Dalam ingatanku, aku belum genap berusia 5 tahun. Kala itu suasana lebaran sekitar tahun 1994, menjadi latar cerita kali ini. Aku dan orang tuaku merayakannya di tempat Embahku (baca- eyang, kakek, nenek) dari Ibuku. Di sebuah desa, di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Kala itu, mungkin aku masih terlalu kecil untuk memiliki memori yang kuat. Tetapi beberapa peristiwa memang begitu melekat dalam ingatan. Termasuk kejadian pagi hari itu. Dimana seperti biasanya keluargaku, ada Ayah, Ibu, Embah Kakung (baca- Kakek), Embah Putri (baca- Nenek), dua Om (baca- Paman), dan tiga Bulek (baca- Bibi), berkumpul untuk sarapan pagi di pawon (baca- dapur yang menyatu dengan tempat makan). Setidaknya begitulah Embahku mendesain rumah ini. Sebegitu besarnya memang ruangan ini karena cukup untuk berkumpul seluruh keluarga. Dengan aroma asap dari tungku yang bercampur dengan aroma masakan yang begitu menggoda.
Sedikit aku bercerita, rumah embahku ini memang layaknya rumah modern dibanding rumah-rumah disekitarnya. Dengan tembok bata yang disemen, dan lantai berubin. Tanahnya sangat luas, seperti cukup untuk sebuah lapangan bola. Rumahnya juga besar, dan dirancang serta dibangun oleh Embah Kakungku sendiri. Lengkap dengan bekas warung di depan, mushola terpisah di belakang, sumur di samping, serta pelataran di depan dan belakang rumah dengan aneka tanaman buah. Embahku bukan orang kaya, rumah ini dibangun tidak dalam hitungan bulan tapi tahun. Karena pandainya Embahku mengatur keuangan sehingga cukup untuk kehidupan sehari-hari, serta membangun rumah sekaligus meski Embahku hanya seorang PNS yang gajinya tak seberapa kala itu.
Kembali ke cerita, dimana saat itu ada sedikit pembicaraan antar orang dewasa yang memang aku tidak paham. Kemudian Embah Kakung beranjak dengan membawa kunci mobil. Ya, Embahku punya mobil lawas, merek Mitsubishi tipe Colt L300 generasi pertama keluaran tahun 1980-1983 yang legendaris itu. Mobil lawas dengan cat warna hijau muda yang mungkin seperti warna olahan minuman matcha dimasa kini. Ayahku yang waktu itu masih berada di awal karirnya, hanya punya sepeda motor biasa. Tentunya aku sangat senang jika diajak naik mobil. Langsung saja aku berlari dan mendekati Embah Kakung.
"Embah Kakung mau kemana? Ikut!" aku merengek sambil berlari menuju ke arahnya.
"Nggak kemana-mana, Cuma manasin aja. Nanti perginya habis sarapan," jawabnya.
"Bener ya, pokoknya aku ikut!" kemudian ak berlari kembali ke Ibuku, meminta sesuap ketupat dengan opor ayam favoritku buatan Embah Putri.
Waktu berlalu, Ayah, Ibu, Aku, dua Bulekku, dan satu Omku sudah bersiap untuk pergi, ke tempat yang aku saja tidak tahu itu di mana. Hanya terdengar seperti nama suatu daerah, membahas nama-nama, dan juga hal-hal lain yang aku tidak jelas. Yang Jelas semuanya seperti tampak rapi, bak akan menghadiri acara pengajian.
Arah laju mobil yang aku ingat semakin dalam ke tengah desa. Berbelok-belok dan aku sendiri tak bisa mengingatnya. Aku justru sibuk dengan radionya karena sejak kecil aku suka mendengarkan radio. Mendengarkan radio itu seperti menenangkan dan membuat suasana jadi bahagia. Namun tidak dengan pagi hari itu. Suasana tetiba menjadi hening. Sekeliling hanya ada pepohonan rindang. Sejauh mata memandang sepertinya tidak ada rumah warga. Tapi ada rumah-rumah kecil yang entah menutupi apa.
Laju mobil sesaat berhenti. Aku merasa tiba-tiba tubuhku seakan berat dan rasanya lelah sekali.
"Sudah, parker sini aja. Yuk, turun semus!" Embah Kakungku menyeru pada semua isi mobil.
Satu-persatu turun dari mobil, termasuk aku. Ternyata, ini kuburan. Tempat peristirahatan terakhir bagi manusia. Tepat di depanku ada kuburan dengan ukuran kecil tersusun rapih, dengan nisannya yang juga mungil. Yang pastinya ini kuburan untuk anak-anak ataupun bayi. Sesaat tubuhku semakin berat, aku masuk kembali ke dalam mobil. Di kursi depan dan sambal mendengarkan radio.
"Lho kok masuk lagi?" tanya Ibuku.
"Nggak mau turun. Takut." Jawabku.
"Takut apa sih, ayo Turun!" seru ayahku.
Bukannya turun, aku justru semakin asik dengan lagu-lagu yang ada di radio. Semua pun pergi meninggalkan aku di mobil. Semuanya berjalan menuju ke arah tengah kuburan. Aku lihat Embah Kakung seperti membicarakan sesuatu dengan yang lain. Sembari menunjuk-nunjuk ke beberapa arah. Kemudian semua orang menurunkan tubuhnya. Seperti jongkok, dan mengangkat tangan seakan sedang berdoa. Aku masih biasa saja. Dan kali pertama hal aneh terjadi dalam hidupku. Entah sebelumnya aku pernah merasakan betul atau tidak, tapi ini hal pertama yang begitu membekas dalam ingatanku sampai saat ini.
Tiba-tiba suara radio mulai tidak jelas dan kemudian mati. Aku mencoba menyalakan kembali namun tak berhasil. Benar-benar mati, taka da lampu hijau yang menyala di sudut alat audio itu. Tetapi justru suara lain yang aku dengar. Aku menoleh kekanan, ada suara orang berteriak seperti kesakitan tetapi kemudian hilang. Kemudian suaranya berubah dari sisi kiri. Aku reflek memalingkan muka ku ke kiri. Tak kalah kencangnya, dari sisi belakang juga ada terikan orang seperti kesakitan. Kemudian suara itu semakin keras dari segara penjuru. Aku mendengar tak hanya teriakan eraman saja, ada yang minta tolong, ada yang minta ampun, ada yang meneriakkan sakit berkali-kali. Tak hanya suara perempuan tetapi juga lak-laki. Dengan intonasi seperti anak muda, orang tua, semua ada.
Aku kebingungan. Ak menoleh kesegala arah, semakin ketakutan hingga tak sadar aku menangis karena tak sanggup mendengarkan terikan-teriakan itu. Hingga akhirnya aku melihat sesosok berjubah putih, berpostur tinggi dan besar, bercahaya namun melayang ada di depan mobil. Ak tak kuasa menahannya lagi, langsung saja aku keluar dan berlari ke arah ibuku. Menangis sejadi-jadinya. Sembari bercerita apa yang terjadi namun seakan-akan taka da yang percaya dan justru menertawakanku. Mengatakan bahwa itu hanya suara radio. Aku berulang kali mengatakan radionya mati. Saat kembali ke mobil, radio masih menyala. Aku terheran dan malah menangis semakin jadi. Berakhir dengan kembalinya kami ke rumah.
Ya ini adalah pengalaman pertamaku mengalami hal di luar nalar. Tak ada yang percaya, tak ada yang mendengarkan, hingga akhirnya aku menyimpannya sampai saatnya tiba.
YOU ARE READING
Alter: Aku, Realita, dan Indera Keenam
HorrorIni adalah cerita tentang aku yang terjebak dalam dimensi kehidupan kasat mata. Aku yang tidak tahu antara nyata dan ketiadaan, antara halusinasi atau benar terjadi. Aku yang seakan memiliki hal yang lain namun masih begitu labil menetapkan hati. Ya...