Wawancara

16 7 0
                                    

Suara kenek mini bus saat berteriak "Cikokol, Cikokol!" membuat seorang cewek terperanjat kaget—bahkan novel yang tengah dibaca nyaris jatuh dari tangannya. Dia melirik ke belakang, menatap sebal ke kenek pria paruh baya yang masih berkoar-koar di sampingnya—dekat pintu bus. Kalau saja masih ada sisa bangku di depan, mungkin bangku baris tiga tepat di depan pintu belakang ini tidak mungkin dipilihnya.

"Heisshh, ganggu orang lagi baca aja!" gumam Yana, lalu melanjutkan kegiatan membaca bukunya.

Baru saja membaca satu baris, hape di dalam saku kemeja putihnya berdering nyaring. Yana melirik nama di layar LCD hape sambil bergumam, "Rika."

"Ya-Ya, nanti jadi kan mampir ke kampus gue?" tanya Rika asal ceplos.

"Ah...iya, iya, jadi, Rik. Tapi kayanya nggak bakal tepat waktu ke sananya, soalnya ada interview nih di—"

"WHAT! LO DAPAT INTERVIEW KERJA? LO BENERAN BAKAL KERJA, YA?" Suara Rika bahkan sama nyaringnya dengan kenek, membuat Yana menjauhi hape dari telinga.

"Iya, makanya doain ya, Rik. Moga aja gue diterima, udah enam bulan nganggur nih, nggak enak tahu nggak punya duit."

"Always, my Ya-Ya. Doa ibu selalu menyertaimu nak, hehehe."

"Oke, sampai ketemu nanti siang ya!"

Yana menyimpan kembali hapenya ke dalam saku kemeja begitu selesai menelpon. Ia melirik jam tangan warna hitam di tangan kiri. Pukul 8:25 pagi. Sampai sekarang mini bus bercat kuning itu masih duduk manis seperti sopir bus yang malah asyik ngopi sama para pengamen jalanan di emperan toko. Keadaan di dalam bus bahkan sudah hampir penuh.

Kalau ia telat wawancara, maka orang yang patut disalahkan adalah si kenek dan sopir mini bus. Ayolah, kenapa nggak berangkat aja sih!

Di luar bus, si kenek masih sibuk mencari para penumpang yang berlalu lalang di jalanan. Dua meter di belakang kenek, sebuah mobil jenis Ferrari merah berhenti—tentu saja menarik semua perhatian orang-orang di sana termasuk si kenek dan tiga siswi SMA yang asyik duduk di halte, berharap pemilik mobil keren itu adalah cowok keren. Jarang-jarang di kota kecil ini ada mobil keren.

Sesuai harapan mereka, seorang cowok berwajah bule dengan rambut agak pirang—sebagiannya coklat terang—dan memiliki kulit seperti kebanyakan bule Amerika keluar dari mobil. Setelan kemeja biru langit berpolkadot putih nampak seperti eksekutif muda. Bule itu berjalan ke depan mobil lalu membuka kap mobil yang langsung menyembur kepulan asap. Tentu saja tiga siswi SMA langsung lirik dan bergosip. Namun, semuanya terdiam ketika mendengar ucapan bule itu saat sedang menelpon.

"Mas, iki mobilku rusak menéh lho...aku wes telat mo kerjo, piye iki? Yo wes, sampean meréné wae...bawa mobilku ke bengkel... sék ta' tunggu yo." Si bule menyudahi perbincangannya di telepon tanpa tahu semua orang di sekitarnya terheran-heran mendengar ucapannya. Bahkan tiga siswi SMA itu nyaris terpingkal-pingkal.

Tak memakan waktu lama datang seorang bapak yang disebut pak supir oleh si bule. Lalu si Bule meninggalkan mobilnya pada si supir kemudian berjalan ke arah mini bus. Dia berdiri di depan pintu sambil kepalanya melongok ke dalam, terselip keraguan untuk masuk ke dalam bus.

Namun dia sedang diburu oleh waktu karena terus melirik jam tangannya. Mau tidak mau harus masuk ke dalam mini bus bobrok itu dibandingkan telat untuk bekerja. Lalu dia memilih duduk di samping seorang cewek yang sedang membaca tepat saat bus mulai melaju perlahan.

Selama perjalanan penghuni kendaraan bobrok itu terlihat senyap. Hanya segelintir orang yang asyik mengobrol. Sementara Yana memilih mendengarkan musik dari hapenya, berjudul Bird Looking For Bliss melalui earphone. Alunan merdunya membuat kedua mata Yana terasa berat. Sepintas kemudian ia mengalihkan matanya ke kursi depan di mana ada seorang ibu yang tertidur dan dua anak bocah berseragam kembar tengah berdiri di atas bangku. Mereka menatap pemandangan dari balik kaca. Wajah mereka seratus persen sulit dibedakan. Benar – benar sama.

Diary Si Kembar: Cerita YanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang