Tamara

52 7 8
                                    

- Dua Puluh Empat Dua -
- Tamara -


Dua puluh empat tahun lalu, di bawah pohon rindang sekolah kanak-kanak itu, duduk dua anak manusia. Hanya berdua. Menertawakan hal yang sebenarnya tidak lucu. Hanya saja, ketika itu dunianya baru mengenal dunia baru. Merasakan keseruan dalam desakan rasa ingin terus bertemu. Hangat yang menyengat kala lapisan terluar kulit bersentuhan. Begitu mendebarkan sekaligus menyenangkan. Tapi, itu dua puluh empat tahun yang lalu.

Semua berbeda saat empat tahun lalu, senyum yang sama tersungging lebar kepadanya. Memang itu yang Tamara mau. Seharusnya begitu. Tetapi anehnya, hatinya menjerit pilu melihat segala yang terjadi di luar bayang-bayangnya selama ini. Dia sadar mulai saat itu. Nyatanya Cupid tak melulu berpihak pada yang jatuh lebih dulu. Terkungkung di kebisuan tanpa ujung, kadang menghasil penat. Naif sekali selama ini ia berhipotesis sendiri. Mencipta skenario yang begitu lugu. Saking asyiknya menjadi pihak yang begitu mencintai, ia sampai lupa menanyakan, Apa ia juga dicintai? Atau ini hanya ilusi buatannya sendiri?

Orang bilang, cinta pertama itu mengasyikkan. Dirinya percaya tentu saja. Manut saat dituntun begini dan begitu. Tapi kini logikanya berteriak. Kata 'bodoh' seakan akrab di otaknya. Terngiang tatkala kenangan-kenangan itu menyapu. Sebab hidup itu seimbang di dua sisi--terang dan gelap--untuk menentukan siapa pemenangnya. Ada bahagia berarti menunggu luka, dan luka, pasti mendapat bahagianya. Tamara agak menyangkal pernyataan itu. Yang ia tahu, bahagia tak kunjung datang meski luka sudah membentang di bagian terdalamnya.

"Kenapa harus begini, Tamara? Gimana aku harus bilang ini ke kamu?! Kita sahabatan dari masih pipis di celana. Kenapa aku yang jadi akhir dan awal kamu? Kenapa setelah yang kita lewati sama-sama, kamu ternyata nyimpen hal sebesar itu? Seharusnya ... aku ... m-maksudku, kamu, emm ... kita kan selama ini ... apa kamu ... argh! Mi dispiace ...."

Tamara tersenyum miring. "Kadangkala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit sekali, padahal jawabannya sederhana saja," Tamara berkedip sekali bersamaan luruhnya pertahanan dirinya melalui setetes butiran bening dari ujung matanya. "Karena aku memilih kamu," lanjutnya dengan getar yang begitu kentara pada kalimatnya.

Muncul satu sosok lagi dari pintu kamarnya. Ia melirik sosok itu sekilas. "Dan kamu memilih dia. Kamu udah berhenti sejak lama. Jadi sekarang ... aku yang coba berhenti. Besok jangan ada yang nganter aku! Kamu ataupun ponakanku, nggak aku terima di sana. Aku cuma pengen pergi tenang," papar Tamara dengan suara yang kembali stabil. Perempuan yang baru hadir tadi merangsek maju merengkuh tubuh semampai Tamara. Isak tangis mereka pecah saat itu juga. Dalam hati, mereka sama-sama menyesali apa yang sudah terjadi. Sedu-sedan seolah berlomba dalam ruangan itu. Tamara mengelus surai panjang perempuan dalam dekapnya. Terdengar rengek samar dari perempuan itu. "Maafin aku, Mbak."

"Mbak udah ikhlas, mungkin akan ... tapi mbak nggak benci kamu. Sama hal-nya kayak aku nggak benci ponakan-ponakanku, aku juga nggak pernah benci kamu. Cuma, sekarang ... aku mau berusaha nggak benci suamimu itu. Jangan nangis, oke? Selama empat tahun ini aku udah bertahan buat kalian, jadi ... sekarang aku minta balasan aku selama empat tahun bantu kalian. Ikhlasin aku pergi, ya?"

Perempuan dalam dekapnya meronta. Peluk mereka terlepas. Perempuan itu menggeleng keras. "Aku kira Mbak udah ikhlas. Selama ini Mbak tegar-tegar aja!"

"Hei," Tamara mencubit dagu perempuan itu. "Dibalik raga yang tegar, ada hati yang ambyar," selorohnya kemudian berharap mencairkan suasana. Tapi tidak ada yang tertawa. Helaan napas Tamara bahkan terdengar jelas saking sunyinya.

"Aku mau istirahat. Kalian bisa keluar? Besok aku temui anak-anak kamu dulu, deh. Biar mereka nggak nyariin tantenya nanti." Tamara berbalik menghadap jendela lagi. Tangannya sudah terulur hendak menutup jendela. Namun begitu suara pintu tertutup menyambangi telinganya, tangan itu ia turunkan kembali. Memilih mengamati tetes-tetes hujan yang ternyata masih menetes sejak tadi. Ia sampai bingung, sebenarnya yang menetes itu di pipinya ... atau di luar sana?

Netranya menangkap sosok mungil di bawah payung merah muda bersama sosok lelaki yang merangkul bahu sosok mungil itu erat. Tamara menatapnya lama. Ia ingat, beberapa tahun lalu, Robith datang mengenalkan perempuan itu padanya. Dan saat pria itu pergi beberapa bulan setelahnya, ia salah menduga. Tamara pikir pria itu menyuruhnya menjaga hati untuk kemudian bahagia bersama.

Tapi salah.

Yang di maksud adalah sosok mungil itu. Sosok yang dikenalkan padanya bernama 'Selena'. Dua puluh tahun ternyata kalah dengan pertemuan cinta SMA. Seharusnya saat itu ia juga memanfaatkan waktu mencari tambatan hati yang baru. Jika iya, pasti sekarang ia sudah berumah tangga mengingat umurnya yang lebih dari cukup untuk menikah.

Tamara tertawa lirih. Dunia jahat sekali padanya. Tidak ada yang benar-benar berpihak padanya. Terlalu polos dulu ia mempercayai semesta yang menjadi saksi bisu cinta pertamanya. Nama yang selalu ia terbangkan bersama burung-burung senja, pada akhirnya memilih tempat berlabuhnya sendiri. Keputusannya kali ini semoga tidak salah. Pergi membawa sisa-sisa ini sendiri, berharap kelak akan ia temukan cinta yang baru. Yang akan menjadi tempat terakhirnya berlabuh.

Aku percaya, suatu saat cinta ini pasti akan jadi 'masa lalu'. Saat aku bertemu dengan seseorang yang meskipun tampak mustahil bagiku kini. Sebab hatiku, belum pulih seutuhnya. Pandanganku berubah. Jatuh cinta adalah hal konyol yang pernah aku lakukan. Tidak semua cinta berakhir indah. Realita saja, kadangkala takdir suka bermain cantik.

Aku berhenti. Segala tetek-bengek percintaan itu memuakkan. Please ... jangan mau dibodohi cinta. Berkhianat bisa jadi hal lumrah dalam cinta.

Dua puluh empat Dua. Dua puluh empat tahun lalu kami hanya berdua. Saat ini, ia tetap berdua tentu saja. Tapi dengan pilihannya. Sedangkan aku hanya bisa menatap dari sudut sini sendiri, sambil mengumpul serpih-serpih bekas kemarin.

Tamara terkekeh. Dasar Cupid sialan!

END

Dua Puluh Empat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang