Vespa Putih

8 0 0
                                    

"Pertamax dua puluh ribu, ya," ujarku sambil memberikan pecahan uang dua puluh ribu rupiah kepada karyawan SPBU yang mengenakan pakaian serba merah itu. Aku kembali melanjutkan perjalananku. Menggunakan vespa putih yang kini putihnya sudah agak usang. Usia motor ini sudah empat tahun, namun mesinnya masih bekerja sangat baik. Hanya beberapa baretan kecil saja di bagian depan dan samping. Sangat banyak cerita yang kualami bersama motor ini.

Empat tahun yang lalu, aku masih ingat tanggalnya, 30 Juni 2015, hari dimana usiaku tepat tujuh belas tahun. Ayah memberikan motor ini sebagai hadiah ulang tahunku. Vespa putih yang memang sudah lama kuinginkan. Ayahku yang tegas, tak banyak bicara, namun selalu perhatian. Khususnya masalah uang jajan. Untuk melengkapinya, ibu memberikan helm bogo hijau yang kurasa sangat cocok dengan motorku ini. Ibu yang masakannya terenak sedunia, menurutku. Aku selalu rindu masakannya.

Ah, jalanan kota Bandung kini sudah semakin macet, sampai menjadi juaranya di Indonesia. Khususnya di akhir pekan ini, selain kendaraan berplat D, banyak pula kendaraan berplat B yang memadati ruas jalan kota Bandung. Sebenarnya bagus, wisata dan kuliner kota Bandung sudah semakin dikenal dan digemari, semenjak walikota membenahi tata ruang dan fasilitas kota ini. Namun, seperti inilah dampak lainnya, kemacetan dimana-mana. Baru maju sedikit, sudah berhenti. Menyalip pun sulit saking padatnya kendaraan roda empat.

Kemacetan ini membuat lamunanku mengingatkan pada sebuah memori. Ketika itu, baru beberapa bulan aku menggunakan motor ini. Seperti anak SMA pada umumnya, aku gemar berkeliling kota naik sepeda motor bersama teman-teman. Tujuannya tidak menentu, kadang ke arah Lembang, kadang Dago. Hanya untuk berhenti sebentar di warung, memesan semangkuk mie instan kuah dan segelas kopi sachet. Menunya tak penting, karena yang selalu seru adalah obrolannya. Dari bicara tentang kejadian-kejadian di sekolah, adik kelas yang cantik, sampai pembicaraan absurd yang... Ah, sudahlah. Kini, sulit bertemu dengan teman nongkrongku dulu. Melalui obrolan di media sosial, sering kami merencanakan untuk kumpul kembali. Namun hanya berujung pada wacana belaka. Tidak bisa disalahkan, mungkin mereka sibuk kuliah, bekerja, ada juga yang di luar kota. Sangat rindu berkumpul kembali dengan mereka. Mengulang memori tiga sampai empat tahun yang lalu, nongkrong di warung seberang pom bensin Lembang sampai lupa waktu. Dan harus kembali pulang setelah beberapa kali ditelepon ibuku, lalu ketika sampai rumah lanjut diomeli. Aku jadi kembali rindu ibuku.

Lampu merah sudah menjadi hijau, kini aku kebagian melewati lampu stopan yang penuh sesak tadi, lalu berbelok memintas jalan. Di perjalanan, ada beberapa genangan air sisa hujan tadi pagi, kini cuacanya mendung, tak hujan tapi tak panas. Sangat nyaman dan sejuk. Jalanan pun tidak semacet tadi, pohon besar di kiri kanan jalan membuat aku enggan untuk kembali lagi ke jalan utama yang macet. Aku berhenti sebentar ke toko bunga di jalan ini. "Bu, saya minta bunga mawar lima tangkai, ya," ujarku kepada ibu pemilik toko bunga ini. Toko bunga yang masih sama seperti dua tahun lalu, hanya kini dindingnya sedikit berbeda, sepertinya baru dicat.

Dua tahun yang lalu, masih menggunakan vespa putih ini, aku ingat ceritanya. Saat itu pulang sekolah, tak seperti biasanya, aku tak langsung pulang atau pergi main bersama teman-temanku. Ada alasan tentunya. Aku sedang menunggu seseorang. Ya, dia yang saat bersamanya, dunia seperti film drama romantis, bumi berhenti berputar sejenak. Pertama kali aku mengenalnya di kantin sekolah, aku melihatnya dan aku tertarik. Kemudian aku membelikan jus alpukat di kantin, dan memberikan kepadanya. Lucu memang percintaan di masa SMA. Hari itu, aku sengaja tak pergi kemana-mana, menunggu perempuan itu lewat. Kemudian menawarkannya untuk aku antar pulang. Kubilang rumahku dan dia searah. Padahal aku tak tahu dimana rumahnya. 

Beberapa minggu kemudian, aku semakin dekat dengannya. Dan di hari ulang tahunnya, aku membelikan bunga mawar, persis di toko ini, yang melayaninya pun masih ibu yang sama. Aku membelikannya bunga mawar karena kata ibuku bunga mawar itu sangat romantis. Bunga mawar adalah sebuah simbol ikatan pribadi dan hubungan antara dua orang yang istimewa. Ah, aku jadi rindu perempuan itu. Saat ini aku tak tahu dia sedang apa dan berada dimana. Mungkin juga sudah bersama dengan pria lain. Tapi, aku masih lebih rindu pada ibuku.

"Ini dek bunganya, jadi lima puluh ribu," ucapan ibu penjual bunga itu membuyarkan memoriku. Lalu aku mengambil uang lima puluh ribu rupiah dari dompetku, memberikan uang itu kepada si ibu, kemudian melanjutkan perjalananku. Tujuanku sudah tidak terlalu jauh dari sini, beberapa belokan lagi aku sampai. Namun, aku tidak suka dengan jalan ini. Ada sebuah memori, masih bersama motor ini. Tapi sulit untuk menceritakannya. Maaf, aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Masih sangat sulit bagiku.

Aku sudah sampai, memarkirkan motorku, lalu mengambil kresek hitam berisi bunga mawar tadi. Aku berjalan menyusuri jalan setapak dan turun sedikit menapaki tangga batu. Setiap langkah mengingatkanku pada memori setahun yang lalu. Memori pahit yang membuat duniaku berhenti sekejap. Bukan tentang cinta. Entah kaget, sedih, kecewa, marah.. Ah, tak ada kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Sekarang aku akan bercerita, memori setahun yang lalu. 

Ketika aku sedang menuju kampus menggunakan vespa putihku. Hari pertama aku kuliah di ITB, tempat yang sangat ibuku impikan untukku agar dapat kuliah disana. Masih seperti mimpi bagiku, dapat diterima di universitas yang menjadi rebutan seluruh siswa SMA setiap tahunnya. Dan ini tentunya membanggakan ibuku. Namun rasa bangga itu menjadi setengah, ketika aku mendapat telepon dari ayahku yang memberikan kabar, kalau ibuku... meninggal dunia. Ibu terkena penyakit jantung di rumah ketika sedang memasak. Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Ya, hanya diam. Duniaku kosong sejenak, ibu yang sangat kusayangi. Soto ayam buatannya yang sangat kusukai, omelannya ketika aku pulang terlalu larut, semua berantakan dalam kepalaku. Ia telah tiada.

Aku sudah benar-benar sampai, di depan sebuah nisan, bertuliskan nama almarhumah ibuku. Gerimis turun sedikit. Aku meletakan bunga mawar yang kubawa di atas makam ibuku. Lalu sambil tersenyum aku berkata, "Selamat ulang tahun, Ibu."

Vespa PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang