kata Kak Genta, kalau nanya sesuatu yang udah jelas itu bodoh. Itu artinya kamu bodoh," simpul Seno seenaknya.

"Ih kamu yang bodoh!" Anak itu memajukan bibirnya, "maksud aku tuh kan kamu kan lagi ngenalin diri kamu, kok bawa-bawa kakak kamu?"

Seno mulai merengut, "Ya suka-suka Seno, lah! Kok kamu protes?"

"Aku gak protes, tapi kan tadi Bu Guru nyuruhnya nyebutin nama kita! Misalnya aku ya, aku Radhit!" Anak itu—yang ternyata bernama Radhit—malah balik berargumen. Mendengar itu, Seno malah menjawab dengan tajam.

"Aku gak tanya nama kamu, tuh?"

"Ya 'kan aku kasih tau! Aku tuh lagi nyontohin ke kamu!"

"Aku gak minta dicontohin!"

Waktu itu, kalau Bu Guru tidak turun tangan untuk melerai, bisa dipastikan baik Seno maupun Radhit tidak akan mau mengalah. Tapi, entah bagaimana detailnya, yang jelas sejak saat itu Radhit menjadi teman dekat Seno satu-satunya. Kalau mengingat hari itu, sebenarnya Seno bersyukur juga. Sebab kalau tidak ada Radhit, bisa dipastikan Seno tidak akan memiliki teman sedekat itu.

"Ngelamun mulu anjir, sampe kesurupan gua ketawain aja."

Seno mengangkat pandangannya dari ponsel, mengalihkan netranya pada sosok remaja dengan tinggi badan melebihi anak-anak seumurannya. Surainya berwarna kecoklatan, dengan gaya rambut berantakan dan dengan kemeja seragam yang tidak dikancingkan. Sebenarnya itu wajar saja, yang tidak wajar itu justru kaus hitam yang dia jadikan dalaman.

Kaus itu bertuliskan Anak Kesayangan Mama dan Papa. #AnakJakartaKece.

Banyak murid yang sudah menertawakan hal itu, tapi yang ditertawakan justru tak acuh, membuat Seno risih sendiri. Maka Seno sekali lagi melirik penampilan Radhit, sebelum secara otomatis mendelik. Tanpa mengatakan apapun Seno menarik kerah seragam Radhit, membuatnya mau tak mau ikut tertarik.

"Ett Sen, gua tau kok gua ganteng tapi gua belum belok, tapi karena lu temen gua ada kemungkinan—IYA ANJING BERCANDA—OHOK OHOK—UDAH WOE KECEKEK INI!"

Seno mendengus, "gak usah sok keren, lu tuh kodratnya jadi preman tanah abang, kalau enggak mentok-mentok ya jadi badut ancol."

"Badut oppo diem," cibir Radhit balik.

"Lagian ngapain pake kaos gituan sih," Seno menggeleng tak habis pikir, "elu yang make gua yang malu ya, mampang!"

"Yang penting mata gua gak minimalis," komentar Radhit sembari membuka kancing kerahnya. Iya, tadi Seno sengaja mengancingkan semua kancing Radhit sampai atas. Dalam hati Seno mencibir, mampus, makanya jangan kebanyakan gaya!

"Sen."

"Apaan?"

"Besok ke gereja sama gua yok?"

"Gak ah," Seno kembali menatap ponselnya, "udah pernah."

"Goblok."

"Iya, elu."

Radhit berdecak, kesal sendiri. Dia baru saja akan menarik dasi Seno sampai anak itu sesak nafas saat dia tiba-tiba mengingat sesuatu. Netranya otomatis menyendu, menatap Seno sekilas sebelum menarik nafas dalam-dalam.

"Dengan sikap lo yang kayak gini gak ngejamin Papa lo bakal berubah pikiran." Radhit menghela, menimang sebelum berkata, "cuma karena lo memberontak bukan berarti secara ajaib Kak Genta bisa balik kesini, Sen."

Seno membatu sejenak, jemarinya memutar-mutar benda pipih yang sedari tadi ia pegang, kemudian menatap Radhit.

"Gua tau, Dhit," Seno mengulas senyum pahit, "gua tau."

Short story | Local fanfiction
©2020, mengukirhujan.

i r o n i Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang