Tanaya

55 9 8
                                    

- Dua Puluh Empat Dua -
- Tanaya -


"Pasti ada. Lupain!"

Malam itu kembali kelabu. Ditemani langit yang tak lagi biru, seorang gadis duduk termangu. Pandangannya menerawang jauh ke masa itu. Masa di mana ia menyesal terlahir cerdas ke dunia. Mudah mengingat dan sulit melupakan.

Sudah bertahun-tahun berlalu tapi rasanya masih selucu itu. Pena dan kertas menjadi teman malamnya semenjak itu. Ia tidak tahu apa yang ada di depan sana. Tapi apa pun itu, semua sudah berbeda. Langkahnya tidak lagi seringan kemarin. Kemarin ... ia masih mengkhayal akhir bahagia, seperti buku-buku dongeng yang ia baca. Namun kini, saat sudah berbeda, tidak ada yang lebih ia harap dari sebuah keajaiban. Terdengar mustahil memang, tapi bukankah cinta memang seperti itu? Berharap itu teman terbaiknya. Teman terbaik cinta.

"Tamaraaa ... tutup jendelanyaaa!"

Gadis itu mengerjap. Seruan lantang dari luar kamar membubarkan acara nostalgianya. Pena sudah tergeletak di atas kertas putih miliknya.

"Iya, Maaa ...," balasnya berteriak. Bangkit dengan niatan menutup jendela harus tertunda ketika pintu kamarnya terbuka.

Tanpa menoleh ia memprotes ibunya yang tidak sabaran. "Ya ampun, Mamaaa ... ini aku bangun, Ma. Ten--"

"Mama kamu percaya kok, Tanaya."

Seseorang memotong ucapannya. Tamara terpaku. Tubuhnya berdiri kaku. Selain familier dengan suara itu, panggilan dari sosok itu juga mengacaukan kinerja pembuluh darahnya.

Tanaya ...

Tiba-tiba ia seperti terlempar jauh ke masa lalu. Suara bocah laki-laki mengisi kepalanya.

"Tanaya jelek! Tapi Robith suka!"

"Tanaya cantik kok, jangan sedih lagi, ya ...."

Lalu suara itu transformasi menjadi suara bariton khas lelaki dewasa.

"Jangan nangis, oke? Aku janji setelah ini kita bakal bahagia bareng-bareng. Sampai saat aku datang, jaga apa yang aku kasih ke kamu. Nanti, kalau waktunya tiba, aku bakal ambil bahagia itu. Bareng-bareng sama kamu."

"Sama kamu."

"Sama kamu."

Sial! Sial! Sial!

Tamara belum terbiasa. Gadis itu masih cukup trauma. Setiap mendengar suara itu, dirinya seperti terlempar jauh ke masa-masa yang membuat ia sempat menunggu. Sempat. Karena sekarang, dirinya sudah terbebas dari kebodohan itu.

"Tanaya? Diem aja sih?! Ini aku dateng malem-malem demi kamu, loh." Sosok itu mendekat dan secara refleks Tamara balik badan sambil melangkah mundur. Sosok itu berhenti dengan melempar tatapan miris.

"Dulu ... jangankan aku ngedeket gini, aku diem aja ... kamu pasti langsung nyamperin aku, Tan."

"Iya itu dulu. Syukur deh kamu inget."

Sosok itu mendecak. "Ck. Kamu mau sampai kapan kayak gitu? Ini udah empat tahun, Tamaraaa ...."

"Bagus kamu tau namaku. Dan itu bukan tanaya-tanaya apalah itu. Kukira kamu lupa namaku tadi," sahut Tamara acuh tak acuh.

Tidak mau terlalu peduli. Sudah cukup merasakan jatuh dan patah sendiri, tentu saja tidak rela ia jika hatinya tergores untuk yang ke-sekian kali. Nyatanya saat itu tak ada tangan yang menariknya. Napas buatan yang selalu ia harapkan seperti tenggelam bersamaan dengan segala kenangan.

***

Dua Puluh Empat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang