Parkiran Pantai Parangtritis telah dipenuhi oleh ratusan kendaraan pariwisata. Riuh dan jerit kebahagiaan mahasiswa tersebar di bawah langit senja. Gumpalan awan putih tercampur dengan cahaya orange yang tajam. Seluruh mahasiswa menampakkan keriangannya. Namun tidak dengan Dinda, wanita berkulit sawo matang itu hanya duduk memeluk kedua lututnya. Telunjuk kanannya sibuk membelah pasir basah dengan tulisan buram yang tersapu oleh ombak. Lagi-lagi dia teringat akan kandas cintanya tiga bulan yang lalu. Angga!!! I hate you jeritan hatinya diiringi dengan emosi. Kedua tangannya mengacak-acak dan mencengkram pasir yang tergores nama lelaki yang pernah dia cintai. Cairan bening dimatanya mulai meluap tak tertampung. Dan akhirnya pipi tirus itu telah dibasahi oleh air mata lemahnya. Dengan mengigit bibir dia berusaha meredam teriakan dari mulut mungilnya.
Wanita kalem dan tertutup seperti Dinda memang sulit untuk bergaul apalagi memiliki geng seperti wanita-wanita pada umumnya. Yang biasa nongkrong di kafe, menggosipkan teman sendiri bahkan menggosipkan artis yang sering muncul di TV untuk mencari sensasi. Wanita berparas ayu itu mengisi harinya dengan menghabiskan ratusan judul novel. Dia wanita kaku dan cuek, mungkin hal ini yang membuatnya tertinggal dan ditinggal.
***
“Gadis semanis kamu tidak boleh terlihat murung di pantai indah ini”
Sepasang bola mata itu terintai jelas secara horizontal dihadapan wajah Dinda. Sapu tangan berwarna pink tersuguhkan dihadapannya. Berharap Dinda dapat langsung menerima niat baik tersebut. Rambut Panjang Dinda menari diterjang angin. Tangan kirinya menyingkirkan sedikit rambut yang terselip diujung bibir tipisnya. Ragu-ragu tangan kanan Dinda mengambil sapu tangan itu. Dengan santai dan cool laki-laki itu menatap lapisan awan yang menari diatas deburan ombak. Dia tersenyum tanpa beban dan mulai merebahkan tubuhnya tepat disebelah wanita galau itu.
“Kamu siapa?”, tanya Dinda dengan pipi yang merah dan mata yang masih berkaca-kaca. Namun pria itu hanya tersenyum.
“Kamu ikut study tour juga?”, tanya Dinda penasaran, sambil mengusap sisa air mata diujung kelopaknya.
“Nggak, aku sengaja liburan bersama keluargaku”, laki-laki itu menjawab sambil menggulung lengan kemeja putihnya.
“oh…”, jawab Dinda singkat.
“ha… ha… ha… kamu ini lucu banget ya”, dengan santainya pria itu memegang kepala Dinda dan mengacak-acak rambutnya.
“Ih… kusut tau…” , Dinda memukul bahu pria itu.
“Aw!! sakit mbak. Oh iya, kamu Dinda ya?”, dengan yakinnya pria itu menebak nama Dinda.
“kok tau?”, Dinda menatapnya kagum.
“Kamu kan pakai ini”, sambil menunjukkan kartu anggota study tour di leher wanita kaku itu. “Oh iya, aku lupa”, sambil menggeserkan kartu anggotanya Dinda kembali diam.
Suasana hening sejenak.
“Kamu siapa?”, rasa penasaran memberanikan Dinda untuk melontarkan pertanyaan berkali-kali kepada pria tampan itu.
“Aku Ady, mana temen-temen kamu? Dari tadi aku perhatikan sendirian saja”.
“Aku tak punya teman, mana ada orang yang mau berteman dengan wanita aneh seperiku”, jawab Dinda sambi berdiri dan melangkah mendekati bibir pantai.
“Kenapa”, Tanya Ady penasaran sambil mengikuti langkah Dinda.
“Mungkin karena aku terlalu pendiam dan pemalu”, Dinda menunduk dan kakinya sibuk melukis abstrak permukaan pasir.
“APa? pemalu? Ha… ha… ha… “, dia mentertawai gadis aneh itu.
“Iya aku pemalu, mengapa kamu tertawa? Ini tidak lucu”, Dinda mulai kesal dan tatapan sinisnya seolah ingin mengoyak mulut pria itu.
“Perasaan dari tadi kamu bicara terus dengan ku, tidak ada identitas pemalu terlihat dari wajahmu”, pria itu menatap wajah Dinda semakin dekat.
“Karena aku mau berubah, aku tidak mau sendirian, aku ingin seperti teman yang lainnya”.
“Ehem… sepertinya kemunculanku menginspirasimu”, Ady menggoda gadis yang tidak lagi pemalu itu.
“Apaan coba”, Dinda memulukul bahu Ady dan reflek Ady menyambut tangan mungilnya.
Tiba-tiba suasana menjadi pekat, hening, keduanya terdiam. Mereka saling menatap dan jemarinya semakin erat mencengkeram. Byur!!! Deburan ombak menepis wajah mereka. Tawa mereka elegan terurai dibawah gumpalan awan. Mereka mulai berlarian. Menantang tingginya deburan ombak. Udara segar dan pemandangan senja telah menjadi saksi tentang tumbuhnya benih cinta kepada sepasang anak manusia. Dinda mulai luluh dengan Ady yang begitu pandai membolak-balik hatinya. Cintanya mulai tersembahkan untuk sang Arjuna yang datang tiba-tiba. Langit di Daerah Istimewa itu telah terbasuhi oleh cahaya bola merah diujung lautan. Air laut mulai menyatu dengan langit sehingga menunjukkan gradasi yang tak berbatas. Namun kedua anak manusia itu masih sibuk berlarian diatas jutaan pasir dan cambukan ombak.
***
Dari kejauhan terlihat bayangan hitam membelakangi cahaya mentari. Nampaknya seorang wanita, terlihat jelas dari bayangan rambut yang tersapu oleh angin. Tangan kirinya menggandeng seorang anak kecil. Sepertinya mereka adalah Ibu dan Anak. Kegiatan Ady dan Dinda sejenak berhenti. Mereka menanti bayangan hitam yang semakin mendekat. Jarak meter kini telah berubah menjadi Inci, dan makhlum pemilik bayangan hitam itu tiba dihadapan mereka. Dinda terbelalak menatap wajah cantik yang tepat berada didedap matanya.
Perempuan yang sangat asing bagi Dinda. Perlahan mata Dinda mengalihkan pandangan sedikit rendah dan terhenti pada wajah putri kecil nancantik yang menarik erat dress putih milik Ibunya.
“Siapa dia Pa?”, tanya wanita bermata coklat itu kepada Ady. “Adik tingkat Papa ketika kuliah dulu Ma”, jawab Ady dengan santainya.
Halilintar menyambar gumpalan daging berwarna merah tepat berada dibalik tulang rusuk Dinda. Darahnya berhenti mengalir. Perasaaan bahagia dan kasmaran beberapa menit lalu berubah menjadi perih. Dinda terdiam bersama rasa lebam yang tercurah dari mata yang berkaca-kaca.
“Oh, kenalin aku Rinjani istrinya Ady”, wanita ramah itu menjulurkan tangan halusnya sambil tersenyum. “Oh Tuhan siapa yang harus aku salahkan? Ady? Istrinya? Atau hati ini yang terlalu bodoh?”, umpat Dida dalam hati. Dinda tersadar dari pertanyaan dan langsung menyambut hangat tangan itu. “Aku Dinda, senang bisa berkenalan denganmu”, Dinda berusaha menyembunyikan kepedihan yang berusaha mencarik hatinya. “Ayo kita pulang”, Ady menarik lengan istrinya, kemudian mengangkat tubuh mungil putrinya lalu pergi meninggalkan Dinda begitu saja.
“Papa kemana aja dari tadi Mama mencari Papa?”, tanya sang istri kepada si Penjahat. “gak kemana-mana sayang, kenapa nyari Papa? Tadi katanya mau tidur di penginapan”, sambil merangkul bahu sang Istri dan mencium keningnya. “Mama mau ambil sapu tangan mama, kan tadi papa yang pegang”.
Percakapan itu semakin jauh terdengar. Namun amplitudo suara itu masih jelas terdengar menelusuri Lubang telinga Dinda. Dinda kembali menatap sapu tangan pink itu. “Sapu tangan Mama hilang tadi waktu papa main ombak”, jawaan Ady masih terdengar namun semakin kecil dan jauh. Sementara Dinda tak mampu lagi menopang tubuhnya. Ia terhempas diatas pasir indah itu yang seketika berubah menjadi bongkahan-bongkahan kaca yang tajam.
“Aaaaaa!!! I HATE YOU”
Teriakan itu melebur keindahan di bawah langit Yogyakarta.30 Januari 2020 (Siska Magdalena)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Seribu Kisah
Short Story#1 cerpenbagus (16-10-20) semua tentang mereka, tentang imaji, tentang sebuah rasa yang terbesit. Disini tergores kisah-kisah lara, luka, dan bahagia. Disini tempat mengaduk emosi. Mencambuk sebuah ketenangan dan mencubit sedikit tawa.