1. Miskin

9K 553 20
                                    


Hari masih gelap, bintang masih terlihat di langit. Kebanyakan manusia masih bergelung di kasur namun tidak bagi Wati dan keluarganya. Di sebuah rumah yang sangat sederhana saat semua orang masih tertidur, Wati dan ibunya telah sibuk di dapur.

"Aduk adonannya yang rata!"

"Iya, Mak."

Wati mengaduk dua buah baskom yang berisi dua adonan berbeda. Yang satu tepung untuk menggoreng pisang dan satu lagi untuk membuat tahu isi.

Emak menyalakan 2 tungku api yang berbahan bakar kayu, sesekali ia meniup tungkunya dengan perantaraan bambu agar apinya merata.

"Kalo adonannya udah rata, kupas pisang!"

"Iya, Mak."

Tidak ada pilihan lain bagi Wati kecuali menuruti perintah ibunya. Ini adalah aktivitas sehari-hari sebelum ia berangkat ke sekolah, saat teman-teman seusianya masih tidur ia sudah bermandi peluh.

Dua adonan yang sudah diaduknya kini berpindah tangan. Emak siap menggoreng pisang dan tahu isi. Tanpa diperintah, Wati mengambil baskom berisi wortel, toge dan daun bawang. Tangan terampilnya memotong wortel menjadi potongan sebesar korek api.

Wati dan ibunya asik di dapur sampai adzan subuh menyadarkan mereka. Tidak ada jam dinding di dapur sederhana itu.

"Kalo udah selesai bangunin adek kamu, suruh mandi dan bersiap ke sekolah!"

"Iya, Mak."

Perintah-perintah Emak sudah Wati hapal karena setiap pagi di dengarnya. Dan ia selalu menjawab 'iya' pada perintah ibunya.

Wati berdiri meninggalkan emaknya di dapur yang berlantaikan tanah. Ia masuk ke kamar adiknya yang masih terlelap.

Tetes-tetes air pada ember di kamar itu menimbulkan bunyi yang khas. Hujan masih juga belum reda sejak tengah malam tadi. Untunglah hujan tidak terlalu lebat hingga air yang menetes dari atap tidak terlalu deras.

"Dek, bangun!"

"Euh...." siswa kelas 4 SD itu melenguh.

"Mandi, sholat subuh terus sekolah!" Wati mengguncangkan tubuh adiknya.

"Iya...." Adi menjawab sambil membuka matanya perlahan.

Melihat adiknya sudah bangun, Wati pergi menuju kamar mandi untuk mandi. Ia juga harus bersiap ke sekolah.

Setelah sholat subuh, Wati bersiap ke sekolah. Seragam putih abu-abunya telah dipakai dengan rapi, rambut hitam sebahu telah ia sisir dan mengepangnya.

Wati membawa ranselnya ke dapur untuk diisi nasi uduk yang telah dibungkus oleh emak. Isi ransel Wati bukan hanya buku pelajaran tetapi juga nasi uduk yang akan ia jajakan kepada teman-temannya.

Wati memasukkan sepuluh bungkus nasi uduk ke dalam plastik keresek lalu manatanya di dalam ransel. Di samping nasi uduk Emak telah menyiapkan wadah berwarna hijau yang penuh dengan berbagai gorengan yang juga akan ia bawa ke sekolah.

"Mak, Wati berangkat!" Wati mencium punggung tangan ibunya.

Wati berjalan keluar rumah melewati kamar ibunya, di sana ayahnya masih tertidur. Dini hari tadi ayahnya baru kembali dari kota.

Untunglah hujan sudah reda hingga ia tidak perlu memakai payungnya yang sudah sedikit rusak. Ia hanya perlu memghindari jalanan yang becek agar sepatunya tidak kotor.

Wati berjalan kaki menuju ke sekolah, biasanya sekitar 30 menit ia sudah sampai di sekolah.

Pagi hari lalu lintas mulai padat, kendaraan berlalu lalang dengan bebasnya. Wati berjalan di pinggir trotoar. Tangan kanannya menenteng wadah berisi gorengan.

Tiit!
Sebuah klakson panjang berbunyi di belakang Wati. Ia menoleh namun dalam sepersekian detik motor yang mengklakson tadi menyenggol tubuhnya.

Bruk!
Wati terjatuh duduk di trotoar, roknya kotor dan sedikit basah. Ia bersedih tapi bukan karena roknya yang kotor melainkan wadah gorengannya yang masuk ke dalam selokan.

"Naik motor ugal-ugalan!" teriak seorang ibu yang melihat Wati terjatuh.

"Kamu gak pa-pa, Dek?" Seorang pria tua sesama pejalan kaki membantu Wati berdiri.

"Gorengan saya-"

"Udah basah semua kecebur di selokan."

"Bisa tolong ambilin wadahnya, Pak?" Wati meminta tolong pria tua yang membantunya. Ia sedikit kesulitan karena rasa sakit di bagian belakang tubuhnya.

Ya Allah, abis semua gorenganku

Ingin rasanya Wati menangis, hasil gorengan dan nasi uduk itulah yang membiayai hidupnya sehari-hari. Tinggal tersisa nasi uduk di ranselnya, gorengan sudah tidak mungkin diselamatkan namun wadahnya masih bisa. Paling tidak ibunya tak perlu membeli wadah baru untuk berjualan besok.

Sampai di sekolah, Wati langsung menuju ke toilet untuk mencuci wadah gorengan dan membersihkan roknya.

Bel berbunyi, Wati menyudahi kegiatan mencucinya. Wadah gorengannya sudah lumayan bersih dan tidak berbau. Pulang sekolah nanti ia akan mencucinya lagi.

Wati berusaha memfokuskan dirinya saat belajar walau pinggang dan pantatnya masih terasa sakit akibat jatuh tadi. Wati bukanlah siswa cerdas di sekolah tetapi ia termasuk yang paling rajin diantara teman-temannya.

Bel istirahat berbunyi, ini waktunya Wati berjualan. Setelah guru meninggalkan kelas, Wati menaruh nasi uduknya di atas meja. Teman-teman di sekolahnya tahu Wati berjualan maka saat jam istirahat mereka datang untuk membeli.

"Kok gak ada gorengan?" Siswa berambut cepak berkata pada Wati.

"Iya, mana tahu isinya?" Temannya menanyakan hal serupa.

"Gak bawa gorengan hari ini, cuma bawa nasi uduk." ucap Wati sedih.

"Yaaa..." merekapun meninggalkan Wati.

Dua orang siswi mendekati meja Wati, keduanya memakai rok yang sedikit lebih pendek dari pada siswi lain. Aksesoris berupa cincin dan gelang menghiasi tangan mereka.

"Wati, nasi uduknya 2!"

"Ini!"

"Berapa?"

"Sepuluh ribu,"

Gadis berambut pendek yang membeli nasi uduk Wati merogoh saku bajunya. Selembar uang berwarna hijau ia keluarkan.

"Nih!"

"Gak ada kembaliannya,"

"Gak usah dibalikin deh, gue juga gak punya receh."

"Makasih."

Wati bahagia sekali, 2 bungkus nasi uduknya dibayar 2x lipat.

Mereka lalu duduk tidak jauh dari Wati. Menikmati nasi uduk sambil berbincang. Wati mengamati mereka.

"Sepatu baru?"

"Iya, lumayan. Gak mahal kok."

"Beli berapa?"

"Lima ratus ribu."

Mendengar sepatu berharga lima ratus ribu, Wati memperhatikan sepatu temannya lalu melihat sepatunya sendiri. Sepatunya dan sepatu temannya bagai langit dan bumi. Sepatu yang dipakainya sudah pudar, sejak SMP ia memakainya. Dulu emak membeli sepatu itu seharga seratus ribu dan ukuran yang lebih besar dari kaki Wati saat itu dan saat ini sepatu itu sudah mulai menyempit.

Andai aku seperti mereka

Wati merasa iri, hidupnya yang miskin membuatnya tak bisa menikmati masa-masa SMA yang menurut orang-orang begitu indah dan tak terlupakan.

Struggle For LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang