Bernafas Tanpa Udara

16 1 0
                                    

Ada apa ini ? bukankah udara di bumi ini masih begitu mudah untuk di sedot? eh lebih tepatnya di hirup. Kalau disedot lebih cocok digunakan untuk segelas cendol manis yang tenggelam dibalik santan bercampur dengan manisnya gula aren. Sungguh menggoda dahaga dikala haus. Apa-apaan ini, kenapa tiba-tiba pindah topik menuju cendol. Ah!! lupakan tentang cendol. Mari kita menuju udara jahat yang tak memberiku tempat untuk bernafas.
***
Siang itu setelah menatap birunya langit, kepalaku kembali menunduk menuju botol minum yang berada di genggaman. Menghisap setiap cairan manis rasa jeruk bersama bulir-bulirnya. Pohon besar di tepi jalan menjadi pelindungku dari beringasnya Sang mentari. Sesekali aku melihat perpindahan jarum jam di pergelangan tangan. Sedikit risau, karena sudah lebih dari satu jam aku menanti kedatangan Mamang travel jemputanku. Ya, begitulah mayoritas penduduk di negara ini. Yang berpegang teguh pada kata ”waktu bukanlah segalanya”. Amat sering hal ini terulang. Bahkan sudah mendarah daging bagi sebagian umat di bumi pertiwi ini.
Setelah beberapa waktu aku bergerutu, akhirnya travel jemputanku tiba. Sopir itu bergegas menyusun barang-barang yang aku bawa di bagasi belakang. Roda semakin berputar melewati meter demi meter aspal hitam dan semakin menjauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Alunan musik radio menyuguhkan lagu-lagu hits jaman now, semakin manyamankan ku dalam perjalanan. Sesekali bibirku bernyanyi mengikuti musiknya.

Setelah lima jam perjalanan kini aku memasuki kawasan Belitang. Hamparan sawah yang hijau dan rapinya ruas-ruas pepohonan karet yang tertanam ditepi jalan, menyapaku bersama cahaya jingga yang arogan. Mobil travel yang aku naiki berhenti di depan rumah tua berdinding papan yang sudah lapuk. Satu persatu penghuni rumah tua itu menampakkan diri. Ya, mereka adalah keluargaku. Di gubuk tua itulah aku tinggal bersama kesederhanaan dan kasih sayang. Rasa lega dan rindu bercampur menjadi satu. Bahagia rasanya dapat melihat senyum yang terpancar dari wajah mereka.

“Capek Yuk?” tanya Mamak dengan ekspresi iba sambil merangkul dan menciumku
“idak lah Mak, cuman dari Palembang ke Belitang kok”. Aku tersenyum menutupi rasa lelah sembari melangkah memasuki gubuk lapuk yang telah aku tempati selama 20 tahun.

Tak ada yang berubah selama beberapa bulan ini. Hanya saja jaring laba-laba semakin banyak menghiasi pucuk daripada rumahku. Kulihat sosok Bapak terbaring di depan TV yang beralaskan kasur ukuran 2x1 meter. Lelah sekali Bapak sampai tak bisa menyambut kedatanganku kali ini. Aku menghampiri lelaki hebat itu. Kutarik lengan kanan beliau, berniat mencium punggung tangannya. Beliau menoleh ke arahku dengan mata berkaca-kaca dan langsung memeluk erat tubuh mungilku. Ada apa ini? Fikirku. Laki-laki hebatku menjadi lemah dan menangis sejadi-jadinya. Seberat itukah rasa rindu yang dipendam oleh Bapak? Sepertinya rindu itu lebih berat daripada rindunya Dilan kepada Milea.

Aku memandang satu persatu wajah anggota keluargaku, memandang wajah Mamak dan keempat adikku. Mereka berbaris tapi tidak dengan posisi yang tegap. Mereka semua diam dan menunduk, oh Tuhan ada apa dibalik semua ini. Aku harap ini bukan prank. Karna aku tahu Bapak bukanlah seorang pria yang jago bermain peran.

“Bapak ngapo?, ado apo Pak?”, air mataku mengalir seolah mengerti kesedihan yang beliau rasakan.
“Anak kuuu,, untung niku lokok pacak kuliak nak”, Tangis Bapak semakin pecah.

Perlahan kuangkat selimut yang menutupi setengah tubuh Bapak. Tuhan, kali ini mulutku beku. Air mata berlimpah membasahi serabut halus di pipi. Mimpikah aku? adilkah keadaan ini ditikamkan kepada satu-satunya lelaki di keluargaku? apakah Tuhan sedang marah kepada kami? Atau Tuhan sedang jatuh cinta kepada keluarga ini?

“Bapaaaaaaak!!! Aaaaaa Bapak!!!”,  Kupelluk erat tubuh lemah Bapak. Kenapa tidak ada yang memberitahuku tentang ini? Apa salahku?

Pahlawanku kini telah kehilangan kaki kirinya. Kecelakaan parah mengharuskan kaki kiri Bapak untuk diamputasi. Jika tidak, maka infeksi akan semakin menggerogoti tubuhnya. Kemungkinan untuk selamat sangat diragukan. Bapak melarang Mamak untuk memberitahuku karena akan mengganggu konsentrasiku dalam mengerjakan soal ujian akhir. Terbesit di ingatan betapa bahagianya aku ketika kecil ditimang dan dibawa berlarian menuju sawah. Dengan otot-otot kaki yang begitu kuat. Sungguh aku sangat berharap kembali ke masa itu.

Sesak mulai menujahi dada ini. Bahkan udara pun enggan mendekapku dengan hangat. Kali ini aku menjadi wanita pengecut, ya aku pengecut karena lari dari kenyataan yang menyapa. Ah sudahlah bukankah memang cobaan akan datang kepada siapa pun yang bernyawa. Dan kebetulan hari ini aku yang memperoleh undian itu.

***
Semenjak kepiluan di senja itu, kehidupan di rumah sederhana menjadi lebih dramatis. Terkadang aku harus membendung air mata dengan kelopaknya, karena tak kuasa melihat Bapak mengesot dilantai untuk pergi ke kamar mandi dan WC. Kursi roda tidak terjangkau untuk dibeli. Bahkan untuk menutupi rasa lapar setiap harinya Mamak harus berkeliling desa dengan sepeda tua. Menjajakan barang-barang rumah tangga seperti gelas, mangkuk, dan panci. Berat bagiku meninggalkan keluarga ini, namun apa dikata aku harus kembali ke Kota Pempek itu. Aku harus menyelesaikan study S1 di Perguruan Tinggi swasta yang sering disebut-sebut kampus biru.

“Pakaiannyo udah disusun semuo yuk??”, Mamak menghampiriku sembari membawa bungkusan keripik pisang untuk cemilanku beberapa hari dikosan.
“Sudah Mak, tinggal masukkan makanan bae”, Aku mengambil bungkusan keripik tersebut dan memasukkannya ke dalam tas.
“Ayuk tiduklah besok mau bangun subuh, nanti ketinggalan trevel kalau kesiangan”.
“Iyo Mak”, kucepatkan langkah menuju kamar berdinding bambu yang dianyam. Tak mau terlalu banyak obrolan dengan Mamak. Karena aku tahu akhirnya air mata yang akan menutup obrolan ini.

Suara jangkrik menjadi musik intsrumental alami pengantar tidurku. Perlahan aku mulai memasuki alam bawah sadar. Tiba-tiba gelegar halilintar serta tiupan angin membelalakkan kedua mataku. Kraaaak!!!, suara genting bergeser dengan hebatnya. Kulihat Bapak pasrah di bawah atap yang sudah menganga. Sepertinya amarah daripada angin telah menyapu genting rumah kami. Kuangkat Bapak yang dibantu keempat adikku. Sementara mamak sedang sibuk mencari plastik untuk menutupi kaki Bapak. Tuhan bolehkah aku mengeluh? Bisakah aku bernafas dengan tenang?.
Sampai menjelang subuh aku dan Mamak menampung air yang jatuh dari langit. Kaki kananku sudah terbalut kain karena saking semangatnya berlari ke sana kemari dan tak sengaja  menginjak gelas minum milik Bapak. Rasanya tidak sakit kok, lebih sakit lagi dengan perasaanku yang harus menahan tangis melihat Bapak duduk tak berdaya serta keempat adikku yang tertidur  lelah dibalik selimut plastik agar tidak tembus air hujan.
Pagi hari, para tetangga telah berkumpul gotong royong merenofasi atap rumah. Sedangkan aku duduk di tepi jalan menantikan kedatangan Mamang travel. Good bye Belitang Sampai jumpa empat bulan lagi.
***
Dua bulan kemudian...
Disudut kamar ukuran 3x4 meter aku bersandar sembari menulis bait-bait rayuan rinduku kepada Tuhan. Jarum jam menunjukkan pukul 02.00 WIB. Belaian malam mencengkeram belakang leherku. Seperti ada sesuatu yang bergetar. Kuntilanak kah? Genderuwokah? Tuyulkah?. Kupaksakan saraf untuk memberanikan diri melihat kearah getaran itu. Betapa buruknya halusinasiku, getaran itu berasal dari ponsel jadul yang bersembunyi dibalik bantal. Ada apa ini, siapa yang menelefonku dimalam hari. Dilayar tertulis “Bapak is calling...”. Apa yang terjadi? fikirku dalam hati. Prasangka baik dan prasangka buruk mulai bertengkar dalam khayalku.
“ Halo Pak, ado apo bapak nelfon Ayuk?”, sambil menggigit ujung bibir serta raut wajahku yang kusut. Suara lirih terdengar dari sebelah sana.
“Ayuk sehat?, Bapak mimpi Ayuk. Ayuk ninggali Bapak sambil bawak koper besak. Ayuk ngelambaikan tangan samo Bapak. Tiba-tiba Ayuk pegi terus ilang”, dengan suara terbata-bata serta tangisan Bapak berusaha menjelaskan yang beliau alami. Dan entah kenapa tiba-tiba dadaku rasa tercambuk. Seolah ada pertanda dibalik semua ini.
“Ayuk sehat Pak, Ayuk baik-baik Pak. Bapak cuman mimpi, mimpi itu bunga tiduk. Bapak sekarang istirahat lagi yo, efek minum obat Bapak jadi mimpi buruk”.

Setelah mendengar penjelasan itu bapak terdengar lebih tenang. Gantian aku yang merasakan sensasi ketakutan. Takut akan sebuah perpisahan. Akan matikah aku? meninggalkan semua kenangan, meninggalkan orang tua serta keluarga yang aku cintai. Aaaaaaaaaaaaa!! aku menangis tertimpa udara jahat yang menyulitkan paru-paru untuk menjalankan tugasnya.
***

Satu bulan kemudian...

“Fa sub-hanallazi biyadihi malakutu kulli syaiiw wa ilaihi turja’un, shadaqallahul-‘Adzim”, ayat terakhir dari surat Yasin telah menjadi penutup kerapuhanku kali ini.

Jenazah Bapak telah terlentang di hadapanku, Adik-adikku, Ibuku, Nenekku, serta seluruh keluarga besarku. Hari ini rumahku menjadi lautan air mata. Baru tiga hari yang lalu Bapak menelefon memintaku pulang. Karena Bapak sangat merindukanku, dan ternyata Bapak tidak hanya rindu. Bapak ingin dihari kepergiannya Seluruh keluarga telah berkumpul.

Suara terbata-bata dari bibir pucatnya telah teriringi oleh air mata kami. Dari sekian banyak kesedihan yang tikamkan kepadaku, baru kali ini tikaman itu terasa amatlah perih. Bapak telah pergi meninggalkan kami. Meninggalkan semua kebahagiaan yang pernah tergores di Gubuk reot ini. Bapak, laki-laki yang sangat aku cintai telah pergi meninggalkan kami. Bapak, tulang punggung harapan keluarga kami telah menemukan hidup yang baru. Kesedihan yang aku sembunyikan akhirnya benar-benar tumpah di hadapan tulisan ini.
Keempat Adikku menangis di hadapan jenazah Bapak, Ya Tuhan betapa malangnya nasib kami. Mamak terduduk lemas tak bersuara, cairan bening mengucur deras dari ujung kelopak matanya, tidak memedulikan pelukan dari handai taulan yang bersimpati dan kasihan. Aku tak tahu bagaimana kelanjutan hidup kami tanpa Bapak. Dadaku amat sesak, lagi-lagi udara tak mau bersahabat denganku.
Kini tidak ada lagi Pria yang selalu menantikan kepulanganku. Ya Tuhan, bahkan Bapak tidak memiliki kesempatan untuk melihat aku memakai Toga. Menyedihkan, berita kepergian  menjadi sejarah paling buruk dalam hidupku, bukan hanya aku tapi seluruh keluarga besarku.
Tawanya, masih terlihat jelas di hadapanku. Keindahan masa kecil saat bersama Bapak, masih terus tayang di ingatan. Saat Bapak menggendong aku dan menaikkan aku di punggungnya. Bapak yang mengajak aku jalan-jalan sore bersama sepeda ontelnya. Bapak yang mendidik kami menjadi wanita kuat dan tegar. Bapak yang selalu mengajariku tentang sebuah kesederhanaan. Oh Tuhan, harus bagaimana caraku menerima kenyataan ini. 
Tak bisa lagi aku menikmati senyum teguh Bapak, nasehat-nasehat Bapak, bahkan aku tak dapat lagi memeluk tubuh kurusnya. Aaaaaa!!! kalian tidak pernah membayangkan betapa hancurnya hatiku, betapa hilang semua harapan yang selama ini aku gantungkan dan berusaha aku gapai. Aku menjadi mati, aku jatuh, aku terpuruk, dan aku tak tahu harus ke mana. Aahhhh.. entahlah kesedihan itu tak dapat kugambarkan dengan kata-kata. Hanya air mata di setiap sudut gulita, bukan karna aku tak ikhlas, hanya saja aku masih belum mempercayai bahwa kehidupanku bersama Bapak sebatas 20 tahun saja.
***
Semenjak kepergian Bapak, suasana menjadi berubah. Rumahku gelap, tak satu celah cahaya pun membungkus. Ibarat bumi kami berhenti berotasi. Sejak kepergian Bapak, Mamak harus ke sawah setiap hari agar kami kelima putrinya menjadi manusia yang berguna. Sungguh perempuan yang hebat dan tangguh. Meski hidup kami kekurangan tapi Mamak tetap berdiri dan maju. Dia menjadi lebih tangguh. Meskipun harus menjadi seorang petani beliau tidak pernah memutuskan untuk memberhentikan studiku. Sementara aku masih bersikeras untuk terus menyelesaikan studi dengan mencari biaya tambahan berjualan gorengan dan keripik bayam. Pendidikan adalah hal utama dalam keluarga kami. Jadi tidak ada satu pun diantara kami yang tidak semangat dalam menuntut ilmu. Karena ilmu adalah bekal untuk dunia dan untuk akhirat. Itulah kata yang pernah Bapak sampaikan kepadaku.
***
5 tahun kemudian...
Terduduk aku di atas kursi busa yang usang. Sesekali menyaksikan acara TV kesukaan. Kugeserkan pandangan pada bingkai-bingkai hitam yang memagari lembaran foto. Tersusun dengan jelas kebahagiaan di sana. Di dinding rumah itu tercipta sebuah sejarah. Seorang janda rela menjadi petani demi menguliahkan anaknya.
Kini aku dan kedua adikku telah menjadi seorang sarjana. Aku alhamdulillah telah mendapat gelar S.Pd. dari Universitas PGRI Palembang program study pendidikan geografi dan sekarang sudah bertugas di SMP Negeri 1 Belitang II dan SMP 2 Belitang Mulya. Adikku yang kedua telah lulus dan mendapat gelar S.E dari Universitas Muhammadiyah Palembang serta telah bertugas di Kantor POST Indonesia. Adikku yang ketiga telah lulus dan mendapat gelar S.Pd. di Universitas Negeri Yogyakarta dengan predikat cum laude dan saat ini baru tiba dari Yogyakarta. Dan kedua adik kecilku yang saat ini telah menjadi siswa kelas XII di SMA Negeri SS III.
Hebat bukan? Seorang wanita mungil mampu menghidupi kelima anaknya tanpa mendapat belas kasih dari orang lain. Dan mampu menguliahkan ketiga anaknya tanpa bantuan orang lain. Tidak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha, tidak ada yang tidak bisa jika kita meyakini. Tidak ada yang tidak sempat jika kita menyempatkan. Erna Wati dia ibu hebat kami tulang punggung kami, pahlawan dalam hidup kami. Rela berperang dengan terik, bergelut dengan waktu,  serta bertahan dari cacian tajam para manusia yang tidak memiliki pekerjaan. Terima kasih Mak, untuk semua peluh keringat yang mengucur di dahimu. Terima kasih untuk semua rasa pegal, karena terlalu lelah membanting tulangmu. Terima kasih untuk semuanya. Bahkan seisi bumi ini tidak ada yang bisa membayar apa yang engkau berikan kepada kami. Betapa beruntungnya Bapak, memiliki permaisuri sepertimu. Sehat terus wahai ibuku, meskipun kita harus berbagi udara setiap waktu. Aku yakin Tuhan akan tetap mencintai kita.

---END---

21 Januari 2020
By : Siska Magdalena

Cerpen Seribu KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang